Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9.
Bab 9
Sebelum tas milik Bu Soraya mengenai tubuh Arman, tangannya dengan sigap menangkap lengan sang wanita. Gerakan refleksnya cepat dan penuh tenaga. Dalam sekejap, ia memutar tangan Bu Soraya ke belakang dan menguncinya di punggungnya.
"Kamu salah cari lawan, Mak Lampir," bisik Arman dingin, ucapannya penuh penghinaan.
Dengan satu dorongan kasar, tubuh Bu Soraya jatuh terduduk ke lantai berlapis marmer. Tas mewahnya terpental, dan tumit sepatu mahalnya terpelintir.
Suasana berubah hening sesaat, kecuali suara napas berat dan detak jantung yang terasa menggema.
Di atas ranjang, mata Pak Surya mengerjap. Keributan itu cukup keras untuk membangunkan kesadarannya yang sempat mengambang.
"Siapa itu?" tanya Pak Surya dengan suara parau dan lemah. Suaranya nyaris tertelan napas yang berat dan tersengal. Wajahnya pucat, tulangnya menonjol di balik kulit yang mengendur. Matanya memicing, mencoba mengenali sosok yang baru saja membuat kegaduhan di ruang rawatnya.
Arman menoleh. Untuk sesaat, ada emosi yang berkecamuk dalam matanya. Ada ras iba, tapi ... ada juga rasa puas yang tidak bisa disembunyikan.
"Bukan siapa-siapa," jawab Arman ketus, suaranya dingin seperti hawa ruang rawat yang dibekukan ketegangan.
Namun begitu mendengar suara itu, mata Pak Surya membulat. Meski penglihatannya kabur, ia mengenali nada bicara itu lebih dari siapa pun.
"Arman?! Akhirnya kamu datang juga," ucap Pak Surya lirih, hampir seperti mimpi yang tidak ia sangka akan terwujud.
"Arka mana?"
Pertanyaan itu seperti menyiramkan bensin ke bara api. Arman langsung mengangkat wajah, tatapannya tajam dan penuh sindiran.
"Bukannya dia pernah bilang, dia tidak akan datang ... kecuali ke acara pemakaman ayah dan gundiknya?" balas Arman tajam.
Pak Surya terdiam. Kata-kata itu menyayat seperti belati yang ditarik perlahan di dada. Dulu, anak-anaknya adalah sumber kebanggaan, tapi kini mereka hanya menjadi saksi dari kesalahan masa lalunya yang tak termaafkan.
"Tidak bisakah kalian memaafkan Papa?" isaknya, suara tangisnya bercampur dengan rasa putus asa. "Papa tahu, Papa sudah menyakiti perasaan kalian dulu. Seandainya saja kalian mau memahami keadaan Papa dan menerima keputusan Papa, kalian tak perlu pergi dari rumah."
Air mata mulai menetes dari sudut matanya. Tangannya bergetar, berusaha menggenggam ujung selimut seolah mencari pegangan dari masa lalu yang hancur berantakan. Akan tetapi Arman tak terpengaruh. Ia hanya menatap lelaki tua itu tanpa belas kasihan.
Matanya memutar malas, lalu mendengus. "Lagu lama," gumamnya. Itu adalah kalimat klise yang selalu dilontarkan Pak Surya setiap kali mereka bertemu. Permintaan maaf yang tidak pernah tulus, hanya dibungkus penyesalan saat sudah terlambat.
"Sepertinya kedatanganku ke sini tidak ada gunanya," lanjut Arman. Nada suaranya kini getir, kecewa, namun tidak kepada ayahnya. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang sempat berharap sesuatu yang berbeda. "Benar kata Arka. Datang ke sini hanya buang waktu dan tenaga. Yang ada malah menambah dosa karena aku jadi ngomel dan marah sama Papa."
Di sudut ruangan, Bu Soraya diam-diam tersenyum sinis. Ia tahu kelemahan Arman. Dibandingkan Arka yang keras dan sulit dibaca, Arman lebih mudah digoyahkan. Dia seperti kapal layar—kadang kuat berdiri, kadang mudah terombang oleh angin lembut harapan.
"Papa punya permintaan terakhir," gumam Pak Surya, nadanya lebih lirih dari sebelumnya, nyaris tak terdengar jika ruangan tidak sehening itu.
Arman mengangkat alis. Kali ini ia benar-benar penasaran. Dahulu, tak ada satu pun permintaan pria itu yang ia kabulkan. Bahkan doa pun enggan ia panjatkan untuknya.
"Apa lagi?" tanya Arman datar.
"Berikan lima persen saham perusahaan ... untuk Citra. Dia sudah bekerja keras ... demi perusahaan."
Kalimat itu membuat dunia Arman berhenti sejenak. Mata Arman membelalak, seperti baru saja mendengar lelucon paling buruk di dunia. Lima persen? Itu bukan angka kecil. Itu artinya ratusan miliar hak waris yang seharusnya menjadi miliknya dan Arka.
Dia menatap Bu Soraya yang berdiri tenang di sisi ranjang. Wanita itu memoleskan wajah seolah penuh simpati, padahal tatapan matanya penuh ambisi. Citra—anak tiri yang tidak punya setetes darah pun dari keluarga Abimana—diminta menjadi pemegang saham?
Arman mendekat, membungkuk ke sisi tempat tidur, lalu berbisik di dekat telinga ayahnya. "Bagaimana kalau Papa ceraikan dulu Mak Lampir itu, lalu masukkan dia ke penjara atas tuduhan penipuan dan pembunuhan berencana? Kompensasi dari semua itu, baru dapat lima persen saham."
Kata-kata Arman tajam seperti pisau, dan disengaja agar didengar Bu Soraya.
"Dasar gila kamu, Arman!" jerit Bu Soraya, kehilangan kontrol. Emosinya meledak, tak lagi bisa menjaga topeng keanggunan yang biasa ia pakai di depan Pak Surya.
Tangannya terangkat, siap mengayunkan tas mewah ke tubuh Arman seperti sebelumnya. Namun, ia mengurungkan niatnya begitu melihat mata Pak Surya terbuka penuh. Ia masih sadar. Soraya menarik napas panjang, memaksakan diri kembali ke citra wanita sempurna—lemah lembut dan penuh kasih.
Arman hanya tertawa pelan, penuh kemenangan. Tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. Ia menikmati kekalahan kecil wanita itu.
"Bagaimana, Pa? Setuju?"
Pertanyaannya menggantung di udara, tapi tak ada jawaban.
Saat Arman menoleh, wajah Pak Surya berubah. Kulitnya lebih pucat dari sebelumnya, matanya terbuka lebar, namun tubuhnya bergetar halus. Mulutnya terbuka, berusaha berbicara, namun suara tak keluar. Ia tampak seperti ikan yang mengap-mengap tanpa air.
"Papa!" teriak Arman panik, melangkah cepat ke sisi ranjang.
"Mas!" jerit Bu Soraya bersamaan, kali ini tanpa kepura-puraan. Wajahnya pucat pasi, dan riasannya tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
Detik-detik terasa melambat. Suara mesin monitor detak jantung mulai menurun. Bunyi "beep" terdengar lebih jarang. Waktu seperti membeku di antara ketegangan yang merambat di sekujur ruangan.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Arman merasakan ketakutan. Bukan karena kehilangan, tapi karena ia menyadari—meski dibenci, ayahnya tetap satu-satunya keluarga yang tersisa selain Arka. Seandainya jika ini benar-benar akhir dari hidup ayahnya, apakah hidup mereka akan bahagia ke depannya.
"Dokter!" teriak Arman sambil menekan bel panggilan darurat yang ada di samping brankar.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗