"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Mantu Rahasia
Wajah Ayu juga sedikit memerah. Ia perlahan memejamkan mata, dan bulu matanya yang panjang tampak bergetar halus.
Rama, dengan gerakan lembut, memijat bagian bawah perut Ayu sambil diam-diam menyalurkan energi misterius dari dalam tubuhnya melalui teknik khusus.
Metode ini merupakan warisan dari Kitab Pengobatan Terkuat.
Ahh!
Ayu merasa sangat nyaman, sampai-sampai tak bisa menahan desahan lembut dari bibirnya. Begitu ia menyadarinya, rasa malu langsung melanda, namun di saat bersamaan ia tak ingin Rama berhenti.
Rasa sakit di perutnya benar-benar menghilang tidak hanya hilang, bahkan terasa sangat nyaman.
Setelah beberapa saat memijat, tangan Rama bergerak dari perut ke bagian tubuh lain, membantu melepaskan ketegangan yang tersisa.
Wajah Ayu makin memerah.
Akhirnya, ia tak tahan lagi dan mendorong Rama perlahan, lalu buru-buru bersembunyi di balik selimut.
“Ada apa?” tanya Rama bingung. “Apa aku memijatmu terlalu keras?”
“Bukan… bukan itu,” jawab Ayu gugup. “Pijatanmu enak kok, cuma… aku nggak mau dilanjut.”
“Ya sudah, kalau gitu kamu istirahat ya. Aku juga mau tidur.”
Rama lalu kembali ke karpet tipisnya dan berbaring di lantai.
Ayu diam-diam melirik ke arah Rama. Melihat pria itu kembali ke karpet tanpa mengeluh, entah kenapa muncul sedikit rasa bersalah dalam hatinya.
Setelah diam sejenak, Ayu bertanya pelan, “Apa karpetnya terlalu keras dan dingin?”
“Enggak juga, menurutku cukup nyaman,” jawab Rama spontan.
“Oh, kalau gitu… kamu tidur di situ aja terus ke depannya.”
Nada bicara Ayu mendadak jadi dingin.
Rama terdiam, merasa ada yang janggal.
Beberapa detik kemudian, ia baru tersadar dan buru-buru berkata, “Istriku, Aduhh Karpet ini terlalu keras dan dingin. Aku nggak mau tidur di sini lagi…”
“Telat!.”
Jawaban Ayu tetap dingin. Tapi di balik selimut, sudut bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum yang sangat manis.
Rama hanya bisa mengeluh dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu lamban merespons… dan kehilangan kesempatan emas.
Keesokan paginya, sejak matahari belum tinggi, Yuni sudah bersiap dengan rapi. Penampilannya benar-benar memancarkan aura wanita karier yang percaya diri.
“Bu, bagaimana? Kelihatan oke nggak?” tanya Yuni sambil berputar di depan ibunya, Heni.
“Cantik banget, aura kamu luar biasa hari ini,” jawab Bu Heni sambil tersenyum bangga. “Yuni, harapan keluarga kita ada di tanganmu. Kerjakan baik-baik dan pastikan kontraknya bisa kamu bawa pulang.”
Bu Heni turut merapikan kerah baju Yuni padahal sebenarnya tidak perlu lalu menepuk-nepuk bahunya dengan penuh harap.
“Bu, Ayah, tenang saja. Aku pasti bisa. Kalian tunggu saja kabar baikku di rumah. Aku berangkat dulu ya.”
Dengan penuh semangat, Yuni meninggalkan rumah.
Pak Sidik dan Bu Heni duduk di sofa, senyum bahagia merekah di wajah mereka.
“Anak kita memang luar biasa. Bisa jadi, di masa depan, kita semua bergantung padanya,” kata Bu Heni sambil terkekeh.
“Yah, dia itu kan putrinya Sidik Ningrum,” jawab Sidik bangga. “Tapi coba bayangkan, kalau saja waktu itu tetua keluarga kita tidak mengalami kecelakaan dan jadi koma, Keluarga Ningrum pasti masih berdiri kokoh sampai sekarang. Kita juga nggak perlu susah payah berebut proyek dari Grup Hartono.”
Pak Sidik menghela napas panjang.
Di sampingnya, Rama yang ikut mendengar percakapan itu langsung teringat pesan dari kakaknya: jangan pernah meninggalkan Keluarga Ningrum, apapun yang terjadi.
Pernikahannya dengan Ayu memang diatur oleh para tetua, dan pesan terakhir sang kakek sebelum meninggal pasti menyimpan arti penting—mungkin ada hubungannya dengan kondisi sang tetua Keluarga Ningrum yang saat ini koma.
“Mungkin keadaan kakek Ayu itu menyimpan petunjuk yang lebih dalam…” pikir Rama dalam hati.
Di saat itu juga, Rama mengambil keputusan penting: ia akan berusaha membangunkan tetua Keluarga Ningrum dari komanya.
“Ayah, kakek sudah koma lebih dari setengah tahun. Sebenarnya, apa penyebabnya?” Rama bertanya.
“Itu karena kecelakaan mobil, bukannya semua orang sudah tahu?” jawab Pak Sidik dengan tatapan dingin. “Sebagai menantu keluarga Ningrum, kamu bahkan tidak tahu ini?”
“Memangnya tidak ada penyebab lain?”
“Tidak ada. Dan kamu tidak perlu ikut campur urusan ini. Lebih baik kamu pikirkan dirimu sendiri. Kita sudah sepakat sebelumnya kalau kamu tidak bisa mengamankan proyek dari HAR, kamu harus keluar dari Keluarga Ningrum. Menurutku, sekarang saatnya kamu tepati janji itu.”
Ucap Sidik tegas.
“Tenang saja. Soal proyek itu, Si Yuni belum tentu bisa dapatkan. Lagian juga, belum tentu hasilnya seperti yang kalian bayangkan,” kata Rama dengan suara tenang.
“Maksud kamu apa? Kamu doakan Keluarga Ningrum gagal?” bentak Sidik sambil berdiri dari duduknya.
“Bukan begitu,” jawab Rama santai. “Aku bicara jujur. Proyek ini negosiasinya dari aku, dan cuma orang yang aku tunjuk yang bisa menyelesaikannya. Orang itu bukan Yuni… tapi Ayu.”
“Ngaco! Baru kemarin aku dengar sendiri Yuni nelepon Pak Agus, dan beliau setuju. Jangan bikin rusuh di sini!”
Pak Sidik semakin tidak senang.
“Memang ada saja orang yang nggak terima kenyataan,” sindir Bu Heni. “Bilangnya cuma orang pilihan dia yang bisa tandatangan kontrak, padahal cuma takut tersingkir. Memangnya kamu pikir kamu siapa? Lebih hebat dari Pak Agus Hartono? Kocak banget.”
Rama mengernyit, ucapan Bu Heni terlalu menusuk hati, membuatnya sangat tidak nyaman.
Dulu, Rama pernah bermimpi bisa suatu hari menampar balik ucapan Bu Heni dengan kenyataan.
Tapi sekarang, semangat itu tak lagi sebesar dulu. Rama tahu, cepat atau lambat, Bu Heni pasti akan menyadari betapa luar biasanya menantu yang selama ini dia remehkan.
Ayu menatap Rama, perasaannya campur aduk.
Meskipun kata-kata Rama barusan sebenarnya membelanya, tapi ia tetap merasa malu.
Karena menurutnya, Rama hanya sedang berpura-pura jadi orang penting—tetap saja, seperti biasa, hanya pura-pura.
"Aku... aku mau berangkat ke kantor dulu," ucap Ayu, ingin segera pergi dari suasana yang tegang itu.
“Kantor apa? Kamu harus tetap di sini bersama kami, tunggu kabar dengan tenang. Aku ingin lihat, apakah hasilnya sesuai dengan yang dikatakan Rama. Kalau Yuni berhasil menandatangani kontrak, maka Rama harus angkat kaki dari rumah ini, tanpa banyak omong.”
Pak Sidik berkata dengan tegas.
“Kalau ternyata Yuni gagal dan mereka justru memaksa Ayu untuk yang menandatangani, bagaimana, Pak? Apa rencananya tetap sama?” Rama menanggapi.
“Kalau memang seperti itu, Ayu akan ku izinkan ambil alih penuh proyek. Dan kau, Rama, tak perlu pergi. Malah aku akan kasih kamu hadiah satu miliar rupiah—cukup, kan?”
Rama tersenyum tipis. “Mantap... Lebih dari cukup.”
“Hah! Percaya diri yang absurd. Dasar badut,” sindir Bu Heni dengan nada meremehkan.
“Rama, diam saja deh! Kamu nggak malu, ya?” Mata Ayu mulai berkaca-kaca. Ia melirik tajam ke arah Rama.
“Oke..Aku nggak akan banyak omong lagi,” jawab Rama sambil tersenyum pahit. Ia terlalu lelah untuk berdebat terus dengan Bu Heni, dan memilih menunggu dengan tenang.
Dua jam berlalu, tiba-tiba ponsel Pak Sidik berdering.
Ia melihat layar dan tersenyum senang, “Ini telepon dari Yuni. Pasti kabar bagus, dia sudah tanda tangan kontraknya.”
Sebelum menjawab, Pak Sidik dengan sengaja menyalakan speaker dan melirik Rama dengan ekspresi penuh kemenangan.
“Halo..Yuni, gimana hasilnya?” tanyanya.
“Pak... aku juga nggak ngerti kenapa. Pihak HAR nolak tanda tangan kontrak denganku. Mereka justru secara khusus minta... kak Ayu. Mereka bilang, cuma dia yang bisa tanda tangan kontrak itu. Yang lain nggak akan mereka terima.”
Suara Yuni di telepon terdengar kecewa dan penuh frustasi.
Duar! Mewew
Pak Sidik berdiri terpaku, seolah baru saja disambar petir.