NovelToon NovelToon
Pendekar Kegelapan

Pendekar Kegelapan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: DANTE-KUN

Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.


Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.

Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.


Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!


Tingkatan kultivasi :


Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang

Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang

Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang

Purification Dao 1-7 Tahapan bintang

Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang

Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang

Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang

Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir

Origin Dao Awal - menengah - akhir

Heavenly Dao

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch. 9

Setelah meninggalkan kota Batu, Mang Acheng kembali ke Desa Guang, tempat di mana segalanya dimulai. Desa itu kini sunyi, seperti dunia yang telah melupakan tragedi berdarah yang pernah terjadi di sini.

Tidak ada lagi tawa anak-anak, suara orang-orang yang berbincang, atau kehidupan yang pernah menghiasi tempat ini. Hanya angin yang berhembus lembut, membawa aroma tanah yang seolah masih menyimpan kenangan tentang malam itu.

Acheng melangkah melewati reruntuhan dan jejak-jejak waktu yang membisu. Pandangannya terhenti di sebuah lapangan pelatihan yang berada di tengah desa. Ia tahu, tepat di sana dulunya berdiri rumah kecilnya—tempat ia tumbuh bersama keluarga yang penuh cinta dan kebahagiaan sederhana.

Tanpa ragu, ia berjalan ke tengah lapangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi yang diinjaknya menyimpan beban sejarah yang tidak pernah bisa dihapus. Setibanya di tempat itu, Acheng berhenti. Ia menarik napas dalam, memandang tanah kosong di bawahnya, lalu mengeluarkan sebuah batu besar dari cincin penyimpanannya.

Dengan hati-hati, ia mulai mengukir batu itu menggunakan Belati Dewa Bintang. Cahaya biru gelap dari belati itu menyisakan ukiran yang tajam dan sempurna di permukaan batu. Ia mengukir nama kedua orang tuanya, disertai kata-kata sederhana yang penuh makna:

"Untuk Ayah dan Ibu. Maafkan aku yang terlambat. Aku telah membalaskan dendam kalian. Semoga kalian damai di alam sana."

Setelah selesai, Acheng menegakkan batu itu di tengah lapangan. Sebuah monumen kecil namun bermakna besar, berdiri kokoh sebagai tanda penghormatan untuk keluarga yang telah meninggalkannya.

Acheng berlutut di depan monumen itu, tangannya menyentuh permukaannya dengan lembut. Tatapannya dingin seperti biasanya, tetapi ada kilauan emosi yang sulit disembunyikan di matanya.

“Ayah… Ibu… Aku telah membebaskan desa ini. Mereka yang telah menghancurkan kita telah kubasmi,” katanya dengan suara rendah yang bergetar. “Tapi aku tahu… itu tidak akan mengembalikan kalian.”

Ia terdiam sejenak, membiarkan angin dingin menjadi satu-satunya suara yang menemani. “Maafkan aku karena butuh waktu begitu lama. Aku hanya seorang anak kecil saat itu. Lemah. Tak berdaya. Tapi aku berjanji kepada kalian bahwa aku akan kembali. Dan aku menepatinya.”

Ia menggenggam tanah di depannya, merasakan dinginnya yang merasuk ke kulitnya. “Aku juga ingin bercerita tentang seseorang yang berjasa dalam hidupku. Setelah aku melarikan diri malam itu, aku ditemukan oleh seorang pria paruh baya. Dia adalah seorang kultivator.”

Acheng menatap jauh ke depan, seolah mengingat wajah pria itu. “Dia membawaku pergi dari sini. Merawatku. Mengajariku segala yang aku tahu tentang dunia ini. Aku menjadi muridnya selama sepuluh tahun. Dalam setiap latihan, dia memastikan aku kuat, tidak hanya secara fisik tetapi juga mental. Dia berkata aku harus siap menghadapi dunia yang kejam.”

Suaranya melembut. “Namun, setelah sepuluh tahun itu, aku memasuki kultivasi tertutup selama empat tahun. Saat aku keluar, dia sudah tiada. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya, siapa dia sebenarnya, atau dari mana asalnya. Dia adalah orang yang sangat tertutup.”

Acheng tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kegetiran. “Tapi aku berhutang segalanya kepadanya. Dia membawaku sejauh ini. Tanpa dia, aku mungkin sudah mati sejak lama. Aku berharap, di mana pun dia sekarang, dia tahu bahwa aku sangat berterima kasih kepadanya.”

Acheng bangkit perlahan, memandang monumen itu sekali lagi. “Ayah… Ibu… Aku tidak akan berhenti di sini. Sekte Tombak Merah hanyalah awal. Masih ada Sekte Bintang Darah, dan mereka akan menerima hukuman yang sama.”

Ia membalikkan badan, melangkah meninggalkan lapangan itu dengan langkah mantap. Namun, sebelum pergi, ia menoleh untuk terakhir kali. “Aku akan kembali. Dan saat itu, aku berharap dunia ini sudah lebih damai.”

Angin berhembus lembut, menggetarkan dedaunan di sekitar lapangan. Monumen kecil itu berdiri diam, menjadi saksi bisu atas janji yang telah Acheng tepati dan tekad yang ia bawa menuju masa depan.

...

Mang Acheng melayang di udara, tubuhnya tegak meski perjalanan panjang telah ia tempuh. Matahari yang tadi pagi bersinar cerah kini mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan langit berwarna jingga keemasan. Angin sejuk menerpa wajahnya, membawa aroma pegunungan dan hutan yang menenangkan.

Setelah terbang selama sehari penuh, Acheng mulai menyadari bahwa ia belum menemukan kota besar seperti yang ia cari. Ia telah melewati banyak desa kecil—kebanyakan dari mereka tampak sunyi dan sederhana, jauh dari hiruk-pikuk dunia kultivasi yang keras. Namun, rasa lelah akhirnya mulai menyergap.

“Mungkin aku perlu berhenti sejenak,” gumamnya sambil mengarahkan pandangannya ke bawah.

Di kejauhan, ia melihat sebuah desa kecil yang tampak damai. Cahaya lampu minyak bersinar hangat dari rumah-rumah kayu sederhana, memberikan kesan ramah yang mengundang. Desa itu dikelilingi ladang hijau dan hutan kecil, dengan sebuah aliran sungai yang membelah wilayahnya.

Acheng turun perlahan, mendarat di dekat gerbang desa. Suara burung malam mulai terdengar dari pepohonan, menambah suasana tenang yang menyelimuti tempat itu. Warga desa yang melihatnya hanya menatap dengan penasaran, tetapi tidak mendekat. Mereka tampaknya merasakan sesuatu yang berbeda dari aura Acheng, meskipun ia telah menekan kekuatannya ke titik terendah.

Ia melangkah masuk ke desa, pandangannya menyapu sekeliling. Desa itu memiliki sebuah penginapan kecil di ujung jalan utama, berdampingan dengan rumah makan sederhana. Di tengah perjalanan, seorang anak kecil berlari melintasinya, memandang Acheng dengan mata lebar penuh rasa ingin tahu sebelum cepat-cepat bersembunyi di balik ibunya.

Acheng memasuki penginapan dan berbicara singkat dengan pemiliknya, seorang pria tua dengan senyum ramah namun penuh kehati-hatian. Ia memesan sebuah kamar dan menanyakan tempat untuk membersihkan diri.

“Di belakang penginapan, ada pemandian air hangat, tuan,” kata pria tua itu, menunjuk ke arah sebuah bangunan kecil di luar.

Acheng mengangguk tanpa banyak bicara dan berjalan keluar menuju pemandian itu.

...

Pemandian air hangat itu adalah sebuah tempat sederhana, namun cukup terawat. Batu-batu besar mengelilingi kolam kecil yang dipenuhi air jernih yang mengeluarkan uap tipis. Di atasnya, bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam, memberikan pemandangan yang menenangkan.

Acheng membuka pakaiannya, menggantungkan jubah hitamnya di salah satu batu, dan perlahan masuk ke dalam air. Kehangatan langsung menyelimuti tubuhnya, meredakan ketegangan otot-ototnya yang tegang setelah perjalanan panjang.

Ia bersandar di tepi kolam, membiarkan pikirannya melayang. Malam itu terasa damai, jauh berbeda dari hari-hari penuh pertarungan dan pembantaian yang baru saja ia lalui. Ia menatap pantulan bulan di permukaan air, membiarkan keheningan mengambil alih dirinya untuk sesaat.

“Betapa ironisnya,” gumamnya pelan. “Di tengah dunia yang kacau ini, tempat kecil seperti ini masih bisa menyimpan kedamaian.”

Setelah beberapa waktu, Acheng keluar dari kolam, mengenakan kembali jubah hitamnya yang kini bersih dari debu perjalanan.

Ia memandang desa itu sekali lagi dari kejauhan, menyadari bahwa meskipun ia hanya singgah untuk sementara, kedamaian tempat ini memberikan kekuatan baru untuk melanjutkan tujuannya.

“Terima kasih,” bisiknya, meski tidak ada yang mendengarnya.

Ia kembali ke kamarnya di penginapan, beristirahat untuk malam itu, mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang keesokan harinya.

1
y@y@
🌟👍🏼⭐👍🏼🌟
y@y@
💥👍🏾👍🏿👍🏾💥
y@y@
⭐👍🏼🌟👍🏼⭐
y@y@
💥👍🏼🌟👍🏼💥
abdi nusantara
superior
y@y@
⭐👍🏾👍🏿👍🏾⭐
Desri Eka Darma Amd
tolong dong author, jika ingin menamatkan cerita atau membuat judul cerita yang baru ada pemberitahuan terlebih dahulu. agar pembaca mengetahui, terimakasih 🙏🙏🙏
Wulan Sari
critanya sangat menarik semangatbya thor salam sehat selalu 👍💪❤️🙂🙏
Dante-Kun: Makasih banyak 😁😁🙏
total 1 replies
Hadir
G Wu
Belajar lagi Thor ,perempuan pemimpin sekte/clan dipanggil MATRIAK bukan Patriak !
Ma arti nya mamak/ibu perempuan ,, Pa PPA)ayah laki.
azizan zizan
sepatutnya berkultivasi dahulu dengan apa yang ia rampas naikkan lvl dulu bukannya berkeliaran entah kemana-mana... kebanyakkan novel yang alurnya begini pasti segini lah jalan ceritanya tak pernah ada perubahan... baru dapat kekuatan dikit aja lah rasa macam udah kuat tiada tandingan... cehhh menyampah...
azizan zizan
nah gitu rampas semua harta perang jangan di tinggal dikit pun...
azizan zizan
lah rampasan harta ngak di ambil di tinggal begitu aja.. tolol apa bodoh Nih..
azizan zizan
alurnya jangan terlalu banyak bertele-tele sangat Thor alurnya jadi kurang seru...
y@y@
👍🏼💥🌟💥👍🏼
y@y@
👍🏾💥👍🏼💥👍🏾
y@y@
👍🏿🌟⭐🌟👍🏿
y@y@
👍🏼💥🌟💥👍🏼
y@y@
👍🏾⭐👍🏿⭐👍🏾
y@y@
🌟💥👍🏼💥🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!