Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Matahari sudah tergelincir jauh di barat, mewarnai langit dengan rona jingga yang melankolis.
Hari ini hari terakhir Adelia berada di luar kota dan Adelia sudah berada di Bandara.
Adelia melangkah cepat di area kedatangan domestik. Ia terlihat elegan dengan setelan kantornya, tetapi ada kelelahan yang nyata di matanya.
Perjalanan bisnisnya sukses besar, tetapi firasat buruk yang ia rasakan semalam terus menghantuinya.
Firasat itu terasa dingin dan tajam, sebuah bisikan yang mengatakan bahwa ada yang tidak beres di rumahnya.
Namun, Adelia adalah wanita yang optimis. Ia bertekad untuk menghapus kegelisahan itu dengan kehangatan. Ia membawa banyak oleh-oleh untuk Reno dan Saskia.
Ia meraih tas belanjaan yang berisi kemeja polo baru untuk Reno, dan yang lebih penting, ia membeli satu set alat make-up yang sangat mahal dan terkenal untuk Saskia.
Makeup itu adalah upaya penebusan dosa Adelia karena sempat bersikap dingin soal Oseng Tempe kali itu.
Ia ingin Saskia tahu bahwa ia tulus mencintainya sebagai saudara.
"Semoga Mas Reno dan Kakak suka," gumam Adelia.
Ia berpikir, perhatian materi ini pasti bisa menghapus rasa bersalahnya karena terlalu sibuk.
Dalam perjalanan dari bandara menuju rumah, Adelia menghubungi Reno, memastikan suaminya sudah di rumah dan baik-baik saja. Reno menjawab dengan nada yang terlalu riang dan singkat, mengatakan bahwa ia sedang membereskan beberapa arsip proyek.
Adelia merasa lega, tetapi kegelisahan itu masih menempel.
Ia memutuskan untuk tidak menelepon lagi, membiarkan suaminya beristirahat.
......
Di rumah Reno, waktu terasa berhenti dan menyesakkan, diwarnai rasa bersalah yang tebal.
Adelia sudah mengirim pesan, mengatakan ia sudah berada dalam perjalanan dan tak akan lama lagi sampai.
Reno merasa terdesak. Ia tahu ia harus memecah kebekuan yang dingin antara dia dan Saskia sebelum Adelia tiba.
Ia tidak bisa membiarkan Adelia melihat Saskia menghindarinya.
Ia mengambil kunci gudang kecil di dekat dapur. Gudang itu penuh dengan barang-barang lama dan debu, sebuah tempat yang sempurna untuk membuat drama.
Reno mengetuk pintu Saskia, kali ini lebih keras dan mendesak.
"Kak! Tolong! Kotak-kotak arsip lama di gudang kecil jatuh. Aku tidak bisa mengangkatnya sendiri, dan Asisten Rumah Tangga sedang ke pasar. Aku butuh bantuanmu segera!" teriak Reno, memalsukan nada panik dan memohon. Ia tahu Saskia tidak akan menolak permintaan bantuan fisik.
Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Hanya keheningan yang tegang. Lalu, pintu kamar Saskia terbuka pelan.
Saskia menatapnya dengan mata yang waspada, tetapi ada sedikit kepanikan tulus di sana. Ia melihat kejujuran dalam permintaan bantuan Reno.
"Baik, Reno," bisik Saskia, tanpa menatap mata Reno. "Aku akan bantu sebentar."
Mereka berdua berjalan menuju gudang kecil. Ruangan itu sempit, pengap, dan gelap, hanya diterangi oleh satu bohlam redup. Tumpukan kotak-kotak bekas proyek Reno memang runtuh, menyisakan jalur kecil untuk berjalan.
"Hati-hati, Kak. Ruangannya sempit sekali," kata Reno, sengaja melembutkan suaranya.
Saskia mengangguk. Mereka mulai mengangkat kotak-kotak berat. Kerja fisik yang berat itu memecah kebekuan canggung di antara mereka, tetapi ketegangan sensualnya justru meningkat. Mereka harus berdiri sangat dekat, bahu bersentuhan, lengan saling bergesekan. Setiap sentuhan yang polos itu kini terasa menggetarkan, memicu kembali ingatan akan ciuman terlarang semalam.
"Kotak yang ini berat, Kak. Biar aku yang angkat ke rak atas," kata Reno.
Saskia membantu memegang bagian bawah kotak besar itu. Saat Reno mengangkat kotak itu ke rak tertinggi, ia tiba-tiba terpeleset pada karung semen tua di lantai.
Reno kehilangan keseimbangan. Kotak di tangannya bergoyang keras.
Reno refleks memeluk Saskia. Ia tidak punya pilihan, ini murni naluri.
Ia menjatuhkan kotak itu dengan bunyi keras, dan kedua tangannya melingkari pinggang Saskia, menekan tubuh Saskia ke dinding gudang yang dingin.
Tubuh mereka bertubrukan, dada Reno menghantam dada Saskia, wajah mereka kini berjarak hanya sejengkal. Udara pengap gudang terasa panas mencekik.
Reno memegang Saskia sangat erat agar Saskia tidak jatuh. Sentuhan ini jauh lebih intim dan sadar daripada ciuman khilaf semalam.
Mata Reno menatap mata Saskia. Di mata Saskia, Reno melihat ketakutan yang hebat, tetapi kali ini, ada kilatan rasa penasaran dan keputusasaan yang tersembunyi. Saskia tidak mendorong. Ia hanya bernapas cepat, dadanya naik turun di dada Reno.
"Reno..." bisik Saskia, namanya terdengar seperti sebuah permohonan, memohon Reno untuk melepaskan tetapi juga memohon agar momen ini berhenti.
Reno merasakan kehangatan Saskia, aroma tubuhnya yang sederhana, dan tekanan pinggangnya yang ada di bawah telapak tangannya. Ia tahu ini dosa yang nyata.
"Aku minta maaf," bisik Reno, bukan untuk meminta maaf atas pelukan itu, melainkan untuk meminta maaf atas ketidakmampuannya melepaskan pelukan yang terasa begitu benar.
Mereka terperangkap dalam pelukan itu selama lima detik yang terasa seperti keabadian. Lima detik di mana semua batasan moral runtuh, di mana hasrat yang tertekan mengambil alih akal sehat.
Tiba-tiba, suara memecah keheningan yang membisu itu,suara yang tak asing ditelinga Reno.
Suara mobil mewah milik Adelia masuk ke dalam garasi rumah.tandanya Adelia sudah tiba.
Reno dan Saskia seketika tersentak, mata mereka melebar karena horor. Realitas menghantam mereka sekeras kotak yang jatuh.
Reno melepaskan Saskia. Mereka mundur dari satu sama lain dengan gerakan yang canggung dan cepat. Wajah Saskia pucat pasi, matanya dipenuhi air mata dan rasa bersalah. Ia meraih kerudungnya yang terlepas karena guncangan.
"Adelia sudah pulang," bisik Reno, suaranya tercekat.
Mereka berdua berjalan cepat keluar dari gudang kecil yang gelap itu. Reno memimpin, mengabaikan kotak-kotak berantakan di lantai. Saskia mengikuti di belakangnya, berusaha keras merapikan penampilan dan emosinya, mengatur napasnya yang terengah-engah.
Mereka baru saja mencapai ambang pintu dapur, berjarak hanya tiga langkah dari pintu masuk utama rumah.
Suara kunci diputar.
Pintu utama terbuka. Adelia muncul di ambang pintu. Ia terlihat lelah tetapi tersenyum lebar. Ia masih mengenakan setelan kantor yang rapi dan membawa tas jinjingnya serta tas belanjaan berisi oleh-oleh di tangan.
Adelia tersenyum melihat sepatu Reno dan Saskia di ambang pintu dapur, tepat di mana mereka baru saja berdiri dengan tubuh gemetar karena sentuhan terlarang.
"Mas! Kakak!" seru Adelia, suaranya ceria. Ia melangkah masuk, menjatuhkan tas belanjaannya di sofa ruang tamu.
Adelia berjalan mencari kedua penghuni rumah yang sudah sangat ia rindukan.
"Kalian di rumah? Sedang apa di dapur gelap-gelap begitu? Mas Reno, kamu bilang membereskan arsip?"
Reno dan Saskia membeku di tempat, tubuh mereka kaku, saling pandang dengan rasa bersalah yang mematikan.