“Menikahlah denganku, Kang!”
“Apa untungnya untukku?”
“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diterima
Setelah memastikan Naura benar-benar pergi, Sagara kembali duduk tenang, ia juga mendapati Abah Ali tengah menyesap teh hangat dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Abah kok senyum-senyum begitu? Ada apa?" tanya Sagara penasaran. Masa sih gara-gara dia menerima permintaan Abahnya untuk menikah dengan gadis aneh itu? Memangnya apa spesialnya Naura? Bocah kemarin sore yang kelakuannya saja seperti kancil Yang licik.
Abah Ali meletakkan cangkirnya, lalu menatap Sagara dengan tatapan penuh arti. "Kamu ini, ya. Abah seneng aja liat kamu Nerima perjodohan dengan Naura."
"Aku terpaksa."
"Ah, masa?" Abah Ali terkekeh. "Abah ini sudah makan asam garam kehidupan, Sagara. Abah tahu gelagat anak muda. Lagipula, Abah emang mau Naura itu jadi cucu menantu Abah."
"Abah serius? Banyak lho perempuan yang lebih berkelas dan lebih cantik dari Naura. Kenapa Abah pengen banget Naura jadi cucu menantu Abah?"
"Hah!" Abah Ali menghela napas panjang, lalu mulai bercerita. "Kamu enggak tahu, Sagara. Dulu, Abah sama kakeknya si Satya itu, Pak Mustafa, pernah memperebutkan seorang wanita."
"Wanita?" Sagara semakin bingung.
"Iya, neneknya Naura," jawab Abah Ali dengan nada getir. "Si Mustafa itu nikung Abah, merebut neneknya Naura dari Abah. Abah kesel banget sampae sekarang. Dulu, si Mustafa itu emang sok banget, mentang-mentang bapaknya pejabat desa, jadi ngesok."
Kali ini, Sagaralah yang menghela napas panjang. Kenapa pula dia harus dibawa-bawa ke dalam kasus percintaan bujang vintage ini.
"Jadi intinya, Abah menjodohkanku dengan Naura karena dendam masa lalu?"
"Bukan hanya itu," sanggah Abah Ali cepat. "Kami memang sudah mengincar Naura sejak lama. Tadinya, Abah ingin menjodohkan kamu dengan Naura, tapi kamu selalu menolak. Eh, si Mustafa malah lebih dulu menjodohkan cucunya dengan Naura. Gimana enggak makin kesel coba. Nyebelin emang si Mustafa itu."
"Oh Tuhan." Sagara menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maksudnya, aku ini dijadikan alat untuk balas dendam para kakek?"
"Jangan salah paham dulu," Abah Ali meraih tangan Sagara, dia belum selesai bicara, cucunya ini susah sekali kalau diberitahu.
"Naura itu gadis desa yang cantik jelita. Kalau kamu tahu, neneknya Naura dulu cantiknya bukan main. Semua keturunannya juga cantik-cantik, makanya Naura bisa secantik itu."
"Iya, Abah. Sagara tahu Naura cantik," sahut Sagara, mencoba menenangkan Abahnya. Padahal jelas dia tidak setuju dengan penuturan Abahnya.
"Kakeknya Naura dulu juga jawara kampung," lanjut Abah Ali dengan semangat. "Sayang, bapaknya yang orang kota itu agak bejat. Jarang pulang, sekalinya pulang cuma bikin rusuh."
Sagara terdiam, mencerna semua cerita Abahnya. Ia tidak menyangka, di balik perjodohan ini, ada dendam masa lalu dan ambisi terpendam para orang tua. Ia menatap Abah Ali, mencoba memahami apa yang ada di benak lelaki tua itu.
"Abah cuma mau yang terbaik untukmu, Sagara," ucap Abah Ali lembut. "Abah enggak mau kamu salah pilih."
Ah omdo. Sagara sedang tidak bisa mempercayai siapapun. Wajah kakeknya ini juga sangat mencurigakan, waktu dia izin untuk menikah dengan perempuan yang dia cintai, Abahnya merengut, ngambek sampe enggak mau makan.
Ditawari infus enggak mau, dikasih vitamin enggak mau. Tahunya Abah butuh obat gadis random seperti Naura.
Entahlah, apa yang Abahnya lihat dari Naura, padahal sudah jelas-jelas kalau Tiffany lebih segala-galanya daripada gadis kampung aneh itu.
"Udah, pokoknya Minggu depan kita lamar Neng Naura. Bawa seserahan yang banyak biar si Mustafa panas."
"Aku ikut aja, Bah."
** **
Siang itu, langit Rancabali berwarna gelap. Udara dingin menyelinap lembut di antara pucuk-pucuk daun teh dan sayur mayur yang menjulang rapi di lereng bukit.
Jalanan desa berkelok, sebagian tertutup kabut tipis, tapi hati Naura sedang hangat sehangat sinar mentari yang memantul di matanya.
Naura mengayuh sepedanya dengan riang.
Mulutnya bersenandung kecil, nada-nada manis yang berpadu dengan desir angin dingin. Rambutnya yang disembunyikan di balik kerudung berayun ringan, dan pipinya memerah karena udara dingin pegunungan.
“Duh, dingin banget tapi enak!” serunya sambil tertawa kecil. Oh sungguh, dia sangat bahagia karena Sagara mau menerima lamarannya. “Ganteng-ganteng mudah banget dibujuk. Aneh ih.”
Di punggungnya, menempel jaket milik pria yang diam-diam membuatnya jatuh cinta. Setiap kali matanya melirik jaket itu, senyumnya mengembang tanpa bisa ditahan.
Ketika sepedanya melewati jalan kecil di pinggir perkebunan sayur, beberapa warga yang sedang menyiangi lahan melambai.
“Eh, Neng Naura! Pulang sore ya?” teriak seorang bapak dari tengah kebun kol.
Naura tersenyum lebar dan mengerem sepedanya sedikit.
“Iya, Pak! Tadi ada rapat. Oh iya, jangan lupa ya, hari Senin ada pemeriksaan gratis. Semua boleh datang, nggak usah bayar!”
Seorang ibu tua ikut menyahut dari kejauhan, “Waduh, nanti saya disuntik nggak, Neng?”
Mendengar hal itu, Naura tertawa. “Kalau sehat, ya nggak disuntik, Bu! Tapi kalau darahnya tinggi, siap-siap aja yaaa! Nanti saya yang suntik, pake jarum paling gede.”
Orang-orang di ladang itu tertawa, melambai, lalu kembali ke pekerjaan masing-masing. Naura menghela napas panjang, senyum di bibirnya perlahan pudar.
Ia tahu, meski mereka ramah, tak banyak warga yang benar-benar mau datang ke pemeriksaan gratis. Sebagian besar takut, sebagian lagi terlalu percaya diri, mereka merasa sehat dan meyakini itu. Tapi ya sudah, itu hak mereka.
“Padahal aku cuma mau bantu, tapi selalu saja mereka bilang, ‘Nggak apa-apa, Neng, saya udah biasa begini. Enggak usah periksa-periksa.’ Aduh…” desahnya lirih.
Baru setengah jalan menuju rumahnya yang berada di ujung Desa Patengan, suara mesin mobil terdengar dari belakang tikungan. Naura menoleh sekilas, lalu menepikan sepedanya sedikit ke pinggir. Jalan itu sempit, hanya cukup untuk satu mobil dan satu sepeda berpapasan.
Namun, mobil putih itu melaju terlalu cepat. Naura spontan menjerit karena takut tersenggol.
“Astagfirullah, hati-hati!”
Mobil itu malah semakin dekat. Ia mencoba mengayuh lebih ke tepi, tapi rodanya terpeleset ke tanah miring di sisi jalan. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dalam sepersekian detik, sepeda itu oleng, dan Naura jatuh terguling ke tanah yang agak basah.
Brak!
Sakitnya menjalar ke siku dan lututnya. Nafasnya terengah, tapi ia masih sadar. Sepeda miliknya tergeletak miring di semak kecil di pinggir jalan.
Mobil itu berhenti beberapa meter di depan. Pintu depan terbuka, dan dari dalam keluar sosok perempuan berusia lima puluhan dengan dandanan yang mencolok. Bu Nining, istri Pak Juanda, ibunya di Borokokok Satya, lengkap dengan syal tebal di lehernya. Di belakangnya, seorang pria muda turun, wajahnya mirip tapi lebih muda dan dingin, Ridho, anak pertamanya alias kakak si Satya.
“Oh, astaga, Nang Naura jatuh?” ucap Bu Nining pura-pura terkejut.
Langkahnya cepat menghampiri, tapi sorot matanya tak benar-benar khawatir.
Naura berusaha bangkit sendiri sambil menepuk-nepuk rok dan lengannya yang kotor.
“Iya, nggak apa-apa kok, Bu. Cuma kaget aja.”
Bu Nining menatapnya sekilas dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tersenyum tipis.
“Maaf ya, Neng. Mungkin A Ridho tadi kurang lihat. Tapi ya ampun, jalanan di sini kan memang sempit. Ibu juga harus hati-hati kalau naik sepeda begini.”
“Saya memang hati-hati, Bu. Mobilnya aja yang terlalu mepet,” balas Naura sopan tapi tegas, menahan nada marah yang mulai naik di dadanya.
“Kalau Neng Naura jatuh karena nggak bisa jaga keseimbangan, ya jangan salahin mobil juga, Neng. Lagian, siapa suruh jalan di pinggir pas turunan begini?”
Mendengar ucapan nyeleneh Ridho, mata Naura menatapnya tajam. “A Ridho, saya udah di pinggir jalan. Mobil kalian yang sengaja terlalu dekat.”
“Ridho!” tegur Bu Nining dengan nada manis palsu. “Sudahlah, jangan diperpanjang atuh, ya. Neng Naura kan bukan siapa-siapa juga. Nanti malah tambah salah paham.”
Naura mengepalkan jemarinya. Bukan siapa-siapa? Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada luka di lututnya. Ia tahu sejak awal keluarga Bu Nining tidak menyukainya, mereka tidak suka karena Kakek Mustafa, pemilik tanah belasan hektar yang disegani itu, terlalu sering membela Naura di depan keluarganya sendiri.
“Terima kasih, Bu, A. Saya nggak apa-apa. Saya pamit dulu. Masih banyak yang harus saya urus.”
Ia membungkuk sedikit, lalu menuntun sepedanya yang rantainya agak lepas. Begitu ia melangkah beberapa meter menjauh, suara tawa pelan terdengar dari belakang.
“Lihat tuh, Ridho,” kata Bu Nining pelan tapi cukup jelas untuk Naura dengar, “Bidan sok-sokan itu memang pantasnya jatoh. Ya Allah, bisa-bisanya kakek kamu milih dia buat jadi istri Ridho, mending istri kamu ke mana-mana.”
Pria itu pun tertawa. “Iya, Bu.”
Suara tawa mereka menyayat hati Naura di udara sore yang dingin.
Tangan gadis itu gemetar di stang sepeda, tapi matanya menatap lurus ke depan.
“Baik, Bu Nining... aku sudah tahu permainan kalian. Tapi ingat, suatu hari nanti, kalian akan menyesal sudah mempermalukanku seperti ini.” Ia tersenyum menyeringai.
lanjut lah kak othor,,💪🥰
resiko anak cantik ya Nau JD gerak dikit JD tontonan...
😄😄😄🤭
Nanda kah... entah lah hanya emk yg tau ..
teman apa lawan 🤔