“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Anita berdiri di depan gedung firma hukum dengan rahang mengeras, napas teratur tapi jelas tertahan. Wajahnya gusar — bukan sekadar kesal, tapi campuran marah dan letih yang sudah dipendam terlalu lama.
Pandangannya menajam ke pintu kaca tinggi itu, binar matanya berkilat harapan, semoga dunia lekas berhenti mempermainkannya.
Angin siang itu menggoyang rambutnya, tapi tubuhnya tetap tegak, kaku, dadanya terasa membuncah. Lagi-lagi seorang pengacara menolak berkas yang ia ajukan, begitu mengetahui siapa yang akan mereka lawan.
Anita menarik napas dalam-dalam. “Apa sebegitu besarnya pengaruh Niko? Ini pengacara keempat yang menolak kasus Kayuna.”
“Ke mana lagi aku harus membawa berkas ini? Ya Allah … tolong mudahkanlah kali ini,” lirih Anita dengan wajah getir.
Saat ia berbalik, ada sekitar lima pria muda dalam rombongan melangkah mendekatinya. Anita hanya melirik sekilas, kemudian bergeser menjauh dengan wajah tertunduk.
Tangannya lunglai sembari menggenggam map cokelat yang selalu ditolak oleh firma hukum yang dikunjunginya.
“Anita?”
Perempuan berambut setengah pirang itu mendongak seketika. Alisnya terangkat satu. “Adrian?”
Adrian baru saja bertemu dengan teman-teman sekampusnya kala di luar negeri, yang kini sudah sama-sama meniti karir di tanah air. Kemudian ia mampir ke gedung firma hukum untuk mengurus sesuatu, ditemani oleh Alif.
“Siapa, Rian?” tanya salah satu teman Adrian.
“Temanku, teman lamaku. Anita namanya,” sahut Adrian, memperkenalkan Anita kepada kawan kampusnya.
Beberapa di antaranya manggut-manggut, ada yang mengangkat alisnya penuh tanya. Ada yang mengulum senyum penuh makna, juga ada yang menatapnya lekat-lekat. Alif.
Anita hanya melempar senyum singkat — basa-basi semata, ia tak bertenaga meladeni orang asing.
“Ya sudah, kita duluan ya. Next time kita ngumpul lagi, see you.” Salah satu pria berkulit sawo matang, menepuk bahu Adrian.
Pria yang berprofesi sebagai psikiater itu pun tersenyum singkat sambil menganggukan kepala. “Oke, thanks ya. Traktirannya.”
“Bye, Rian. Bye, Lif.” Ketiga pria muda itu berlalu pergi dari sana.
Tersisa Alif dan Adrian masih berdiri di hadapan wanita yang terlihat putus asa.
Adrian kemudian menggeser pandangan setelah teman-temannya pergi. Memperhatikan lamat-lamat.
“Kamu … menemui pengacara?” tanyanya, karena memang mengetahui Anita yang tengah mengurus pengacara kasus Kayuna.
Anita menghembuskan napas kecewa. “Iya, tapi nggak ada yang mau nerima kasus Kayuna.”
‘Kayuna?’ Alif berdiri seraya memicingkan mata. Satu tangannya dimasukan saku celana, sementara tangan lain memegang tali ranselnya. ‘Oh … dia pasti Anita, Kakaknya Kayuna yang dibicarakan Adrian kemarin,’ gumamnya dalam hati.
“Why?” Adrian bertanya.
“Entahlah, ini firma hukum keempat yang kudatangi. Nggak ada satupun yang mau ambil kasus ini, setelah tau siapa lawannya,” jawab Anita.
Anita kembali tertunduk, berulang kali melepas napas berat. Rautnya tampak kusut tak bersemangat.
Adrian berpikir sejenak. Lalu menatap wanita muda yang masih menunduk.
“Anita, kamu ….” Pria bermanik legam itu sedikit ragu-ragu. “Butuh bantuan?” tanyanya kemudian.
Sontak wanita yang sejak tadi menekuk wajahnya kini mendongak cepat. “Maksudmu? tanya Anita.
“Aku punya kenalan pengacara, cukup profesional dan bisa diandalkan. Kamu mau menemuinya?” Adrian menatap penuh harap.
“Benarkah?” Anita tampak lega, lalu mendadak kembali murung.
Dia takut, pengacara kali ini akan menolaknya lagi. Ia sudah cukup lelah selalu mendapat penolakan dan berakhir dengan kekecewaan.
Alif yang sejak tadi membisu memperhatikan tiba-tiba membuka mulutnya. “Kamu tenang saja. Pengacara ini … adalah kakak saya, beliau cukup berpengalaman di bidang perceraian.”
Anita menatap heran ke arah Alif. “Dari mana Anda mengetahui kasus yang ingin diajukan adalah perceraian?”
Pria tinggi beralis tebal itupun mengulurkan tangan. “Perkenalkan, saya Alif, teman Adrian.” Pemuda itu terus memandang Anita lekat-lekat, seringai penuh makna terulas di wajahnya.
Anita mengernyit, tatapannya jelas merasa geli sendiri. Tapi tangannya tetap terulur — menjabat pemuda itu. “Saya Anita.”
Anita terus menggerakkan jemarinya, gelisah dan jelas ingin lepas dari sentuhan pemuda yang menurutnya aneh itu.
Lalu Alif melepas genggamannya perlahan. “Saya cukup tahu tentang Kayuna, termasuk kasus perceraiannya. Karena teman saya ini tak henti-henti terus membicarakannya.”
Adrian menautkan kedua alisnya, sudut bibirnya menyungging, lalu membekap mulut sahabatnya dengan paksa. “Tutup mulutmu.”
Alif berusaha menepisnya, mulutnya terus terbuka dan bersuara. “Bilang ke adik—”
“Diam, Brengsek.” Adrian terus mengekap wajah pria bermulut ember itu.
Anita terdiam sesaat, melihat kerusuhan dua pria di hadapannya. Mulutnya menganga, kemudian menyeringai tipis. “Apa yang mereka lakukan? Kekanakan sekali.”
“Adrian. Tolong bawa aku menemui pengacara kenalanmu itu,” ujar Anita kemudian.
Kedua laki-laki yang masih bergulat saling membekap mulut pun mendadak berhenti, menoleh bersamaan.
“Benarkah?” tanya Adrian.
Anita mengangguk yakin.
Mereka pun bergegas masuk kembali ke gedung firma hukum. Kali ini, Adrian memimpin jalan menuju ruang Senior partner — petinggi, penanggung jawab firma tersebut.
Sebelumnya, Anita hanya menemui pengacara yang masih di bawah standar — di firma itu, karena memang tidak memiliki cukup banyak uang untuk membayar tingkat atas. Tapi, Adrian dan Alif siap membantu kali ini.
Setelah berbincang — konsultan dengan sang pengacara, mereka menjabat tangan dengan senyuman.
“Tolong, bawa Ny. Kayuna datang ke sini besok,” pinta si pengacara.
“Baik, Bu,” sahut Anita.
Wanita yang sejak tadi berwajah sendu, akhirnya bisa menarik napas panjang setelah berminggu-minggu dikejar kekhawatiran.
Di ruang petinggi firma hukum itu, bahunya yang tegang perlahan merosot turun. Ia baru saja bertemu pengacara yang jelas tahu apa yang harus dilakukan. Tenang, tegas, dan paham situasi adiknya luar dalam.
Untuk pertama kalinya, beban yang menekan dadanya terasa sedikit terangkat. Ada jalan keluar. Ada seseorang yang akan membela adiknya. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa lega, meski hari-hari sebelumnya terasa seperti perang tanpa senjata.
Sebelum berpisah, Adrian memberi satu pesan pada Anita.
“Jangan bilang ke Yuna kalau aku yang membantu cari pengacara.”
Tak menanyakan kenapa, Anita cukup paham situasi mereka. Wanita yang kini sudah merasa lega itupun hanya mengangguk pelan.
***
Keesokan harinya. Kayuna sudah duduk di kursi — ruang konseling hukum.
Pengacaranya belum tiba, hanya ia dan kakak perempuannya yang duduk di sana.
Matanya terus mengerjap, gugup.
Anita tersenyum samar, lalu menepuk lembut bahu adiknya.
“Tenang aja, pengacaranya cukup baik. Kakak yakin, beliau bisa diandalkan.” Kakaknya berusaha menenangkan.
Kayuna membalas senyum tipis, sambari mengangguk percaya.
Tak lama, pintu ruangan terbuka.
Pengacara muda itu melangkah masuk dengan percaya diri. Wajahnya tenang, tatapannya tajam, dan setiap gerakan menunjukkan ia tahu persis apa yang akan ia hadapi.
Kemeja rapi dan map hitam di tangannya memberi kesan profesional, tapi cara ia menyapa — ringkas, jelas, dan tanpa basa-basi.
Usianya mungkin muda, tapi kapasitasnya tak bisa diremehkan. Ada ketegasan yang halus, ada ketenangan yang menepis setiap keraguan. Perempuan itu tahu cara memenangkan sesuatu.
Kayuna berdiri — terpaku, terpukau oleh silau sang pengacara. “Dia … wanita?”
Sementara pengacara wanita itupun sama terkesima. “Oh, ini … wanita yang membuat Adrian sama sekali tak melirikku?” gumamnya nyaris tak terdengar.
*
*
Bersambung.