NovelToon NovelToon
Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Identitas Tersembunyi / Harem / Romansa / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: ZhoRaX

Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.

Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!

Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”

Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH 5

Setelah selesai makan dan membayar dengan beberapa koin emas pemberian Tuan Bao, Shen Hao keluar dari warung itu dengan wajah puas.

Perut kenyang, hati tenang.

“Kalau dunia ini kayak begini terus, aku bisa betah tinggal lama,” gumamnya sambil merentangkan tangan, menikmati angin sore desa Qingmu.

Ia berjalan santai melewati jalan utama, melihat-lihat pedagang dan rumah-rumah batu kecil di sepanjang sisi jalan.

Namun seperti biasa — keberuntungan tampaknya tidak pernah memihak padanya.

Braak!

Seseorang menabraknya cukup keras hingga membuat tubuhnya oleng ke belakang.

“Aduh! Mata lu taruh di mana sih!” seru Shen Hao spontan.

Pria yang menabraknya — bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah biru tua dengan simbol sekte di dada — malah menatapnya dengan wajah angkuh.

“Berani sekali bicara seperti itu pada anggota Sekte Gunung Angin!”

Shen Hao berkedip. “Sekte apa? Sekte Nasi Angin?”

Orang-orang di sekitar mulai berbisik, beberapa mundur pelan.

Pria itu mendengus keras. “Kau berani menghina sekteku?! Sudah menabrakku, tidak minta maaf, malah bicara seenaknya!”

Shen Hao menatapnya dari ujung kaki sampai kepala dengan wajah datar.

“Pertama, yang nabrak kau. Kedua, aku berdiri di sini, kau yang jalan. Ketiga, kalau aku harus minta maaf, dunia ini berarti sudah kebalik.”

“Mulutmu busuk!” bentak pria itu. “Minta maaf sekarang juga, atau—”

Shen Hao memotong cepat, nada suaranya santai tapi menusuk.

“Kalau aku minta maaf duluan, berarti aku mengaku salah. Kalau kau minta maaf duluan, berarti kau mengakui aku benar. Jadi, gimana? Mau adu cepat minta maaf, atau mau aku bantu mikir dulu?”

Beberapa warga menahan tawa di sudut jalan, sementara wajah pria itu memerah karena menahan amarah.

“Kau cari mati, bocah! Aku akan—”

Swish!

Sebelum kalimat itu selesai, tinjunya sudah meluncur ke arah wajah Shen Hao.

Shen Hao yang kaget spontan menutup mata dan mengangkat kedua tangan.

Namun suara pukulan tak pernah datang.

Yang terdengar justru bunyi keras seperti tangan menampar udara kosong, lalu keheningan.

Pelan-pelan, Shen Hao membuka satu matanya…

dan melihat tangan seseorang menahan tinju pria itu dengan dua jari saja.

“Ah, ini lagi…” gumam Shen Hao pelan.

Pria itu berusaha menarik tangannya, tapi seperti tertahan oleh kekuatan tak terlihat.

Dan di hadapan mereka berdua, berdiri sosok yang sudah sangat Shen Hao kenal —

rambut abu-abu diikat sederhana, jubah usang, ekspresi santai tapi tajam.

> Tuan Bao.

“Anak ini tidak salah,” ucap Tuan Bao dengan suara tenang.

“Kalau kau ingin berkelahi, pergilah ke arena latihan, bukan jalan desa.”

Pria sekte itu menelan ludah, wajahnya pucat.

Ia mengenali siapa Tuan Bao — penjaga wilayah Muqing, orang yang bahkan tetua sekte lokal pun segan padanya.

Ia segera menunduk dalam-dalam.

“M-Mohon maaf, Tuan Bao! Saya tidak tahu kalau beliau… murid Anda!”

Tuan Bao menatapnya tajam sesaat.

“Pergi.”

Pria itu langsung kabur secepat kilat tanpa berani menoleh lagi.

Warga desa yang menonton hanya bisa membungkuk hormat begitu Tuan Bao menoleh ke arah mereka.

Sementara itu, Shen Hao masih berdiri mematung, lalu menatap Tuan Bao dengan ekspresi campur aduk.

“…Guru… kau sengaja ya, biar aku latihan mental dulu di dunia luar?”

Tuan Bao mengelus janggutnya, tersenyum kecil.

“Latihan terbaik adalah pengalaman langsung. Kau belajar lebih cepat dengan begitu.”

“Belajar? Hampir saja aku jadi lauk tambahan di jalan!”

“Justru karena itu kau ingat pelajarannya,” kata Tuan Bao tenang sambil berjalan duluan.

Shen Hao mendesah berat, tapi akhirnya menyusul.

“Guru, jujur aja, kau ngikutin aku dari awal, kan? Dari aku jatuh ke lumpur tadi pagi?”

“Hmm,” gumam Tuan Bao ringan. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak mati konyol.”

Shen Hao menatapnya lama, lalu tertawa kecil.

“Yah, terima kasih sudah memastikan muridmu yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ini tetap bisa makan malam, Guru.”

Tuan Bao hanya mengangguk pelan, matanya menatap langit sore yang mulai memerah.

“Mulai besok, Shen Hao. Dunia luar sudah menunggumu.”

---

Malam sudah turun.

Langit di atas desa Qingmu tampak dipenuhi bintang yang berkerlap-kerlip lembut, seperti taburan cahaya spiritual yang menari di udara.

Di penginapan kecil di tepi jalan utama, dua sosok duduk berhadapan di meja kayu sederhana — Shen Hao dan Tuan Bao.

Aroma teh hangat memenuhi ruangan.

Suara jangkrik dari luar berpadu dengan desiran angin yang menembus celah jendela.

Shen Hao bersandar di kursinya, memandangi uap teh di tangannya.

Sesekali matanya melirik ke arah jendela, lalu kembali ke cangkirnya, seolah tengah memikirkan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan.

Tuan Bao, seperti biasa, duduk tenang.

Ia tak banyak bicara, hanya menatap muridnya itu dengan tatapan dalam.

“Guru,” Shen Hao membuka suara akhirnya, nada santainya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kegelisahan,

“Kenapa kau benar-benar ingin aku keluar dari rumah itu?”

Tuan Bao menatapnya sebentar, lalu menjawab pelan,

“Karena rumah itu terlalu aman.”

Shen Hao mengerutkan alis. “Terlalu aman?”

“Ya,” Tuan Bao menatap langit melalui jendela. “Tempat yang tidak pernah kau hadapi bahaya, tidak pernah membuatmu takut, dan tidak pernah memaksamu mengambil keputusan… bukan tempat untuk seseorang yang ingin hidup.”

Shen Hao terdiam.

Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti menampar hatinya.

“Aku tahu,” lanjut Tuan Bao, “dunia ini asing bagimu. Kau kehilangan segalanya di tempat asalmu. Kau berpikir bertahan di rumah itu sudah cukup… karena di sanalah kau merasa aman. Tapi Shen Hao, hidup bukan soal merasa aman. Hidup adalah soal mencari arti dari keberadaanmu — meski itu berarti terluka, gagal, dan berdarah.”

Shen Hao memutar cangkir teh di tangannya perlahan.

“Kalau begitu, kenapa aku?”

“Apa maksudmu?”

“Kenapa aku yang harus terlempar ke dunia ini? Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma orang biasa yang bahkan mati dengan cara bodoh — tertabrak truk. Dunia ini penuh monster, sekte, kultivator, hal-hal gila. Aku bahkan baru tahu apa itu qi dua minggu lalu.”

Nada suaranya terdengar seperti campuran frustrasi dan tawa getir.

Tuan Bao tersenyum samar.

“Kadang, dunia memilih orang yang bahkan tidak memintanya.”

“Dan kenapa dunia itu nggak pilih yang lain aja?”

“Karena mungkin yang lain tidak akan bertahan sepertimu.”

Shen Hao menatapnya, lama sekali.

Uap teh yang naik di antara mereka seolah menjadi tirai tipis yang memisahkan dua generasi — satu bijak, satu masih tersesat.

Akhirnya Shen Hao tertawa kecil, nada suaranya lemah tapi tulus.

“Guru, kalau kau terus bicara bijak seperti itu, aku bisa salah sangka kau dewa yang menyamar.”

Tuan Bao meneguk tehnya pelan. “Aku hanya orang tua yang terlalu sering melihat muridnya mati muda.”

Suasana hening beberapa saat.

Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan lentera di luar.

Shen Hao menatap ke arah jendela, ke langit berbintang.

“Guru… aku nggak menolak tinggal di Muqing karena aku sombong. Aku cuma… belum tahu siapa aku di dunia ini. Kalau aku tinggal di sana, aku takut cuma akan hidup dengan bayangan orang lain. Setidaknya kalau aku di luar, aku bisa cari jawabanku sendiri.”

Tuan Bao menatapnya, matanya berkilat lembut.

“Kau ingin mencari makna hidupmu sendiri, ya.”

“Entah itu, atau sekadar mencari tempat yang bisa nerima orang bodoh kayak aku.”

Tuan Bao tertawa kecil. “Shen Hao, dunia ini lebih luas dari yang kau kira. Tapi jalan yang kau pilih juga akan lebih sulit dari yang bisa kau bayangkan.”

“Guru,” Shen Hao menatapnya lurus. “Kalau nanti aku mati di jalan ini, jangan sedih, ya. Aku cuma mau tahu sampai sejauh mana orang kayak aku bisa bertahan.”

“Kalau begitu,” ujar Tuan Bao dengan suara dalam, “pastikan saat kau mati, dunia ini tahu bahwa seseorang bernama Shen Hao pernah hidup di dalamnya.”

Keduanya terdiam setelah itu.

Hanya bunyi desir angin dan denting lembut cangkir teh yang terdengar.

Di luar, langit malam tampak lebih terang dari biasanya.

Dan untuk pertama kalinya, di dalam dadanya yang masih ragu, Shen Hao merasa — mungkin, untuk sekali ini saja, ia benar-benar siap memulai perjalanan panjang itu.

1
mu bai
sebaiknya menggunakan bahasa indo formal lebih cocok thor
ZhoRaX: ok.. nanti diubah
👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!