Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 I'm The Queen
Luar biasa.
Wanita bernama Miranda ini memang tidak bisa diremehkan sedikit pun.
Tadinya Darren mengira akan melihatnya dalam keadaan terpuruk—kacau, lusuh, kehilangan sinarnya. Tapi ternyata… tidak ada yang berubah.
Terakhir kali dia melihat Miranda, wanita itu sudah memesona. Kini pun sama.
Hanya seragam tahanan yang membedakannya dari para pria di sini. Selain itu, semuanya tetap sama—kulit bersih, wajah dengan riasan tipis yang rapi, dan rambut panjangnya tergerai dengan indah.
Yang lebih mencolok lagi, ketika Miranda dibawa menghadap padanya, para penjaga memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak ada borgol di pergelangan tangannya, tidak ada tekanan sedikit pun di wajahnya.
Ini adalah penjara pria, tapi Miranda tampak seperti ratu yang memerintah di antara para bud4k.
“Merindukanku, Tuan Muda?”
Suara itu terdengar manis sekaligus mematikan. Miranda menatapnya sambil mencibir, bibirnya melengkung dengan sinis.
Dia sama sekali tidak terlihat menyesal. Sebaliknya, dia mendongak tinggi-tinggi, mengibaskan rambutnya, dan menatap Darren dengan mata yang penuh kemenangan.
“Sepertinya Alex membuat keputusan yang salah,” ujar Darren datar. “Dia seharusnya ingat kalau kau mendamba melayani banyak pria di atas ranjangmu.”
Miranda terkekeh, lembut tapi menusuk. “Melayani? Untuk apa aku melayani mereka, jika aku bisa membuat mereka semua melayaniku?”
Dia maju selangkah, lalu tersenyum mengejek. “Darren, kau tampak menyedihkan. Apa kau sadar itu? Kau bisa menumpahkan darah sebanyak apa pun demi melindungi mereka, tapi seumur hidup kau akan tetap berdiri di belakang Alex—sebagai benteng, bukan penguasa.”
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya merendah. “Setelah semua yang kau lakukan, pada akhirnya kau hanya menjadi seseorang yang memohon belas kasih mereka. Lalu apa? Apa kau berhasil mendapatkan Ace Corporation?”
Miranda tertawa keras, lantang dan penuh kepuasan. “Kau tetaplah pecundang. Sedangkan aku?” dia menepuk dadanya dengan sombong. “I’m the queen. Aku bisa bergerak ke mana pun, mengendalikan siapa pun di sekelilingku. Kau tidak cukup buta untuk tidak melihat semua ini, kan?”
Darren menatapnya lama.
Oh, harusnya dia bertepuk tangan sekarang?
Dan dia benar-benar melakukannya.
“Luar biasa,” katanya dengan nada datar. “Kau tahu betul bagaimana menggunakan tubuhmu untuk bertahan.”
“Itu perbedaanku denganmu.” Miranda berdecak. “Kau bahkan tidak tahu bagaimana menggunakan otakmu dengan baik. Sayang sekali. Jika aku jadi kau, aku akan memastikan semua yang kumiliki benar-benar menjadi milikku sepenuhnya.”
Darren tersenyum miring, menyilangkan tangan di dada. “Apa kau masih berpikir kata-kata seperti itu bisa mempengaruhiku? Jadi, paket teror yang kau kirim—itu hanya untuk memamerkan kekuasaanmu?”
Miranda menatapnya, lalu tertawa lagi—kali ini lebih tajam. “Jika aku yang mengirim paket teror itu, Darren, aku tak akan berhenti pada ancaman. Aku akan mengirim bom yang meledakkan tubuhmu berkeping-keping.”
Dia mendekat, suaranya berbisik di antara tawa. “Tapi aku senang kau datang membawa kabar baik. Ya, meskipun tidak memuaskan, setidaknya aku tahu kesengsaraanmu baru saja dimulai.”
Tatapannya menusuk. “Kau pikir hanya aku yang menuai karma setelah apa yang terjadi? Kau salah besar. Tabur tuai tidak berpihak pada siapa pun—bahkan Alex sekalipun.”
Miranda menegakkan tubuhnya lagi, bibirnya melengkung anggun. “Tapi aku berhasil mengubah karmaku menjadi manis. Dan sekarang ….” Dia mencondongkan wajahnya, hanya beberapa sentimeter dari Darren. “Kita lihat saja bagaimana kau akan menghadapi punyamu.”
Senyumannya menghilang, berganti dengan tatapan penuh amarah yang nyaris membakar.
“Pikirkan semua yang telah kau lakukan, Darren. Jangan bertingkah seperti malaikat. Karena hatimu ….” Miranda menatap lurus ke matanya. “… sama busuknya sepertiku.”
…..
PYARR!
Suara pecahan kaca terdengar nyaring dari balik pintu kamar mandi.
Leana, yang baru saja hendak meletakkan secangkir kopi di meja kerja Darren, sontak terhenti. Tangannya bergetar sedikit.
Darren ada di dalam. Tapi ... apa yang dia lakukan?
Cermin di depan wastafel hancur berantakan. Darren menatap pantulannya yang retak—fragmen wajahnya memantulkan kekacauan di dalam pikirannya.
Dia tak ingin mendengar suara itu lagi. Tapi ucapan Miranda terus menggema, berulang-ulang di kepalanya seperti rekaman rusak yang tak bisa dimatikan.
Apa hanya aku yang kau khianati?
Tidak. Bukan hanya Miranda. Dia juga telah membunuh Liana—ibu kandung Alex, sekaligus ibu asuh Eve.
Jadi, apakah … Alex?
Tidak. Tidak mungkin. Bukan dia… bukan. Hubungannya sudah sangat baik dengan Alex sekarang.
Namun seberapa keras pun dia menolak, satu nama itu terus muncul.
Alex. Orang yang paling dia rugikan.
Tapi kenapa pria itu melepaskannya begitu saja? Tanpa balas dendam, tanpa amarah yang seharusnya menjadi bagian dari dirinya?
Alex bukan tipe pria yang akan diam.
Dan mengapa kue itu dikirim dari toko Eve?
Apakah itu pesan tersembunyi? Atau peringatan?
Ketukan di pintu mengagetkannya.
“Pak, Anda di dalam?” Suara Leana terdengar hati-hati.
Darren menatap cermin yang sudah pecah itu sekali lagi, lalu menarik napas panjang. Jika dia ingin mencari tahu kebenarannya, maka tidak boleh ada seorang pun yang tahu tentang ini.
Dia merapikan rambutnya, menenangkan diri, lalu membuka pintu.
“Kenapa?” suaranya datar, namun matanya masih menyala dingin. “Kau tidak sabar menemuiku sampai perlu mengetuk pintu kamar mandiku?”
“Saya mendengar sesuatu pecah dari dalam,” jawab Leana pelan. “Saya hanya memastikan semuanya baik-baik saja.”
Dia sempat melirik ke arah tangan Darren, memastikan tak ada luka. Setelah itu, dia menegakkan tubuh dan berkata tenang, “Saya sudah mendapat jawabannya. Saya permisi.”
“Eits.” Darren menahan lengannya sebelum sempat melangkah jauh.
“Sudah sampai di sini, kenapa buru-buru pergi?”
Leana menatapnya tak nyaman. “Pak, tolong lepaskan saya. Saya masih banyak pekerjaan.”
Darren mencondongkan tubuh sedikit. “Aku juga punya urusan denganmu,” katanya pelan namun tajam. “Kapan kau akan makan malam denganku?”
“Tidak ada jadwal makan malam bisnis hari ini.” Leana mencoba bersuara tegas. “Jadi saya tidak akan—”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Darren menariknya ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan cepat.
Leana terperangah. Ada pecahan kaca di lantai, dan hawa di ruangan itu terasa menekan.
Darren menatapnya dengan sorot mata yang berbeda—dingin, tapi juga berbahaya. Dia menghimpit tubuh Leana di antara dinding dan bahunya, kedua tangannya menahan di sisi kepala wanita itu.
“Hanya setelah kau setuju makan malam denganku nanti malam, aku akan melepaskanmu,” ucapnya rendah, nyaris seperti desisan.
“Pak, Anda tidak bisa melakukan ini!” Suara Leana bergetar. “Kalau Anda tidak melepaskan saya, saya akan menelepon Kakek Anda!”
Darren tersenyum licik. “Oh? Bagaimana kalau aku yang menghubunginya untukmu?” Salah satu tangannya sudah bergerak ke saku jas, meraih ponselnya.
Wajah Leana seketika memucat.
Dia hanya menggertak tadi—tak benar-benar berniat melibatkan Kakek Liam. Jika pria tua itu tahu, bukannya menolong, dia justru akan mendukung Darren. Baginya, Leana hanyalah bawahan, dan Darren … adalah darahnya sendiri.
Belum sempat Darren menekan nomor itu, Leana akhirnya berkata cepat, “Baik! Saya setuju.”
Darren tersenyum puas. “Pilihan yang bagus. Setelah jam kerja nanti, tunggu aku. Mengerti?”
Leana menunduk. “Ya, Pak.”
Begitu Darren memberinya jalan keluar, Leana langsung bergegas pergi, napasnya tersengal seperti habis lolos dari bahaya.
Namun begitu jam kerja berakhir, dia tak menunggu sedetik pun.
Tanpa berpikir panjang, dia mengemasi barangnya dan keluar lebih dulu dari kantor. Langkahnya cepat, hampir berlari, seolah sedang dikejar sesuatu.
Masih ada sedikit pekerjaan yang belum selesai, tapi dia tidak peduli. Apapun lebih baik daripada harus menghadapi makan malam dengan Darren malam ini.
Namun, Darren sudah menduga hal ini. Jadi ketika Leana tiba di pintu utama, bagian keamanan menghadangnya.
“Nona, saya mohon maaf. Sesuai perintah Pak Darren, saya tidak bisa mengizinkan Anda untuk keluar.”
“Tapi ini bukan lagi jam kerja!”
“Maaf Nona, kami hanya menjalankan perintah.”
Leana berdecak, lalu berbalik ke sisi lain. Pokoknya dia harus keluar sebelum Darren muncul.
Ada pintu belakang, biasanya tidak ada yang menjaga selain petugas kebersihan yang keluar masuk. Dan sialnya, ada dua penjaga juga yang sudah berdiri di sana seolah mereka semua tahu jika dia akan mengambil jalan ini.
“Satu-satunya jalan keluar hanya denganku karena mereka semua mematuhi apa yang aku katakan.”
Baru juga dia membatin Darren, suara pria itu sudah muncul di belakangnya. Leana memutar tubuh, menatapnya kesal.
Sedangkan pria itu, lihatlah kilatan licik dan senyumnya yang sangat puas. Jika bukan karena dia yang sudah sejauh ini, pasti dia sudah meninggalkan perusahaan ini sejak lama. Belum lagi Kakek Liam yang selalu mendorong dia pada cucunya ini.
“Jadi bagaimana, mau kubantu?”
***