Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 13.
Cahaya keemasan sore itu membias di kaca jendela ruang kerja proyek istana. Gurun di kejauhan tampak seperti laut pasir yang tak bertepi. Alena berdiri di depan meja, menggambar sketsa terakhir sambil menatap horizon yang memantulkan warna tembaga.
Kini Fadil sering datang tanpa suara, pria itu memiliki caranya sendiri untuk hadir. Kadang hanya berdiri di belakang Alena sambil membawa dua cangkir teh arabic, aroma kayu manisnya selalu mengisi ruangan sebelum suara mereka saling menyapa.
“Masih bekerja?” tanyanya lembut dalam bahasa Inggris, seperti biasa dengan aksen arab yang kental.
Alena menoleh, tersenyum tipis. “Sebenarnya, hampir selesai. Tapi aku takut kalau aku berhenti sekarang, ideku hilang begitu saja.”
Fadil menaruh cangkir di meja. “Kalau begitu... biarkan aku yang mengingatkannya untukmu. Setiap kali kau lupa, aku akan menyebutkannya lagi.”
Fadil tak pernah terlalu terang dalam berkata-kata, tapi di setiap ucapannya selalu ada ketulusan yang terasa nyata.
Hari itu, mereka berdua meninjau bagian taman dalam istana. Arsitektur Timur Tengah yang anggun berpadu dengan sentuhan modern hasil rancangan Alena. Kubah berwarna gading memantulkan cahaya seperti mutiara, sementara kolam berair biru di tengahnya menciptakan bayangan menari di langit-langit.
“Aku tak percaya, kau bisa memahami bahasa bangunan kami sebaik ini,” ujar Fadil pelan. “Orang-orang lokal saja butuh waktu lama untuk memahami... filosofi bentuknya.”
Alena tersenyum. “Aku tak memahaminya dengan kepala, aku mencoba melihatnya dengan hati.”
Fadil terdiam, jawaban wanita itu membuatnya memalingkan wajah sebentar, seolah tak ingin Alena melihat senyumannya.
Mereka berjalan di sepanjang lorong marmer putih, udara sore membawa aroma mawar gurun dan dupa ringan. Suara langkah keduanya bergema di antara lengkungan dinding batu pasir.
Alena berhenti sejenak, mengelus pilar yang diukir dengan motif bunga. “Tuan, aku ingin tahu... istana ini nanti untuk siapa?”
Fadil menatap langit-langit ruangan. “Untuk seseorang... aku ingin nantinya dia merasa aman di dalamnya.”
Entah kenapa dalam hati kecil Alena, ia berharap tempat itu suatu hari juga bisa melindungi dirinya... walau ia tak berani mengakuinya.
Malamnya, mereka makan malam di balkon istana. Angin gurun membawa kesejukan, bintang bertaburan seperti pasir di langit. Fadil menceritakan kisah masa kecilnya di kerajaan, tentang kuda putihnya, dan tentang ibunya yang suka membaca puisi Persia sebelum tidur.
Alena mendengarkan dengan mata berbinar. “Aku ingin melihat tempatmu tumbuh saat kecil suatu hari nanti.”
Fadil tersenyum. “Mungkin, nanti aku akan menunjukkan padamu.”
Dan malam itu saat angin bertiup lembut, keduanya menyadari sesuatu tumbuh diam-diam di antara tatapan dan keheningan—sesuatu yang belum mereka beri nama.
Waktu berjalan seperti desir angin, Alena dan Fadil semakin sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya di proyek tapi juga di luar pekerjaan. Fadil selalu menemukan alasan untuk menemani Alena. Entah sekadar mencicipi roti bakar di kedai kecil, atau berjalan menyusuri jalan-jalan tua di distrik Deira.
Suatu pagi mereka pergi ke pantai Jumeirah sebelum matahari terbit. Alena berdiri di tepi air mengenakan gaun linen krem sederhana, kerudungnya ditiup angin. Fadil berdiri tak jauh darinya, hanya diam memandangi.
"Aku sudah melihat banyak hal indah di dunia ini, tapi tak ada yang sesederhana dan setenang pemandangan ini.”
Alena menatap laut, lalu melirik Fadil. “Kau bicara tentang laut atau tentang aku?”
Fadil menatap wanita sejenak, bibirnya melengkung kecil. “Mungkin... keduanya.”
Alena tertawa kecil lalu menunduk, pipinya memanas. Tapi Fadil tidak menertawakan, hanya membiarkannya larut dalam keheningan yang nyaman.
Hari-hari berikutnya, keduanya mulai berbagi hal-hal kecil. Seperti cara Alena memesan kopi tanpa gula, cara Fadil selalu membawa buku catatan kulit tua yang berisi kutipan puisi-puisi Arab kuno. Dan kadang, Fadil membacakan satu puisi sederhana untuknya.
“‘Cinta adalah pasir yang tak bisa digenggam,’” katanya suatu malam di taman istana. “Semakin kau genggam kuat, semakin ia lolos di antara jarimu.’”
Alena menatapnya lama. “Kau takut kehilangan?”
“Siapa yang tidak takut? Tapi mungkin cinta sejati bukan tentang menggenggam, tapi tentang menemani angin yang membawanya.”
Kata-kata itu membuat dada Alena bergetar pelan. Ia menatap pria itu, pangeran yang merendah. Pria yang tak pernah membual, tapi justru membuatnya merasa aman.
Dan sejak ia berpisah dari Arga, kini Alena merasa… dicintai.
Sabtu pagi di Dubai selalu ramai.
Fadil mengajak Alena ke Souk Madinat, pasar tradisional yang penuh warna, aroma rempah, dan tawa penjual lokal. Alena tampak kagum sejak pertama kali melangkah.
“Ini seperti labirin,” katanya sambil menatap deretan lampu gantung, karpet Persia, dan botol parfum berkilau.
Mereka berkeliling, menawar gelang perak, mencicipi kurma madu, dan menertawakan harga karpet yang disebut diskon khusus turis. Beberapa kali Fadil pura-pura marah, saat Alena mencoba membayar sendiri.
“Tidak sopan membuat pangeran kalah cepat,” katanya pura-pura serius.
Alena membalas dengan tatapan geli. “Kau suka kalah kalau urusannya ini, kan?”
Mereka berdua tertawa, dan tawa itu mencairkan udara panas pasar siang itu.
Seorang penjual tua mendekat, memberikan sekotak kecil. “Untuk wanita yang membuat pria tersenyum seperti anak kecil,” katanya dengan logat Arab yang tebal.
Alena terkejut. Di dalam kotak itu, ada gantungan kecil berbentuk bulan sabit dari batu giok. Fadil berterima kasih dan membayar lebih dari harga yang diminta.
“Untuk keberuntungan,” kata si penjual lagi sebelum pergi.
Sore itu di perjalanan pulang, Alena memegang gantungan itu di tangannya. “Lucu, ya. Bulan sabit... seperti simbol yang sama di istanamu.”
Fadil meliriknya, mata cokelat gelapnya hangat. “Itu tanda, mungkin dunia sedang menunjukkan sesuatu padamu.”
Alena tersenyum, tapi tak menjawab. Ia tahu sesuatu memang berubah dalam dirinya, perlahan tapi pasti. Setiap langkah, setiap percakapan, membawa hatinya lebih dekat ke arah yang ia tak sangka bisa terjadi lagi.
Jatuh cinta.
Hari itu di proyek baru, seorang arsitek muda dari Prancis datang membantu presentasi. Pria itu ramah, penuh semangat, dan jelas tertarik dengan Alena. Beberapa kali pria itu menatap Alena terlalu lama, terlalu kagum.
Fadil melihat semuanya.
Sepanjang rapat, wajahnya tenang tapi ada sesuatu di balik matanya yang gelap. Setelah pertemuan selesai, ia memanggil Alena dengan nada yang sedikit lebih rendah dari biasanya.
“Kau tampak akrab dengan pria tadi,” katanya.
Alena menatapnya bingung. “Kamu juga tau, dia hanya rekan kerjaku, kami mendiskusikan bahan bangunan... bukan masa depan.”
Fadil lalu tersenyum kecil. “Aku tahu. Tapi tetap saja… aku ingin menjadi satu-satunya yang melihat senyuman mu yang indah itu.”
Kata-kata itu membuat jantung Alena berdetak keras, ia ingin membalas tapi lidahnya kelu. Hanya ada keheningan lembut di antara mereka, diisi oleh angin gurun yang bertiup pelan.
Malamnya, Fadil muncul di depan apartemen Alena membawa sebuket bunga mawar putih.
“Bunga ini, untuk permintaan maaf. Tadi siang, mungkin aku terlalu… impulsif.“
Alena menerima bunga itu, hatinya meleleh. “Tidak apa, kadang sedikit cemburu juga lucu.”
Fadil tersenyum. “Kalau begitu, biarkan aku jadi pria lucu untukmu.”
Keduanya duduk, namun Alena terlihat seperti melamun saat melihat bunga di tangannya.
“Kau seperti sedang memikirkan sesuatu?” tanya Fadil lembut.
“Aku hanya… berpikir. Kadang, aku takut menerima hal-hal yang terlalu indah.” Jawab Alena dengan lirih.
Fadil menoleh pada wanita itu, matanya lembut tapi penuh keyakinan. “Aku paham kenapa kau takut, karena kau pernah kehilangan. Tapi kalau suatu hari kau siap mencintai lagi... aku tak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang membuatmu berani melangkah lagi.”
Air mata menggenang di mata Alena, tapi bukan karena sedih. Rasanya seperti menemukan rumah, di tempat yang tak pernah ia bayangkan.
Malam itu, ia tak menjawab apa pun. Tapi saat Fadil hendak pergi, Alena menggenggam tangan pria itu sebentar. Dan genggaman itu… sudah lebih jujur dari ribuan kata.
Keduanya, akhirnya saling jatuh cinta.
*
*
*
Alur percintaannya lambat ya, karena proses Alena membuka kembali hatinya itu butuh waktu 🫶
Kan kamu sendiri yang secara ngga langsung menyuruh Alena pergi dari hidupmu... 😤
Kalo Arga meminta Alena untuk balikan, jangan harap deh yah.. 😫
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/