Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Bab 1
Kota Yanzim adalah tempat di mana cahaya dan kegelapan berdampingan. Di siang hari, derap kaki pedagang memenuhi pasar; kereta kuda dan para kurir keluarga besar berlalu-lalang di jalan utama. Tapi ketika matahari tenggelam, bau besi, arak, dan darah memenuhi udara. Kota ini hidup di atas keseimbangan yang rapuh—antara hukum dan kekuasaan, antara kehormatan dan kelicikan.
Di tengah kota yang gelisah itu, dua pemuda menempuh jalan yang sama: Julius Garcia dan Miko Stanley. Mereka sebaya, sama-sama berusia tujuh belas tahun, dan sama-sama murid dari Master Liang, guru bela diri legendaris yang tinggal di kaki Bukit Wuyan.
Bagi Julius, latihan bela diri adalah jalan untuk menjaga kedamaian dan melindungi keluarga Garcia—keluarga bangsawan tua yang dihormati karena kebijaksanaan dan kehormatannya. Bagi Miko, latihan adalah satu-satunya cara untuk keluar dari masa lalunya yang kelam; ia adalah anak yatim yang ditemukan Julius di jalanan bertahun-tahun lalu dan kemudian dibawa ke kediaman gurunya.
Mereka berdua sering terlihat berjalan beriringan di jalan setapak menuju tempat latihan. Julius biasanya membawa kendi air dan beberapa gulungan kertas berisi catatan pelajaran, sedangkan Miko menenteng tongkat latihan kayu yang dipegangnya seolah itu pedang sejati.
---
**
Pagi itu, kabut turun tebal di lembah. Di halaman rumah kayu tempat mereka berlatih, suara cambuk dan kayu beradu menggema. Master Liang duduk di atas batu besar, matanya menatap tajam kedua murid kesayangannya yang tengah bertarung.
“Langkahmu masih terlalu berat, Miko,” kata Julius, mengelak dari pukulan cepat sahabatnya.
Miko tersenyum tipis, keringat mengalir di pelipisnya. “Langkahku berat karena aku memukul dengan sungguh-sungguh, bukan seperti mu menari-nari layaknya bangsawan.”
Julius tertawa kecil. “Bangsawan pun bisa memukul, loh. Kalau punya niat, ya.”
Gerakan mereka cepat, tajam, dan penuh tenaga muda. Ketika kayu Miko hampir mengenai bahu Julius, Master Liang mengetuk lantai dengan tongkatnya.
“Cukup!”
Keduanya berhenti dan menunduk.
“Seni bela diri bukan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat,” ujar sang guru dengan suara tenang tapi berwibawa. “Kekuatan tanpa arah hanya akan melahirkan kesombongan. Kau mengerti, Miko?”
Miko terdiam sesaat. Ia tahu gurunya menegurnya, tapi matanya tetap dingin. “Saya hanya ingin berhasil menjadi lebih baik, Guru.”
Master Liang menatap lama murid itu, lalu mengangguk pelan. “Keinginanmu besar. Tapi ingat, air yang deras pun bisa menghancurkan dirinya sendiri jika tidak mau diarahkan.”
Julius menepuk bahu Miko sambil tersenyum. “Sudahlah. Hari ini aku traktir roti madu di pasar bawah.”
Miko mengangguk tanpa bicara. Dalam hatinya, entah kenapa, ada rasa tak nyaman setiap kali gurunya lebih memuji Julius.
---
**
Menjelang sore, keduanya berjalan melewati jembatan batu menuju pasar. Kota Yanzim sore itu ramai. Bau rempah, serbuk besi, dan arak bercampur di udara. Di sisi jalan, beberapa penjaga keluarga besar memeriksa karavan dagang yang datang dari arah timur.
“Lihat mereka,” kata Miko sambil menunjuk para penjaga itu. “Keluarga besar selalu hidup dengan perlindungan. Mereka tak perlu berkelahi, tapi berkuasa. Kadang aku bertanya-tanya, apa semua itu adil?”
Julius meliriknya. “Kekuasaan bukan untuk dipertanyakan, tapi untuk digunakan dengan bijak. Keluargaku pun bisa hancur kalau tidak berhati-hati.”
Miko menatap langit yang mulai merah keunguan. “Aku hanya ingin dunia ini adil. Kalau aku cukup kuat, tak akan ada yang berani meremehkan siapa pun, termasuk aku.”
Julius tersenyum lembut. “Adil itu bukan berarti semua orang sama kuatnya, Miko. Adil berarti kau tidak menyalahgunakan kekuatan yang kau punya.”
Miko tidak menjawab. Kata-kata itu terdengar seperti petuah seorang yang sudah terlahir beruntung. Ia yang lahir di jalanan, yang pernah kelaparan dan hampir mati di tangan penjaga pasar, tahu bahwa dunia tak pernah memberi ruang bagi yang lemah.
---
**
Malam harinya, angin bertiup kencang dari lembah. Dari kejauhan terdengar lonceng-lonceng peringatan dari menara kota. Julius dan Miko berdiri di beranda rumah gurunya, memandangi langit malam yang penuh awan.
“Bandar Jahat mulai bergerak lagi,” kata Julius pelan. “Keluargaku menerima kabar mereka mengambil alih pelabuhan utara.”
Miko memicingkan mata. “Bandar Jahat? Aku dengar mereka bukan hanya sekadar geng. Mereka pasukan bayaran yang bekerja untuk keluarga bangsawan yang mulai kehilangan pengaruh.”
Julius mengangguk. “Mereka menjual senjata, menyelundupkan racun, bahkan melatih pembunuh. Jika kekacauan ini terus berlanjut, Yanzim akan berubah jadi ladang perang.”
Miko menatap jauh ke lembah. “Kalau begitu, biar aku yang melindungi kota ini. Aku akan jadi orang terkuat di antara mereka semua.”
Julius menatap sahabatnya lama sekali lalu berucap dengan nada penuh canda, “Kau akan melindungi kan, bukan malah menghancurkan, hehehe.”
Miko tersenyum samar. “Tentu saja. Tapi kadang untuk melindungi sesuatu, kita harus tahu cara menghancurkan musuh lebih dulu.”
---
**
Hari-hari berikutnya, latihan mereka semakin berat. Master Liang mulai mengajarkan teknik pernapasan tingkat tinggi dan cara mengendalikan energi dalam tubuh. Dalam hal kecepatan dan kekuatan, Miko berkembang pesat. Ia bisa memecahkan batu besar dengan satu pukulan dalam waktu beberapa bulan saja. Tapi ketenangan dan keseimbangan batin yang selalu ditekankan gurunya tetap menjadi kelemahannya.
Suatu hari, saat latihan bersama, salah satu murid baru tidak sengaja menabraknya. Miko spontan mendorongnya keras hingga jatuh dan berdarah.
“Michael!” bentak Julius, langsung menahan tangannya. “Dia tidak sengaja!”
“Dia ceroboh,” jawab Miko dingin. “Kalau di medan perang, ceroboh itu bisa membuatmu mati.”
Master Liang datang dan menatap tajam. “Dan di sini, ceroboh bisa membuatmu kehilangan kesempatan untuk belajar.”
Miko menunduk, tapi matanya menyala dengan amarah yang tertahan. Setelah latihan berakhir, ia berjalan sendirian ke pinggir sungai. Julius menyusulnya.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Julius. “Kau tidak seperti dulu.”
Miko menatap air yang mengalir cepat. “Aku hanya muak jadi bayanganmu, Julius. Setiap kali kita berlatih, Guru selalu bilang aku terlalu keras, sementara kau—selalu jadi murid yang sempurna.”
Julius menatap sahabatnya lama. “Aku tak pernah ingin bersaing denganmu. Aku hanya ingin kita terus bisa belajar bersama.”
“Tapi dunia tidak melihatnya begitu,” Miko balas dengan nada getir. “Kau lahir sebagai Garcia, dan aku? Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku. Satu-satunya hal yang bisa kumiliki hanyalah kekuatan. Dan aku akan mendapatkannya… bagaimanapun caranya.”
Julius ingin membalas, tapi melihat tatapan Miko, ia tahu tak ada gunanya berdebat. Air sungai mengalir deras di bawah jembatan, membawa bersama arus kecil dari persahabatan mereka yang mulai retak.
---
Malam itu, dari jauh, kilatan petir menyambar langit. Hujan mulai turun, membasahi atap rumah-rumah tua di Kota Yanzim. Di antara cahaya kilat yang menyinari lembah, dua sosok muda berdiri Dalam diam—satu menatap masa depan dengan tekad membara, satu lagi dengan hati yang penuh kekhawatiran.
Dan dari malam itulah, sejarah mulai menulis kisah tentang dua sahabat yang akan menjadi dua musuh besar yang menorehkan darah di tanah Yanzim.
Bersambung.
thumb up buat thor