"inget, ini rahasia kita!. ngga ada yang boleh tau, sampai ini benar benar berakhir." ucap dikara dengan nafas menderu.
"kenapa? lo takut, atau karna ngerasa ngga akan seru lagi kalau ini sampai bocor. hm?." seringai licik terbit dari bibir lembab lengkara, pemuda 17 tahun yang kini sedang merengkuh pinggang gadis yang menjadi rivalnya selama 3 tahun.
Dan saat ini mereka sedang menjalin hubungan rahasia yang mereka sembunyikan dari siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mian Darika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANIK
Dikara berteriak begitu keras, sebab demi apa pun saat ini perutnya benar benar terasa sakit. Bukan sakit biasa, melain kan ada sensasi berdenyutnya dan itu sangat menyakit kan.
"Bi...bi enduy..." suaranya lirih sakit perut yang datang tiba tiba ini membuatnya lemas.
Tak lama dari itu pintu kamar di buka agak kasar, dan bi enduy datang dengan wajah pias yang terlihat khawatir.
"Ya ampun non, non kenapa? Apa yang sakit non."
"Perut, perut aku sakit bi....tolong..." suara dikara sudah tidak bertenaga, rasanya dia sudah lemas seakan akan kesadarannya akan menghilang saat ini juga.
"Ayo sini bibi bantu, kita ke rumah sakit ya? Bibi khawatir kalau sakit perutnya tambah parah."
Dikara mengangguk lemas, membiar kan bi enduy memakai kan hoodie oversize ke tubuhnya lalu di bantu untuk berjalan menuju lift.
Sesampainya di lantai utama, bi enduy langsung membawa dikara ke arah luar rumah untuk menunggu taksi yang ia pesan beberapa waktu lalu, mengingat selama kedua orang tua dikara tidak ada di rumah, supir yang biasanya sering mengantar jemput pun di libur kan. Dan tentu saja bi enduy juga tidak bisa menyetir mobil, alhasil memesan taksi untuk sampai ke rumah sakit.
Sekitar 2 menit menunggu, taksi yang di pesan pun datang dan bertepatan dengan kedatangan mobil aryan yang tadi keluar untuk menemani sang istri membeli kebutuhan dapur untuk minggu ini.
Dikara sudah ada di dalam taksi, dan bi enduy masih menyempat kan diri untuk mengunci rumah terlebih dahulu.
"Bi, kara kenapa? Kok di gotong gitu." Raut wajah amara benar benar khawatir, apa lagi beberapa hari ini dikara sudah tidak pernah lagi datang ke rumahnya dengan alasan sibuk menyiap kan pendaftarannya.
"Itu nyonya, non kara sakit perut. Mungkin karna tadi dia ngga makan malam dan lebih milih buat makan rujak, mana sambalnya banyak banget, katanya ngga enak kalau ngga pedas."
Mendengar itu, amara langsung menghampiri taksi dan di sana wajah dikara sudah terlihat pucat.
"Ya ampun kara." Wanita itu menoleh ke arah sang suami. "Mas, tolong bawain belanjaannya ke dalam ya. Aku mau ikut nemenin kara ke rumah sakit, aku ngga bisa biarin dia gitu aja." Aryan pun mengangguk, dan amara langsung masuk ke dalam taksi yang di susul oleh bi enduy.
Setelah taksi itu meninggalkan komplek perumahan, aryan pun menghela nafas berat ikut khawatir dengan keadaan putri tetangga nya itu.
Ceklek....
"Kalian belum tidur?." Tanya nya begitu masuk ke dalam rumah dan mendapati lengkara serta ayang yang masih sibuk di ruang tengah dengan beberapa buku yang mereka beli di atas meja, sedang kan tak jauh dari sana avel masih asik menyaksi kan film kartunnya sembari memakan beberapa potongan biskuit di dalam toples.
"Dikit lagi kok pa, udah nanggung, biar nanti ngga repot lagi nyiapinnya!." Lengkara menjawab, yang di angguki oleh ayang.
"Pa, mama mana? Bukannya tadi bareng papa ya. Terus pesanan avel mana, kan mau di bawa ke sekolah senin ini." Avel sedikit berguling untuk mencapai lantai, lalu menghampiri sang papa yang pulang sendirian dengan beberapa kantung belanjaan di kedua tangan.
"Pesanan kamu ada kok, tenang aja. Terus kalau mama, dia ke rumah sakit ikut bi enduy nganterin kak kara."
"Kaka kala kenapa? Kok di bawa ke rumah sakit, kak kala ngga kenapa kenapa kan pa?." Wajah avel khawatir, karna bagaimana pun kedekatannya dengan dikara tidak bisa di kata kan hanya sekedar tetangga saja. Dia begitu menyayangi gadis itu, bahkan kalau di suruh memilih antara dikara dan lengkara, dia akan memilih dikara dari pada sang kakak.
"Kara sakit perut, makanya di bawa ke rumah sakit. Kamu berdo'a aja ya muda mudahan kara baik baik aja, papa juga bakalan nyusul setelah ini."
Avel mengangguk, lalu kemudian berjalan ke arah kamarnya.
Lengkara ingin bertanya, namun urung saat matanya melihat ayang yang terlihat mengantuk.
"Pa, apa aku juga ikut?." Tanya nya, dan itu membuat alis aryan sedikit terangkat.
"Ngga usah, kamu di sini aja jagain adik kamu. Lagi pula di sana udah ada mama sama bi enduy, jadi kamu ngga usah ikut." Lengkara mengangguk, dan setelahnya aryan pamit untuk menyusul ke rumah sakit.