"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anggap Saja Peringatan
Aureliany Valente, sepupu Kairos atau anak tunggal Alex Valente melangkah pelan di lorong lantai atas mansion Valente.
Segelas air dingin masih tersisa di tangannya setelah ia minum dari dapur. Suasana malam itu hening, hanya detak jam dinding yang sesekali terdengar.
Saat melewati kamar Kairos, telinganya menangkap suara lirih, seekor kucing yang mengeong pelan dari dalam kamar.
Aurel mengernyit. Kucing Kairos?
Rasa penasaran membuatnya berhenti di depan pintu. Ia mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.
Pintu itu ternyata tidak terkunci. Dengan hati-hati, ia mendorongnya.
Cahaya lampu tidur remang menyambutnya, memantulkan bayangan samar di dinding kamar luas itu.
Benar saja, di sudut ranjang, seekor kucing berwarna abu-abu kesayangan Kairos duduk sambil mengeong, seolah meminta perhatian.
“Hey… kamu di sini rupanya,” gumam Aurel, meletakkan gelas di meja kecil dekat pintu.
Ia melangkah mendekat, lalu mengangkat kucing itu ke dalam pelukannya. Bulu lembutnya membuat Aurel tersenyum sekilas, sedikit melupakan rasa canggung karena nekat masuk ke kamar pamannya.
Namun saat berbalik, matanya tertumbuk pada sesuatu di meja kerja besar dari kayu mahoni, tempat Kairos biasanya menghabiskan waktu.
Sebuah buku berwarna coklat gelap tergeletak mencolok di antara dokumen dan pulpen, seolah menunggu untuk ditemukan.
Di sampulnya, ada inisial huruf A yang terukir samar.
Aurel terdiam. Rasa penasaran menyeruak lebih kuat, mengalahkan logika yang menyuruhnya pergi.
Perlahan, masih dengan kucing di pangkuannya, ia mendekati meja itu.
Jemarinya yang bebas menyentuh kulit buku yang terasa dingin, lalu membuka halaman pertamanya dan saat itulah dunia Aurel seakan berhenti berputar.
Di sana, tertata rapi foto seorang gadis. Dari masa SMA dengan seragam putih abu-abu, hingga senyum anggun dalam balutan toga wisuda. Gadis itu selalu sama.
Aurel membeku.
Di samping foto-foto itu, ada tulisan tangan tegas yang penuh intensitas.
"Senyumnya adalah candu. Dia tidak akan pernah lepas dariku."
"Setiap detik aku melihatnya, aku tahu—hanya aku yang pantas memilikinya."
"Aku akan menunggu, dan ketika saat itu tiba, dia tidak akan bisa melarikan diri lagi."
Nafas Aurel tercekat. Rasa dingin merambat di punggungnya, membuat bulu kuduknya meremang.
Ia menatap kucing di pelukannya, seolah berharap ada jawaban dari tatapan mata hewan itu.
__________________________________________________
Aurora membuka mata perlahan. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis yang tidak sepenuhnya tertutup.
Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Penthouse mewah.
Bau kulit dan kayu masih begitu asing.
Lalu ia merasakan sesuatu yang lebih nyata—hangat, berat, dan mengekang.
Tangan pria itu.
Lengan Kairos melingkar erat di pinggang rampingnya, membuat tubuh Aurora terperangkap.
Ia kaku, jantungnya berdebar tak karuan.
Aurora menggigit bibir, mencoba menggeser tubuh pelan-pelan. Tapi setiap gerakan kecil justru membuat genggaman Kairos mengencang.
“Berhenti bergerak.” Suara berat itu terdengar serak.
Aurora menoleh cepat. Tatapan abu-abu itu masih setengah terpejam, namun cukup menusuk hingga darahnya berdesir.
“Kau… kau melingkarkan tanganmu ke tubuhku!” sergah Aurora dengan suara rendah, berusaha menahan panik.
Kairos tersenyum tipis, smirk khasnya.
“Kau baru sadar sekarang? Semalam aku bisa saja mengikatmu dengan rantai kalau mau.”
Aurora mendengus kesal. “Dasar gila! Lepaskan aku.”
“Kenapa harus?” Kairos mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih rendah, hangatnya napas menyapu pelipis Aurora.
“Kau sudah di sini, di ranjangku. Kau pikir dunia luar masih menunggu?”
Aurora menegang. “Aku bukan milikmu, Valente.”
Kairos terkekeh pelan. “Sayangnya, hutang keluargamu bilang sebaliknya.” Jemarinya sedikit menekan pinggang Aurora, seolah menegaskan kata-katanya.
Aurora mengerang pelan, separuh marah, separuh tak berdaya. “Kau benar-benar… menjengkelkan!”
Kairos tidak marah, justru ia menikmati setiap perlawanan kecil itu.
“Aku lebih suka kata posesif. Atau dominan. Pilih istilah mana yang terdengar lebih indah di telingamu, Ricci.”
“Lepas!” Aurora mencoba menepis tangannya, tapi Kairos menahan lebih erat.
Kairos mendekat, berbisik di telinganya. “Kalau aku lepaskan sekarang, siapa yang menjamin kau tidak lari? Kau terlalu impulsif untuk dibiarkan bebas.”
Aurora menoleh cepat, wajah mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan aroma mint samar dari napas pria itu.
“Aku tidak akan lari, asal kau berhenti memperlakukan aku seperti barang.”
“Itu tawaran atau ancaman?”
Aurora menghela napas panjang, menyerah sejenak. “Anggap saja peringatan.”
Kairos tertawa rendah, dalam. “Kau memang berbeda dari kebanyakan orang. Tapi ingat, Aurora… peringatanmu tidak pernah lebih kuat dari kendaliku.”
Tangannya akhirnya melonggar, namun bukan karena ia menyerah. Ia justru menepuk pinggang Aurora sekali, ringan tapi penuh klaim, sebelum bangkit dari ranjang.
“Ayo. Sarapan menunggu. Dan jangan coba-coba menolak makananku… kalau tidak, mungkin rumahmu yang akan kehilangan atapnya duluan.”
Aurora duduk sejenak di tepi ranjang setelah Kairos meninggalkannya.
Napasnya masih terasa berat, dadanya naik turun, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau.
Ia berdiri, melangkah ke kamar mandi. Di depan wastafel marmer, Aurora menatap bayangan dirinya.
Rambut acak-acakan, wajah lelah dengan semburat merah di pipi. Ia membuka keran, membiarkan air dingin mengalir, lalu berkumur dan membasuh wajah.
Setidaknya itu membuatnya sedikit segar sebelum menghadapi pria yang mengekangnya.
Ketika keluar, suara gesekan kursi dan aroma makanan hangat sudah menunggu dari arah ruang makan. Aurora berjalan pelan ke sana, langkahnya ragu tapi terpaksa.
Meja marmer panjang sudah tertata rapi. Sepiring omelet keju, roti panggang, daging asap, dan semangkuk salad segar tersusun rapi.
Di sisi meja, Kairos sudah duduk santai dengan kemeja putih sederhana, lengan tergulung.
Tangan kirinya memegang cangkir kopi, sementara tatapan abu-abu itu mengawasi Aurora sejak ia muncul di ambang pintu.
“Duduk,” perintahnya singkat.
Aurora menelan ludah, lalu duduk di kursi seberang. Ia menyentuh sendok perlahan, tapi tidak langsung makan.
“Aku ingin bicara,” ucap Aurora hati-hati.
Kairos menaruh cangkirnya, satu alisnya terangkat.
“Bicara.”
Aurora menghela napas. “Aku harus kembali ke sekolah. Murid-muridku menunggu. Aku tidak bisa seenaknya menghilang.”
Kairos menyeringai kecil, menaruh siku di meja dan menautkan jari-jarinya. “Sekolah internasional itu?”
“Ya. Itu tugasku. Aku guru. Itu bagian dari hidupku,” jawab Aurora tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Kairos mendiamkannya beberapa detik, membuat Aurora makin gelisah. Lalu ia bersandar, smirk tipis muncul di wajahnya.
“Lucu. Kau bicara tentang ‘hidupmu’, seakan-akan kau masih punya kendali penuh atasnya.”
Aurora menegakkan punggung. “Aku tidak akan menyerah begitu saja. Murid-muridku penting bagiku. Mereka butuh aku.”
“Dan keluargamu butuh rumah. Butuh atap. Butuh keamanan,” Ucap Kairos, nada suaranya dingin tapi tajam.
“Mana yang lebih penting, Ricci? Sekelompok anak orang kaya yang bisa dengan mudah punya guru pengganti atau keluargamu sendiri?”
Aurora tercekat. Kata-katanya macet di tenggorokan.
Kairos mencondongkan tubuh, tatapannya menusuk.
“Jangan salah paham. Aku tidak melarangmu bekerja. Tapi aku tidak mengizinkanmu kembali ke sekolah itu. Aku tidak suka berbagi bahkan tatapan murid-murid kecil itu sekalipun.”
“Aku bukan milik siapapun.” Tegas Aurora.
“Sayangnya tidak begitu.”
Aurora menggenggam sendok erat-erat, matanya berkaca-kaca.
Sekali lagi, ia merasa seluruh dunianya dipersempit, sampai hanya ada satu nama yang memegang kendali.
Kairos Valente.
tbc🐼