NovelToon NovelToon
REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

Status: tamat
Genre:Identitas Tersembunyi / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Sinopsis

Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.

Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.

Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.

Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 27

Bima berdiri di tepi atap markas besar Yura, menatap cakrawala kota yang diterangi lampu. Di bawahnya, markas itu menjulang sebagai simbol Kekayaan Fungsional, sebuah sistem yang telah menampung 1435 karyawan. Semua telah dimenangkan. Konflik eksternal sudah selesai.

Angin malam berembus kencang, menampar wajahnya yang lelah. Tepat di bawah kakinya adalah perusahaan yang ia dirikan untuk melunasi martabatnya. Namun, rasa puas yang datang tidaklah dingin, melainkan hangat dan asing.

Dia memejamkan mata, membiarkan dirinya dibawa kembali ke titik nol, momen terburuk sekaligus paling jujur dalam hidupnya.

{Kekuatan. Aku Dewa Kekayaan, tapi kekuatan ilahi itu tiba-tiba hilang saat aku turun ke dunia fana. Semuanya lenyap. Aku bukan lagi Arta, yang mahakuasa. Aku hanya wadah fana yang dihadapkan pada utang dan kebencian.}

Di dunia ini, tanpa kekayaan ilahi, ia hanya tersisa dengan logika murni. Tidak ada intuisi kosmis, hanya perhitungan dingin dan cepat. Ia harus bertindak seperti robot, menyusun sistem demi sistem untuk bertahan hidup. Efisiensi, kecepatan rotasi modal, dan margin keuntungan menjadi satu-satunya bahasanya.

{Aku menjadi entitas yang hanya tahu angka. Tidak ada rasa takut saat dihina. Tidak ada amarah saat dicabut martabat. Aku hanya mesin. Sebuah robot sempurna yang diciptakan untuk membalikkan narasi pasar.}

Namun, ada dua variabel yang tidak pernah bisa ia hitung: Dinda, dan Risa.

Dinda, adiknya, adalah alasan utama Arta bersedia menjadi Bima. Senyum murni Dinda adalah aset non-likuid yang harus diamankan, motivasi tunggal di balik semua strategi bisnis.

Teringat juga Risa, yang dengan sabar menuntunnya keluar dari belenggu logika spreadsheet. Risa yang memaksanya untuk melihat di luar angka, yang menuntutnya untuk mencapai 'titik nol' di luar sistem.

{Dinda memberiku tujuan, tapi Risa memberiku panduan untuk menjadi manusia. Dia yang memilihkan emosi manusiawi Bima, emosi yang sempat kukira hanya akan merusak efisiensiku. Rasa khawatir, tawa, bahkan kerentanan yang kuakui di depannya.}

Bima membuka mata. Refleksinya di kaca jendela terlihat tenang, tanpa ketegasan yang berlebihan, tanpa aura ilahi. Ia melihat seorang pria yang baru saja selesai berperang, bukan untuk uang, melainkan untuk jiwanya sendiri.

{Aku lelah menjadi Dewa Kekayaan, Arta. Aku tidak mau lagi menjadi robot tanpa hati yang hanya tahu bagaimana menghitung. Semuanya telah selesai. Perhitungan sudah berakhir. Sekarang waktunya menjadi nyata.}

Bima menarik napas dalam-dalam, menghirup udara malam yang dingin. Tekadnya kini bulat, sebuah deklarasi yang ia sampaikan hanya untuk dirinya sendiri, lebih kuat dari kontrak mana pun yang pernah ia tandatangani.

{Tak ada lagi Dewa Kekayaan Arta. Tak ada lagi robot yang dikendalikan oleh efisiensi. Yang ada hanyalah Bima. Manusia biasa, yang memeluk Dinda dan belajar mencintai Risa. Manusia biasa pemilik brand Yura.}

Dia berbalik dari tepi atap, meninggalkan pandangan kota. Tugas beratnya sebagai CEO dan sebagai manusia baru saja dimulai.

//////////////////////////////

Bima melajukan mobilnya tanpa tujuan yang pasti, tetapi kakinya membawanya ke tempat yang paling ia butuhkan. Danau kota. Tempat yang damai, yang menjadi saksi bisu awal perjuangannya.

Ternyata, Dinda dan Risa sudah ada di sana.

Cahaya lampu taman yang kekuningan memantul di permukaan danau yang tenang. Mereka duduk di bangku kayu dekat air. Dinda tertawa ceria, tangan kecilnya mencoba menangkap kunang-kunang yang terbang rendah di atas rerumputan. Risa tersenyum melihat tingkah Dinda, sesekali merapikan rambut adiknya.

Mereka terlihat begitu lepas dan murni, seperti dua keping kebahagiaan yang berhasil ia amankan dari kerasnya dunia. Bima berhenti di balik pohon besar, mengamati mereka. {Ini adalah Margin Keuntungan Sejati. Ini adalah nilai yang tidak akan pernah bisa dihitung oleh spreadsheet mana pun.}

Bima berjalan perlahan, langkahnya senyap di atas tanah berumput. Dinda dan Risa terlalu asyik dalam dunia mereka, sehingga tidak menyadari kehadirannya. Rasa hangat yang begitu kuat menjalar ke dada Bima, menghapus semua kelelahan dari perang strategis yang baru saja ia menangkan.

Saat ia mencapai bangku itu, Bima langsung merangkul keduanya dari belakang. Lengan kirinya melingkari bahu Risa, dan tangan kanannya menggapai Dinda yang sedang berusaha melompat.

"ASTAGA, Bima!" Risa terkejut, suaranya sedikit meninggi. Ia menoleh dengan cepat dan melihat mata Bima yang memancarkan ketenangan yang berbeda dari biasanya.

Dinda terdiam sejenak, wajahnya yang ceria langsung menengadah melihat kakaknya. "Kak Bima! Kenapa di sini? Dinda kira Kakak masih kerja."

Bima mempererat pelukannya, mencium puncak kepala adiknya. Dinda adalah fondasi, sementara Risa adalah langit yang menjaganya tetap bernapas.

"Kakak sudah selesai kerja," jawab Bima lembut. Ia menatap lurus ke mata Risa, menyampaikan perasaan yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. "Terima kasih, Risa. Terima kasih banyak."

Risa mengerti. Dia tahu Bima berterima kasih bukan hanya karena dukungan dalam bisnis, tetapi karena telah menyelamatkannya dari jurang logika. Air mata Risa sedikit menggenang, tetapi ia menahannya. Ia memegang tangan Bima yang melingkari bahunya, memberinya anggukan tulus.

"Sama-sama, Bima. Kita berhasil."

Bima beralih menatap Dinda yang tampak bingung. "Dinda juga, terima kasih banyak."

Dinda memiringkan kepala kecilnya. "Terima kasih untuk apa, Kak? Dinda tidak melakukan apa-apa, Dinda hanya menangkap kunang-kunang."

Bima tertawa pelan. Tawa itu terdengar ringan dan manusiawi. Tawa yang jarang sekali ia tunjukkan saat ia masih menjadi robot yang terobsesi dengan sistem.

"Terima kasih karena Dinda ada di sini," kata Bima, sebuah kalimat sederhana yang memuat seluruh makna perjuangannya. "Karena Dinda ada, Kakak jadi tahu kalau semua sistem itu ada tujuannya. Jadi Kakak bisa jadi Bima, bukan hanya Arta."

Dinda tidak mengerti arti di balik nama Arta, tetapi ia merasakan kehangatan yang luar biasa dari pelukan kakaknya. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Bima dan kembali menatap kunang-kunang.

Sementara Dinda kembali asyik, Risa memeluk pinggang Bima, menatap mata pemuda itu sekali lagi, menegaskan janji untuk membimbing Bima memasuki babak baru yang penuh dengan emosi. Mereka duduk di tepi danau yang damai, bertiga, di bawah langit malam. Bima, Arta yang kini memilih menjadi manusia, dikelilingi oleh aset non-likuid paling berharga dalam hidupnya.

//////////////////////////////

Keesokan harinya, Yura untuk sementara kehilangan CEO dan Pendirinya. Bima mengambil cuti dua jam, bertugas mengantar Risa untuk sesi pemotretan. Hari itu Risa akan kembali menjadi 'publik figur' yang telah memberikan Validasi Sosial krusial bagi Yura.

Di lokasi studio yang ramai, Dinda terlihat sangat bersemangat. Ia memegang tangan Bima erat-erat, matanya tidak bisa lepas dari Kak Risa-nya yang kini berada di tangan penata rias profesional. Selama ini, Dinda selalu melihat Risa dalam balutan pakaian santai dan sederhana.

"Kak Bima! Kak Risa sangat cantik," bisik Dinda kagum, nyaris tidak percaya. "Dia seperti peri!"

Bima hanya mengangguk pelan. Ia tidak bisa menyangkal pernyataan adiknya. Risa yang biasanya hanya mengenakan kaus atau kemeja kasual, kini bertransformasi total. Mengenakan gaun yang elegan dan tata rias yang menonjolkan fitur wajahnya, Risa terlihat seperti heroine yang sesungguhnya.

{Variabel Emosional Risa. Daya tariknya di pasar sosial adalah aset. Tapi, daya tariknya di hatiku... tidak bisa diukur.} Bima berusaha keras mempertahankan ekspresi wajah yang datar, ekspresi yang sudah ia latih sejak lama agar tidak menunjukkan emosi yang berlebihan.

Risa yang sudah siap mulai berpose di depan kamera. Ia melirik Bima yang berdiri di samping Dinda. Risa menangkap upaya Bima untuk tetap terlihat tenang. Sebuah senyum nakal yang lembut terukir di bibirnya. Senyum itu terasa seperti provokasi yang disengaja, menantang kendali diri Bima.

Melihat senyum menggoda itu, Bima langsung menunduk. Ia tidak tahan. Tawa kecil yang spontan dan murni meledak dari dadanya. Itu bukan tawa robot yang tertahan, melainkan tawa Bima yang kini sudah terintegrasi dengan emosi.

"Astaga, kau yang memulainya, Risa," kata Bima, suaranya sedikit tertahan di balik tawa. Ia menggelengkan kepala pelan, mengakui kekalahannya di hadapan pesona Risa.

Setelah sesi pemotretan selesai, Bima mengeluarkan ponselnya. "Rio, aku butuh bantuan. Jemput Dinda di studio. Aku ada urusan yang harus diselesaikan."

"Siap, Bos," jawab Rio di seberang sana, sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari CEO-nya.

Tak lama kemudian, Rio tiba. Bima berjongkok di depan Dinda, memeluk adiknya. "Dinda pulang dengan Om Rio dulu, ya. Kakak ada urusan dengan Kak Risa."

"Oke, Kak! Dadah!" Dinda dengan riang berjalan menggandeng Rio, yang memasang wajah bingung namun tetap profesional.

Begitu Rio dan Dinda menghilang dari pandangan, Bima tanpa membuang waktu. Ia menarik pergelangan tangan Risa dengan lembut tapi tegas, membawanya ke balik tirai besar di sudut studio, sebuah area yang sepi dan tersembunyi dari pandangan kru yang masih sibuk.

Risa terkejut dengan gerakan Bima yang tiba-tiba, napasnya tertahan. "Bima, ada apa? Kenapa mendadak sekali—"

Bima tidak memberikan kesempatan pada Risa untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia mencengkeram dagu Risa dengan lembut, matanya kini tidak lagi datar, tetapi penuh dengan keinginan dan emosi manusiawi yang baru ia izinkan muncul. Ia lalu menunduk, tanpa basa-basi mencium bibir Risa.

Ciuman itu singkat namun penuh makna, mengakhiri semua perhitungan dan keraguan. Ini adalah deklarasi Bima yang paling jujur, di luar kontrak dan sistem. Risa membalas ciuman itu, melenyapkan semua konflik internalnya tentang apakah perasaannya akan merusak Bima.

Tiba-tiba, sebuah suara bariton yang familiar terdengar di belakang mereka.

"Ya ampun, kami tak menyangka kalian akan secepat ini."

Bima dan Risa tersentak kaget. Mereka menarik diri dengan cepat, menoleh, dan melihat sepasang suami istri berdiri di sana, menatap mereka dengan senyum geli. Itu adalah Ayah dan Ibu Risa, yang ternyata datang untuk melihat pemotretan putri mereka, namun terlambat.

Ayah Risa, yang selalu menyukai Bima, tersenyum lebar. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar Bima dan Risa tidak perlu menjelaskan apa-apa. "Jangan bertanya lagi. Kami merestui kalian." Sambil berkata begitu, Ayah Risa berbalik arah, menggandeng tangan istrinya untuk pergi.

Ibu Risa tertawa pelan sambil berjalan menjauh. "Aku ingin punya dua cucu," ujarnya, sebuah kalimat yang membuat pipi Risa langsung memerah total.

Risa menatap Bima, matanya memancarkan rasa malu, terkejut, sekaligus gembira yang luar biasa. Bima, yang sesaat terkejut, akhirnya tersenyum tulus. Tawa kecilnya yang ringan kembali terdengar.

{Skema Akuisisi Martabat telah selesai. Skema Akuisisi Pasar telah selesai. Kini, Skema Akuisisi Hati resmi dimulai. Dan, rupanya, aku baru saja mendapat persetujuan dari dewan direksi keluarga.}

1
Seeula
keren banget hehh kamu bima
Dewiendahsetiowati
terima kasih untuk ceritanya dan ditunggu karya selanjutnya thor
Dewiendahsetiowati
ceritanya bikin nagih baca terus
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Khusus Game: halo, ka. selamat membaca, sorry ya baru cek komen🙏😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!