NovelToon NovelToon
Berjalan Di Atas Luka

Berjalan Di Atas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dina Aisha

Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.

Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.

Bagaimana kisah mereka selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembunuh Bayaran

Keesokan hari, Anin terbaring lemah di atas ranjang. Di sisi tempat tidur, sang buah hati terlelap dalam tempat tidur khusus bayi yang terlindungi kelambu.

Ceklek!

Pintu kamar terbuka, Giandra masuk sembari membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Ia melangkah mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang.

“Kamu belum berangkat ke sekolah, Mas?” tanya Anin dengan nada lirih.

“Belum. Aku buatin bubur buat kamu dulu,” jawab Giandra lembut.

Dia meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur tersebut.

“Makan dulu ya. Kamu butuh banyak tenaga buat kasih ASI ke anak kita,” ujarnya penuh perhatian.

Dengan hati-hati, Giandra menyanggah punggung Anin agar bisa duduk bersandar. Lalu, dia menyodorkan sesendok bubur, Anin menatapnya lekat dan menerima suapan Giandra.

“Makasih ya. Kamu selalu perhatian sama aku meskipun ... Kita menikah tanpa cinta ...” ucap Anin dengan senyum hambar di bibir mungilnya.

“Kata siapa kita menikah tanpa cinta? Aku udah jatuh cinta sama kamu bahkan sebelum pernikahan kita,” ungkap Giandra jujur.

Giandra menatapnya teduh, senyum hangat terlukis di bibir pria itu. Perlahan, ia meraih jemari Anin, dan menggenggamnya erat.

“Makasih udah hadir dalam hidupku dan bikin aku percaya kalau masih ada perempuan tulus yang mau menerima pria belum mapan sepertiku,” tutur Giandra dengan penuh ketulusan.

Anin terdiam, matanya berkilat basah. Giandra menunduk, lalu mengecup punggung tangannya dengan khidmat.

“Gian ...” panggil Anin.

Giandra mengangkat wajahnya, dan menatap Anin. “Iya, Permaisuriku?”

“Jadilah suami yang selalu setia dan penuh kasih sayang ... Aku janji bakal mengabdi seumur hidup,” ucap Anin.

Giandra tersenyum tipis. “Tanpa kamu minta pun, aku bakal selalu setia dan menyayangi kamu seumur hidupku.”

Tangannya terulur, membelai pipi Anin. Wanita itu menempelkan wajahnya ke telapak tangan Giandra, tatapannya sarat rasa takut yang terbungkus cinta.

“Gimana kalau di masa depan ada perempuan yang jauh lebih cantik dari aku? Dan saat itu kamu udah sukses, sementara kecantikanku memudar karena dimakan usia. Apa kamu bakal tetap milih aku?” tanya Anin tiba-tiba.

“Kecantikanmu nggak bakal pudar, sayang. Lagi pula, kita beda empat tahun. Kalau kecantikanmu memudar, penglihatanku juga udah memudar. Jadi kamu bakal selalu cantik di mata aku,” jawab Giandra sembari menyeringai.

Anin menarik napas panjang. “Gimana kalau aku meninggal duluan? Kamu pasti nikahin perempuan lain. Tapi kalau hal itu terjadi, aku ikhlas ... Cuma tolong, jangan cari wanita seperti ibu tiriku. Aku nggak rela anak-anakku nanti diurus perempuan licik.”

Giandra menggeleng pelan, menatap Anin penuh keyakinan. “Kamu salah. Aku nggak bakal nikah lagi. Kita akan terus bersama sampai tua. Kalau pun salah satu dari kita pergi duluan, aku yakin orang itu pasti aku karena aku sangat mencintai kamu.”

Giandra meletakkan mangkuk bubur, lalu merengkuh Anin ke dalam pelukan.

“Sampai kapan pun, istriku cuma kamu, Anindira Sarasvati,” bisiknya lembut.

Anin tertegun, air matanya mendesak keluar, dan menetes ke baju Giandra. Pria itu mengusap kepalanya pelan, sesekali mencium rambut Anin.

“Lanjut makan ya. Buburnya belum habis,” tutur Giandra.

Dia melepaskan pelukannya, kembali mengambil mangkuk, lalu menyuapi Anin hingga buburnya habis.

“Aku berangkat sekolah dulu ya. Kamu hati-hati di rumah. Kata Pak Darsono, dia dan Pak Agus bakal nemenin kamu selama aku di sekolah,” ungkap Giandra sembari membereskan nampan.

“Ayah mau ke sini?” tanya Anin.

“Udah di ruang tamu. Sampai ketemu nanti sore, Permaisuriku,” jawab Giandra sembari tersenyum hangat, kemudian melangkah keluar kamar.

Anin kembali berbaring, tatapannya tertuju pada putrinya yang terlelap.

“Kita beruntung, Nak ... Punya kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menghargai perempuan,” tutur Anin dengan senyuman merekah lembut.

Ia menatap langit-langit kamar, dan perlahan memejamkan mata untuk beristirahat sejenak sembari menunggu buah hatinya bangun dari tidur.

...🌹🌹🌹...

Pukul 13.00 siang.

Anin bersandar lemah di tepi ranjang, kedua lengannya melingkupi bayi yang tengah menyusu. Napasnya pelan, matanya tak lepas dari wajah bayinya.

“Makan yang banyak ya, Nak. Supaya cepat besar,” ucap Anin.

Tatapannya melembut, membelai wajah mungil itu dengan mata penuh kasih. Tiba-tiba lampu padam. Ruangan tenggelam dalam hitam pekat, membuat jantung Anin berdegup kencang.

“Kok mati lampu?” tanyanya resah.

Anin meraba-raba permukaan kasur, mencari ujung kasur, lalu beranjak sembari menggendong anaknya. Satu tangan terulur ke depan, menuntun langkahnya mencari jalan keluar, sementara tangan yang lain memeluk erat putrinya supaya tidak menangis.

“Ayah ... Di mana?” tanya Anin. Namun tak ada jawaban, tanya detak jarum jam di ruang tamu yang terdengar.

Tangannya menemukan gagang pintu. Dia membuka perlahan, melangkah ke ruang tamu yang gelap mencekam sembari meraba dinding. Anin berhenti di depan laci, lalu mengais senter, dan menyalakannya. Seketika sorot cahaya menembus kegelapan di sana.

“Loh, kok sepi? Katanya ada ayah ...” gumamnya sembari mengernyit.

Anin mengarahkan senter ke setiap sudut ruangan dan seketika dia terperanjat mendapati dua pria berpakaian hitam dengan wajah tertutup topeng penuh menempelkan wajahnya di jendela depan.

Tiba-tiba pintu dibuka, Anin membelalak menatap kedua pria misterius yang memasuki rumahnya.

“Siapa kalian?” tanya Anin dengan suara gemetar.

“Kami perampok. Serahkan semua barang berhargamu!” perintah salah satu dari perampok itu.

Anin melangkah mundur, wajahnya tampak begitu pucat. “Saya nggak punya apa pun,” jawabnya dengan nada lirih.

“Bohong! Rumah sebesar ini nggak mungkin kalau nggak punya barang berharga!” bentak mereka.

Sementara itu—di pekarangan rumah—sebuah mobil terhenti. Sudarsono dan Agus turun, lalu melangkah menuju pintu. Namun, mereka terhenti ketika melihat rumah gelap gulita.

“Tunggu, Pak!” seru Agus.

Sudarsono mengerutkan kening. “Kenapa, Gus?” tanyanya.

“Kenapa rumahnya gelap? Sebelum kita pergi, semua lampu nyala,” ucap Agus.

“Tolong!!” Teriakan Anin menggelegar dan memecah keheningan.

“Gus, cepat cari bantuan! Biar saya yang ulur waktu mereka,” titah Sudarsono.

“Tapi, Pak—”

“Nyawa anak dan cucu saya dalam bahaya! CEPAT PERGI!!”

Agus mengangguk, kemudian berlari untuk mencari pertolongan. Sementara Sudarsono langsung berlari masuk. Namun, langkahnya terhenti lihat dua pria misterius berdiri di depan Anin.

Sudarsono mencabut golok yang terselip di pinggang. Dengan gerakan setajam kilat, ia menikam perut salah satu penjahat hingga darahnya muncrat ke lantai. Seketika tubuh penjahat itu roboh dan terkapar di lantai.

“Jangan bergerak! Jika kau melangkah, mereka akan kutembak!” ancam penjahat satunya sembari menodongkan pistol ke kepala Anin.

“Siapa kalian? Apa urusan kalian dengan putriku?” tanya Sudarsono.

“Kami mau merampok,” jawabnya.

“Bohong! Kalian pasti pembunuh bayaran! Siapa yang kirim kalian?” bentak Sudarsono.

Penjahat itu terkekeh. “Ternyata benar, kau bukan lawan yang mudah. Kami dikirim untuk menghabisi bayi itu.”

Sudarsono tercekat, pikirannya berputar mencari dalang yang mengirim pembunuh bayaran itu.

“Dia—” Sudarsono melotot, menatap mata penjahat yang tampak tak asing.

Seketika darah Sudarsono mendidih. “Lepaskan putriku atau kamu akan mati seperti temanmu!” ancamnya.

“Taruh senjatamu dulu,” titah penjahat.

“Kau saja yang taruh senjatamu,” sahut Sudarsono enggan mengalah.

“Baiklah. Kita taruh sama-sama,” usul penjahat itu santai.

Keduanya pun berjongkok. Begitu pistol dan golok tergeletak di lantai, Sudarsono melesat, menendang keras perampok itu, lalu menikam perutnya hingga raungan kesakitan menggema.

Tubuh penjahat itu ambruk, dan darahnya menggenang di lantai.

Sudarsono berdiri terengah, menghampiri Anin. “Kamu baik-baik saja, Nak?” tanyanya sembari mencengkeram bahu putrinya.

“Iya, Ayah. Makasih udah datang tepat waktu ....” Anin tersenyum lega. Namun, tiba-tiba membelalak. “Awas, Ayah!!!”

Sudarsono menoleh. Penjahat yang sekarang itu mengangkat pistol.

Dor!

Peluru melesat, Sudarsono menyingkirkan Anin. Dalam hitungan detik, peluru menembus perutnya.

“AYAHHHH!!” Anin menjerit histeris saat tubuh ayahnya ambruk ke lantai dengan darah mengalir deras.

Anin langsung memangku kepala Sudarsono. “Tolong!!” teriaknya. Namun, tak ada yang mendengar.

Sudarsono mengangkat tangannya gemetar, berusaha menyentuh pipi Anin. “Be–berhati-hatilah ... Pada keluarga Giandra ...” ucapnya dengan napas tersendat-sendat.

Air mata Anin menetes membasahi wajah Sudarsono. “Ayah harus kuat! Aku mau cari bantuan!’ serunya.

Anin hendak beranjak, tetapi Sudarsono menggenggam erat tangannya. “Tolong ... Satukan liang lahat ayah dan ibu,” pintanya dengan nada lirih.

Anin menggeleng keras. “Jangan ngomong begitu, Ayah!”

Genggaman itu terlepas, perlahan mata Sudarsono tertutup untuk selamanya.

“AYAHHHH!! JANGAN TINGGALIN AKU!!” Anin mengguncang tubuh Sudarsono yang sudah tak bernyawa.

Pak Agus menerobos masuk dengan beberapa warga, napasnya terengah, dan menghampiri Anin.

“Bapak kenapa, Non?” tanyanya.

“Ayah ... Kenapa ayah tinggalin aku, Pak?” Anin terisak keras dengan suara parau. Sementara warga bergidik ngeri melihat tubuh Sudarsono dan dua penjahat lain yang bersimbah darah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!