Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~Hutan Karang~
Langkah-langkah kaki mereka tenggelam dalam tanah berlumut saat rombongan memasuki Hutan Karang. Pohon-pohon raksasa berdiri rapat, rantingnya membentuk atap gelap yang hampir menutup cahaya matahari. Udara di sini lebih dingin dan lembap, dan setiap suara terdengar lebih keras daripada biasanya—derak ranting, tarikan napas, bahkan gesekan kain.
Edrick memimpin di depan, Ashenlight menggantung di punggungnya. Sesekali cahaya dari pedang itu menembus kegelapan, memberi penerangan samar. Di belakangnya, Selene mengamati setiap sudut, Darius berjalan di sisi kanan, dan Mira menjaga belakang bersama dua pengungsi baru dari Hollowfen.
“Tempat ini terasa… salah,” gumam Mira, matanya menyapu pepohonan.
“Bukan hanya perasaanmu,” jawab Darius. “Hutan Karang dikenal berbahaya. Banyak orang hilang di sini.”
Pria tua Highridge yang ikut bersama mereka berbicara dengan suara serak. “Orang-orang bilang hutan ini dihantui. Tapi mungkin hanya bandit atau binatang buas yang bersembunyi.”
Selene menatap Edrick. “Kita perlu bergerak cepat. Terlalu lama di sini bisa jadi masalah.”
Edrick mengangguk. “Kita tetap bergerak, jangan berhenti kecuali terpaksa.”
Suara burung gagak tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti oleh lolongan serigala. Anak-anak pengungsi memeluk orang tua mereka, ketakutan.
Mereka terus berjalan, tetapi suasana semakin mencekam. Ranting-ranting patah sendiri, dan kadang terlihat bayangan bergerak di antara pepohonan. Mira menyiapkan busurnya, sementara Darius mengencangkan genggamannya pada pedang.
Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat dari sisi kanan, menancap di tanah tepat di depan Edrick. Semua berhenti seketika.
“Siapa di sana?” teriak Edrick, matanya menyapu hutan.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menekan.
Selene menarik pedangnya. “Mereka sedang mengintai.”
Darius bergerak ke depan, matanya menyipit. “Bandit?”
Sekelompok pria bersenjata ringan muncul dari balik pepohonan, mengenakan baju kulit kusam. Pemimpin mereka, seorang pria berambut panjang dan berjanggut lebat, maju selangkah. “Serahkan semua barang berharga dan mungkin kami biarkan kalian hidup.”
Edrick menatap pengungsi di belakangnya. Mereka tidak punya banyak barang—hanya sisa makanan dan selimut—tetapi bandit-bandit itu tetap menodongkan senjata.
“Kami tidak mencari masalah,” kata Edrick tenang. “Tapi kami tidak akan menyerahkan apa pun.”
Pemimpin bandit itu tertawa pendek. “Lalu kalian akan mati di sini.”
Darius maju, pedangnya terangkat. “Coba saja.”
Dalam hitungan detik, suasana hening berubah menjadi kekacauan. Bandit-bandit menyerang, dan kelompok Edrick membentuk lingkaran pertahanan. Mira menembakkan panah pertama, mengenai salah satu bandit di bahu. Selene menebas lawan yang mendekat dari kiri. Edrick menghadapi pemimpin bandit secara langsung.
Benturan pedang menggema di hutan. Anak-anak pengungsi bersembunyi di balik kereta, dijaga dua pria desa.
Pemimpin bandit itu cukup kuat, menahan tebasan Edrick dan melawan dengan gerakan cepat. “Kau pikir pedang bercahaya itu membuatmu istimewa?” ejeknya.
Edrick menahan serangan berikutnya dan mendorong lawannya mundur. “Tidak. Tapi aku tahu cara menggunakannya.”
---
Darius menangkis dua serangan sekaligus, kemudian memutar tubuh dan menebas salah satu bandit hingga jatuh. Nafasnya berat, tapi matanya tetap fokus. “Mereka lebih banyak dari yang kukira,” gumamnya.
Selene menendang lawan yang mencoba mendekat, lalu menusukkan pedangnya ke perut bandit lain. “Tetap di formasi!” serunya.
Mira terus memanah dari jarak aman. Panahnya menghantam tepat sasaran, satu demi satu bandit tumbang. Namun, jumlah mereka masih cukup untuk mengancam rombongan. Dua bandit mencoba menyelinap dari sisi kiri, mendekati para pengungsi. Pria tua dari Highridge mencoba melindungi anak-anak, tetapi salah satu bandit mendorongnya hingga jatuh.
Mira segera mengalihkan bidikan, melepaskan panah ke dada bandit itu. Yang satunya lagi berhasil mendekat, tapi sebelum ia sempat menyentuh seorang pun, Darius sudah melompat dan menebasnya. Darah membasahi tanah berlumut.
Edrick dan pemimpin bandit masih bertarung sengit. Benturan pedang mereka memercikkan api kecil. Pemimpin bandit itu lihai, bergerak cepat meski membawa pedang besar. “Kau punya keberanian, bocah,” katanya sambil menekan serangan. “Tapi keberanian saja tidak menyelamatkanmu di sini.”
Edrick menggertakkan gigi, lalu berpura-pura melemah. Saat bandit itu menyerang lagi, Edrick memutar tubuh, mengelak, lalu menebas sisi lawannya. Pedang bandit itu terlepas, jatuh ke tanah. Dalam satu gerakan cepat, Edrick menodongkan Ashenlight ke leher pria itu.
“Pergi sekarang,” kata Edrick dingin. “Atau kau mati di tempat.”
Bandit itu menatap pedang bercahaya itu, wajahnya memucat. Ia memberi tanda pada anak buahnya. “Kita mundur!” teriaknya.
Sisa bandit segera melarikan diri ke kegelapan hutan, meninggalkan mayat-mayat mereka.
Selene menurunkan pedangnya. “Itu terlalu dekat.”
Mira memeriksa para pengungsi. “Semua selamat. Hanya luka ringan.”
Darius mengusap darah dari pipinya. “Kita harus keluar dari hutan ini secepat mungkin. Mereka mungkin kembali dengan bantuan.”
Edrick mengangguk. Ia menoleh ke arah pemimpin bandit yang terluka tapi sudah melarikan diri. “Dia akan mengingat pedang ini… dan mungkin datang lagi.”
Mereka kembali menyusun barisan dan bergerak maju. Hutan Karang tampak lebih gelap daripada sebelumnya. Suara-suara aneh kembali terdengar di kejauhan. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat; ketegangan menahan kata-kata mereka.
Saat malam semakin larut, mereka menemukan celah di antara pepohonan yang cukup luas untuk berkemah. Selene menyalakan api unggun kecil, Mira berjaga dengan busur di tangan, dan Darius memeriksa pedangnya yang sedikit rusak akibat benturan.
Edrick duduk sendirian, menatap Ashenlight. Cahaya lembut dari pedang itu memantul di wajahnya. “Kenapa pedang ini… terasa semakin berat?” gumamnya.
Darius mendekat. “Mungkin bukan pedangnya. Mungkin beban yang datang bersamanya.”
Edrick tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia tahu Darius benar.
---
Malam di Hutan Karang berjalan dengan tegang. Api unggun kecil memantulkan cahaya oranye di wajah mereka. Suara serangga dan angin yang menggoyangkan ranting menambah kesan mencekam. Selene duduk sambil membersihkan busurnya, matanya sesekali menatap sekeliling, memastikan tidak ada ancaman mendekat.
Mira mendekati Edrick. “Kau melawan pemimpin bandit itu dengan baik. Tapi jangan terlalu percaya diri. Mereka bisa kembali, mungkin dengan jumlah lebih besar.”
Edrick menatap ke dalam api. “Aku tahu. Aku hanya… merasa setiap langkah yang kita ambil, pedang ini menarik lebih banyak masalah.” Ia menatap Ashenlight. “Seolah semua orang ingin mencobanya, atau merebutnya.”
Darius tertawa pendek. “Itu wajar. Legenda tentang pedang ini bukan sekadar dongeng. Jika kabar tentangmu membawa Ashenlight sudah menyebar, Garrick pasti tahu. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan pedang itu.”
Selene menimpali, “Dan kita juga tidak bisa berhenti. Hutan Karang hanyalah rintangan pertama. Ada banyak mata yang mengawasi. Setiap bandit, tentara bayaran, bahkan beberapa bangsawan akan mencoba menangkapmu.”
Mira menambahkan, “Itu sebabnya kita harus tetap bersama. Tidak ada yang akan bertahan sendirian sekarang.”
Suara serigala terdengar di kejauhan. Semua kepala menoleh ke arah suara itu. Darius berdiri, tangannya siap di gagang pedang. Tapi suara itu perlahan memudar, meninggalkan mereka dalam keheningan lagi.
Beberapa saat kemudian, Selene memutuskan: “Kita bergantian berjaga. Darius, kau duluan. Aku setelahmu. Edrick dan Mira butuh istirahat.”
Darius mengangguk. “Baik. Tapi aku ragu aku akan banyak tidur malam ini.”
Edrick berbaring di dekat api, tapi matanya tidak langsung terpejam. Ashenlight berada di sampingnya, cahayanya meredup seiring ia tertidur. Dalam mimpinya, ia melihat siluet seorang pria berzirah tua, wajahnya tak jelas, tetapi suaranya bergema: ‘Beban kebenaran tidak akan mudah, Edrick. Jangan goyah.’
Ia terbangun tiba-tiba, napasnya berat. Darius menatapnya dari kejauhan. “Mimpi buruk?”
“Entahlah,” jawab Edrick, mengusap wajah. “Hanya… peringatan, mungkin.”
Matahari pagi akhirnya menembus celah-celah pepohonan. Mereka segera membereskan perkemahan dan melanjutkan perjalanan. Udara terasa lebih dingin, dan kabut tipis menyelimuti jalan setapak.
Tidak lama kemudian, mereka menemukan jejak kaki besar di tanah berlumpur. Darius berjongkok, memeriksanya. “Ini bukan bandit. Sesuatu yang lebih besar.”
Selene mengamati sekeliling. “Kita harus berhati-hati. Jangan berisik.”
Jejak itu membawa mereka ke sebuah tebing rendah. Di bawah tebing, seekor troll hutan raksasa tengah tidur. Makhluk itu memiliki kulit kehijauan kasar dan nafasnya terdengar seperti geraman berat. Di sekelilingnya, ada tanda-tanda perkemahan bandit yang sudah porak-poranda.
Mira berbisik, “Sepertinya bandit-bandit itu juga diserang.”
Edrick menatap troll itu. “Kalau kita bisa lewat tanpa membangunkannya, kita mungkin selamat.”
Mereka menahan napas, melangkah pelan-pelan di tepi tebing. Namun, salah satu pengungsi tanpa sengaja menginjak ranting. Suara patahan ranting itu terdengar jelas.
Troll itu membuka matanya, menggeram keras. Ia berdiri, tubuhnya menjulang dua kali lipat lebih tinggi dari Darius.
Darius menghunus pedangnya. “Tidak ada pilihan lain sekarang!”
Troll itu mengayunkan tangannya, menghantam tanah dan hampir mengenai Edrick. Selene memanah makhluk itu, tetapi panahnya hanya memantul dari kulit kerasnya. Mira menembakkan dua panah berturut-turut, mengenai matanya. Troll itu mengaum kesakitan, tetapi masih berdiri.
Edrick menggenggam Ashenlight. Cahaya pedang itu bersinar lebih terang dari sebelumnya. Ia menatap makhluk itu, lalu berlari lurus ke arahnya. Troll itu mencoba memukulnya, tetapi Edrick melompat ke samping, kemudian memanjat bahu troll dan menancapkan Ashenlight ke lehernya.
Cahaya pedang itu menembus kulit keras troll, dan makhluk itu jatuh berlutut, menggeram terakhir kalinya sebelum tumbang.
Napas Edrick terengah-engah saat ia menarik pedangnya keluar. Mira menepuk bahunya. “Kau semakin terbiasa dengan pedang itu.”
Selene menatap bangkai troll. “Sekarang kita tahu, Hutan Karang bukan hanya rumah bagi bandit. Semakin jauh kita masuk, semakin berbahaya.”
Darius mengangguk. “Kita bergerak sekarang. Tidak ada waktu untuk berlama-lama. Tujuan kita masih jauh.”
Rombongan itu kembali berjalan, meninggalkan troll yang mati. Di belakang mereka, suara hutan kembali normal—tetapi ada kesan bahwa sesuatu, entah apa, terus mengawasi langkah mereka.