Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih Pengkhianatan
Malam turun lagi di Arvendral, tapi bukan hanya kabut yang menutupi kota. Rakyat kota bawah masih sibuk membersihkan darah di jalanan pasar. Bau daging terbakar bercampur abu masih menggantung di udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat.
Di gudang tua, Edrick duduk di sudut, wajahnya pucat. Ashenlight berbaring di sampingnya, diam, tapi kehadirannya menekan. Rakyat yang selamat menatapnya dengan mata campuran: ada rasa syukur, ada rasa takut, dan ada juga kebencian.
Selene memandanginya lama. “Kalau ini terus berlanjut, kau akan hancur sebelum perang sesungguhnya dimulai.”
Edrick tidak menjawab. Ia hanya menutup mata, tapi bisikan bayangan dari pedangnya tetap menelusup:
Api biru… api haus… hanya darah yang membuatnya hidup.
---
Tengah malam, langkah ringan terdengar di pintu gudang. Darius segera bangkit, pisau di tangannya.
“Siapa di luar?” serunya rendah.
Suara seorang pria muda menjawab. “Aku datang dengan pesan, bukan pedang. Lord Kaelith mengirimku.”
Nama itu membuat Selene dan Darius saling berpandangan. Mereka tahu Kaelith: bangsawan muda dari utara, bukan sekutu kuat tapi dikenal tidak sekejam bangsawan lainnya.
Utusan itu, seorang pemuda berpakaian sederhana, masuk dengan tangan terangkat. “Tuan Kaelith ingin bertemu. Ia bilang pangeran harus tahu… tidak semua bangsawan menginginkan kepalanya dipenggal.”
“Dan kenapa kami harus percaya?” tanya Darius dingin.
Utusan itu menunduk. “Karena ia mempertaruhkan nyawanya hanya dengan menyebutkan nama Hale di meja dewan.”
Edrick membuka mata. “Di mana?”
“Di reruntuhan menara lonceng timur. Besok malam. Hanya kau yang diundang.”
---
Setelah utusan pergi, perdebatan pecah di dalam gudang.
“Ini jelas jebakan,” Darius menekankan, matanya tajam. “Corvane ingin kau keluar sendiri agar mudah ditangkap.”
“Tapi bagaimana kalau bukan?” Selene menyahut. “Bagaimana kalau Kaelith benar-benar ingin membantu? Sekutu di dewan bisa menyelamatkan kita.”
Lyra memandang Edrick penuh harap. “Mungkin dia satu-satunya yang percaya padamu. Jangan biarkan kesempatan itu hilang.”
Edrick menatap api kecil di obor. “Aku tidak tahu mana yang lebih berbahaya: mempercayai bangsawan… atau tidak mempercayai siapa pun.”
Malam itu ia tidak tidur, pikirannya terkunci dalam lingkaran ragu. Setiap kali ia menutup mata, wajah rakyat yang mati di pasar muncul kembali. Wajah yang menatapnya bukan dengan rasa syukur, melainkan tuduhan.
---
Besok malam, kabut turun lebih cepat. Edrick berjalan sendiri ke menara lonceng timur, bangunan tua yang sudah lama runtuh sebagian. Lonceng besar yang dulu memanggil rakyat ke pasar kini tergeletak pecah di tanah, berkarat, ditutupi lumut.
Obor kecil menyala di dalam reruntuhan. Di sana, Lord Kaelith menunggu, hanya ditemani seorang pengawal.
Edrick mendekat dengan tangan di gagang Ashenlight. “Kalau ini jebakan, pastikan kau siap mati lebih dulu.”
Kaelith mengangkat tangan, wajahnya tenang. “Kalau aku ingin jebak kau, aku tidak akan datang hanya dengan satu pengawal. Percayalah, aku punya alasan lebih baik.”
---
Mereka duduk di atas batu runtuhan. Kaelith berbicara lebih dulu.
“Aku tahu apa yang dikatakan dewan. Aku dengar sendiri Lady Corvane menyebutmu kutukan, sesuatu yang harus dipatahkan. Tapi aku melihat hal lain. Aku lihat kabut menelan desa demi desa, dan tidak ada pasukan, tidak ada pedang, tidak ada doa yang bisa menghentikannya. Hanya kau yang bisa.”
Edrick menatapnya tajam. “Dan apa yang kau inginkan dariku? Tidak ada bangsawan yang datang tanpa harga.”
Kaelith terdiam sejenak. “Aku ingin kerajaan ini bertahan. Itu saja. Kalau kabut menelan Arvendral, gelar bangsawan, emas, semua itu tidak berarti apa-apa. Aku tidak peduli kau Hale atau kutukan. Aku hanya tahu tanpa kau, kita semua mati.”
Edrick mencengkeram Ashenlight. Kata-kata itu terdengar tulus, tapi terlalu sederhana untuk dipercaya.
---
Tiba-tiba, Ashenlight bergetar. Bisikan menyusup ke kepalanya.
Ia bohong. Ia ingin darahmu. Tebas lehernya, dan lihat bagaimana darah bangsawan terasa di lidah api.
Edrick menggertakkan gigi, mencoba menahan suara itu. Tapi jari-jarinya gatal di gagang pedang. Kaelith menyadari perubahan ekspresinya dan mengangkat tangannya.
“Aku tidak datang untuk melawanmu. Kalau kau tidak percaya, bunuh aku sekarang. Tapi setidaknya dengar: tidak semua bangsawan musuhmu. Ada yang masih punya hati… meski kecil.”
Suara pedang semakin kuat. Bohong. Semua bangsawan sama. Rantai emas atau rantai besi, tetap rantai. Putuskan rantainya, bakar semua.
Keringat dingin membasahi pelipis Edrick. Ia berdiri mendadak.
---
“Aku tidak tahu apakah kau jujur, Kaelith,” katanya, suaranya serak. “Tapi aku tahu satu hal: kalau kau berkhianat, aku tidak akan membiarkanmu mati cepat.”
Kaelith hanya mengangguk. “Kalau itu harga yang harus kubayar untuk dipercaya, aku terima. Tapi ingat, Edrick, kau tidak akan bisa menyalakan obor seorang diri. Kau butuh sekutu. Bahkan sekutu yang kau benci.”
Edrick menatapnya lama sebelum berbalik, berjalan ke dalam kabut. Ashenlight masih bergetar di sarungnya, haus, berbisik, merayu.
Di kejauhan, Kaelith menatap punggungnya menghilang. Pengawal di sampingnya berkata lirih, “Tuan, kau yakin dia akan percaya padamu?”
Kaelith menatap kabut. “Aku tidak yakin. Tapi aku tahu satu hal: lebih baik kutaruh nasibku pada seorang kutukan… daripada pada dewan yang hanya tahu bagaimana cara mengikat rantai.”
---
Mereka tidak tahu, dari atap-atap rumah yang hancur di dekat menara, sepasang mata mengamati. Mata seorang mata-mata Lady Corvane, yang tersenyum dingin sambil menggenggam gulungan kecil.
“Pangeran dan bangsawan muda… bertemu dalam rahasia. Ini kabar yang akan membuat Lady Corvane tersenyum lebih lebar.”
Ia menghilang ke dalam kabut, membawa berita yang bisa memutarbalikkan segalanya.