"Heh, anak sialan! Pergi kamu dari
rumah ini. Keluar!! Gak sudi aku
nampungmu lagi!!" usir Bu Elanor.
membuat Alvin yang sedang melamun
segera terperanjat.
"Berhenti bicara yang tidak-tidak
Ela!!" hardik pak Rohman.
"Kamu pilih aku dan anak anak yang
keluar apa anak sialanmu ini yang keluar
pak!?" teriak Bu Elanor membuat pak Rohman terkejut.
Beliau tak pernah berfikir akan
dihadapkan pada situasi se rumit ini.
"Alvin yang akan keluar pak buk"
ucap Alvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fantastic World Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 Ketua Geng Pembuat Onar
Suara langkah kaki yang semakin
mendekat, membuat Alvin dan Mingyu
mengibaskan tangannya, untuk
menghilangkan bau dari asap rokok yang
mereka hisab.
Bukan tanpa sebab, di SANG JUARA
menghisap rokok termasuk pelanggaran
berat, point yang berkurang juga besar
sekali jika sampai ketahuan. Jika
keduanya murid biasa, mungkin hanya
akan dihukum skors, tapi bagaimana
dengan murid beasiswa seperti Alvin
dan Mingyu?
Beasiswa dicabut dan diminta
mengembalikan dana yang telah
dikeluarkan oleh sekolah untuk mereka,
jika tak bisa tentu saja akan di keluarkan
begitu saja. "Sekolah favorit, tak butuh
perokok. Merokok hanya merusak tubuh dan konsentrasi belajar" salah satu kalimat
yang di lontarkan kepala sekolah saat
penerimaan siswa baru kemarin.
"Boss! Sepertinya ada tikus kecil yang
bermain di tempat kita nih" ujar salah
seorang yang mendekat ke arah Alvin
dan Mingyu.
Alvin yang mendengar suara
tersebut merasa sedikit lega, paling tidak
yang datang bukanlah seorang guru,
batinnya.
"'Ayo pergi Ming!" ajak Alvin.
Mingyu pun mengangguk, keduanya
berjalan hendak meninggalkan tempat
tersebut, tepat saat 2 orang siswa lain baru
sampai.
"Oh ini tikus yang sedang mampir"
ucap siswa tadi.
Mingyu sedikit terkejut dengan
kedatangan 2 Kakak kelas, yang terkenal
sebagai gang biang onąr sekolah. Jangan
salah, meski SMA SANG JUARA terkenal
dengan murid pintarnya, tetap saja akan
selalu ada yang namanya murid nakal.
"Permisi mas, kami mau balik ke
kelas" ucap Mingyu yang merasa jalan
keluarnya terhalang.
"CK murid beasiswa, abis ngapain
kalian disini?" tanya Bakir atau yang biasa
dipanggil Badak. Siswa kelas 3, ketua dari
gang pembuat onar.
"Cuma nyantai aja kak, tadi disuruh
nunggu diluar soalnya" jawab Mingyu
sedikit takut. Sementara Alvin tampak
menatap Badak dengan tatapan tajam.
"Nyapo! Plilak plilik AE matane!"
hardik Badak pada Alvin, namun tak
mengendurkan sorot mata Alvin yang
masih terlihat mengamati.
"Mereka abis ngerokok bos!" ucap
Kevin, pengikut Badak, sembari mengorek
putung rokok bekas Alvin dan Mingyu dengan kakinya.
"Bagus! Anak baru, murid beasiswa,
udah berani ngerokok di tempat senior,
ngelamak e tala" ucap Badak, sembari
mengeluarkan sebungkus rokok dari saku
celananya.
"Anak mana kamu?!" tanya Badak
sedikit membentak pada Alvin.
"Anak SANG JUARA mas, kan lagi
disini" jawab Alvin tanpa rasa takut,
sementara Mingyu sudah tampak bingung
dan sedikit khawatir.
"Woy jawab yang bener, rumahmu
dimana!?" sahut Kevin.
"Oh, kampung Delima mas" jawab
Alvin tegas.
"'Apanya haji Maliki?" tanya Badak.
"Selisih satu gang mas" jawab Alvin.
"Yawes, sana balik kelas, jangan aneh-
aneh. Kapan kapan ikut gabung aku yo!"ujar Badak seraya menepuk pundak
Alvin 2 kali.
"Siap mas, tapi gak janji ya" jawab
Alvin.
Alvin pun segera merangkul
Mingyu untuk membawanya segera pergi
dari sana.
"Kok dibiarin bos, gak biasanya.
Biasanya kasih pelajaran dulu" ucap Kevin
begitu Alvin dan Mingyu berlalu.
"Biarin, bukan anak mami yang rese',
mentalnya kuat gak menye menye, gak
perlu cari gara-gara dengan anak mental
kayak gitu, malah lebih baik dijadikan
temen" ujar badak membuat Kevin
bingung, tak biasanya bosnya itu bisa
lunak.
Sebagai ketua gang pembuat onar,
Badak cukup tau reputasi kampung
Delima, tempat tinggal Alvin. Kampung
yang dijuluki sebagai zona merah, sebab seperempat warganya terdiri dari mantan
preman, tentu membuat Badak harus
berfikir ulang jika ingin membuat masalah
dengan Alvin.
Badak hanya sedikit heran, bagaimana
bisa anak dari kampung pinggiran seperti
kampung Delima bisa masuk SANG
JUARA, apalagi jalur beasiswa, yang jika
orang lain saja pasti sangat kesulitan.
"Itu tadi ketua geng pembuat onar
disini Vin" ucap Mingyu saat berjalan
menuju ke kelas.
"Oh ya?" sahut Alvin.
"Iya, denger denger biasanya orangnya
senggol bacok, alias kalau kita bikin
masalah dikit gak bakal dilepasin. Tapi
kenapa tadi kita aman aman aja yah vin"
lanjut Mingyu sementara Alvin tampak
mengedikkan bahu.
"Udah yuk masuk, itu Bu Desi udah
celingukan, pasti lagi nyari kita" jawab Alvin.
Alvin dan Mingyu pun segera
masuk ke dalam kelas, benar saja proses
tes seleksi dadakan itu telah selesai,
namun hasilnya masih belum diketahui.
"Oh ya, mulai besok bagi peserta
lomba olimpiade diwajibkan mengikuti
jam pelajaran tambahan, jadi mulai besok
kalau pulang jangan langsung pulang,
kalian ke perpustakaan karena ada
pelajaran tambahan sekaligus bimbingan
untuk lomba" ujar wali kelas sebelum
meninggalkan kelas.
Mendengar penuturan wali kelas
barusan membuat kening Alvin
berkerut, jika ia harus pulang terlambat,
berarti pekerjaannya pun akan terlambat
pula.
"Ah biarin lah, besok mulainya lebih
pagi aja, biar yang sore tinggal dikit" batin
Alvin sebelum meninggalkan kelas usai pelajaran berakhir.
Di sore hari, usai pulang sekolah,
Alvin melanjutkan pekerjaannya yang
memang belum selesai. Tinggal 3 RT 1lagi,
mulai jam setengah 4 Alvin sudah
menarik gerobak sampahnya lagi.
Jam 5 lebih Alvin telah
menyelesaikan pekerjaannya. Selain
karena fisik mudanya yang masih kuat,
Alvin juga sangat bersemangat.
Kampung Alvin memang terdiri 7 RT,
setiap RT hanya satu gang, membuat
Alvin cukup cepat mengerjakannya.
Usai meletakkan sampah di TPA
setempat, Alvin menyempatkan diri
untuk membeli makan, setelah
mendengar apa yang dikatakan Bu Novi
tadi pagi, Alvin mulai bertekad untuk
tak akan makan di rumah lagi.
"Tapi kalau makan diluar begini terus,
uangku pasti akan cepet habis" gumam Alvin, usai menghabiskan sebungkus
nasi di warung dekat TPA.
"Tukang sampah baru le?" sapa nenek
pemilik warung kecil, tempat Alvin
singgah.
"Enggeh nek" jawab Alvin sedikit
terkejut, sebab barusan sedang
melamun.
"Rumahmu mana le?" tanya nenek
tersebut.
"Masih disini aja nek, di RT 2" jawab
Alvin.
"Panggil Mak Na aja le, biasa yang beli
disini juga panggil Mak Na, kamu tadi pagi
lak ya wes buang sampah toh le, kok
sekarang lagi" tanya Mak Na seolah
menginterogasi.
"Iya Mak, soalnya tadi pagi belum
selesai, saya keburu berangkat sekolah,
jadi saya lanjut sore ini. Ini Alhamdulillah
selesai semua" jawab Alvin. Percakapan Alvin dan Mak Na pun
terus berlanjut, Mak Na yang penasaran
dengan pemuda itu, dan Alvin yang
enggan segera pulang ke rumah, membuat
keduanya terus berbincang hingga adzan
Maghrib berkumandang, mendengar itu
Alvin pun segera bangkit dan
berpamitan untuk segera pulang.
"Baru pulang le" sapa pak Rohman
yang berdiri di depan rumah seolah siap
menyambut Alvin.
"Enggeh pak, Alvin mandi dulu ya"
jawab Alvin seraya menyalami pak
Rohman.
Pak Rohman pun mengangguk.
"Kamu itu keluyuran terus vin, pagi
keluyuran sore keluyuran, mana pulang-
pulang bau gini lagi" sentak Ibu Tirinya
seraya menutup hidung.
"Sudah langsung mandi aja Vin, abis
itu langsung sholat terus makan" sahut pak Rohman.
Alvin pun mengangguk, kemudian
segera berlalu dan mandi.
Sementara Bu Eleano tampak
mencebikkan bibir tanda kesal pada sang
suami.
Usai sholat, Alvin beranjak keluar
rumah untuk duduk di bawah lampu
depan rumahnya, sembari membawa buku
pelajaran yang dipinjami dari sekolah.
Meski Alvin sangat pintar, tentu hal itu
akan berkurang jika tak terus di asah.
"Loh, gak makan dulu vin?" tanya
pak Rohman melihat Alvin yang sudah
berada di ambang pintu.
"Tadi Alvin sudah makan diluar
pak" jawab Alvin.
"Liat tuh, anakmu itu yang gak mau
makan di rumah, bukan aku yang gak ngijinin makan" sahut Ibu Tirinya.
Sementara pak Rohman enggan
menanggapi.
"Kalau gitu, besok jangan dikurangi
lagi jatah hariannya pak, Dina butuh saku
dan Rafi juga butuh jajan" keluh Bu Eleanor.
"Tapi dengan syarat Alvin boleh
sarapan dan beri dia uang saku!" jawab pak
Rohman.
"Yah kalau gitu, kurang dong uangnya
pak. Lagian Alvin juga sudah biasa gak
bawa saku, apalagi sekarang udah dikasih
sepeda sama haji Maliki, makin enak kan
ke sekolahnya" ujar ibu tirinya tak terima
dengan syarat yang diajukan pak Rohman.
"Kalau gitu, lebih baik jatah kamu
tetep seperti hari ini, separuh dari
biasanya!" ucap pak Rohman dengan nada
tegas, selama ini beliau terlalu
membiarkan apa yang dilakukan bu Eleanor,
tapi melihat tingkahnya yang semakin
keterlaluan, pak Rohman pun tak bisa tinggal diam.
"Ya sudah kalau gitu, mulai besok
Alvin bakal aku kasih saku! Tapi jatah
harian jangan dikurangi lagi!" Jawab Bu
Eleanor pada akhirnya.
Alvin yang kini sedang duduk di
depan rumah, tampak mengelus dadanya
sendiri, pertengkaran orang tuanya samar
terdengar dari luar, membuatnya merasa
tidak enak.
Namun ia tak ingin terlalu
memikirkannya, sebab ada banyak hal
yang perlu ia pikirkan saat ini. Terutama
lomba olimpiade yang sudah menantinya
bulan depan.
Alvin kembali memfokuskan diri, ia
larut dalam buku pelajaran yang berisi
teori dan rumus fisika, sebuah mata
pelajaran yang menjadi fokusnya kini.
Hingga suara sepeda motor berhenti
di depannya, tampak Dina turun dari
boncengan, sepeda motor yang dikendarai
oleh laki-laki yang tak di kenal Alvin. Ia
pun memicingkan mata mengamati laki-
laki tersebut.
"Ngapain liat liat, awas aja kalo sampe
ngadu sama bapak!" hardik Dina, gadis yang
baru duduk di bangku SMP itu tampak tak
menyukai tatapan Alvin.
"Hati hati kalo nyari temen, jam
berapa ini baru pulang" ucap Alvin.
"Bukan urusanmu lah!" jawab Dina
dengan malas kemudian segera berlalu
masuk ke dalam rumah.
Bu Eleanor pun tampak menyambut
kedatangan anak kesayangannya itu, tak
ada pertanyaan yang tak mengenakkan,
meski sudah jelas jika Dina baru pulang
keluyuran.
"Darimana saja Dina?" tanya pak
Rohman yang baru melihat keberadaan putrinya.
"Kerja kelompok ke rumah temen pak"
jawab Dina tentu saja berbohong.
Saat Dina menjawab berbarengan
dengan masuknya Alvin ke dalam
rumah, namun Alvin tampak seolah tak
peduli.
"Kerja kelompok kok sampe jam
segini" ucap pak Rohman.
"Ya namanya sekolah di SMP yang
bagus pak, pasti tugasnya makin banyak"
sahut Bu Eleanor membela.
"Iya pak, lagian Dina juga butuh laptop,
makanya kalau kerja kelompok gini, aku
sekalian pinjem laptop temen buat
ngerjain tugasnya" jawab Dina memelas.
Sementara pak Rohman hanya bisa
tampak menghela nafas.
"Ya sudah, cepet istirahat, lain kali
jangan pulang jam segini. Kamu itu anak
perempuan" pungkas pak Rohman.
Dina dan Bu Eleanor pun tampak lega, Pak Rohman sudah tak memperpanjang
memarahi Dina. Dina pun berlalu masuk ke
kamar sembari menatap sinis keberadaan
Alvin.
Bu Eleanor hendak menutup pintu,
namun beliau memicingkan mata, saat
melihat gerobak sampah yang berada di
depan rumahnya.
"Pak, bapak!!" teriak Bu Eleanor hendak
mengadu.
"Apa sih buk?" tanya pak Rohman
sambil berjalan keluar.
"Itu loh, di belakang pohon itu, kok
dari kemarin tak perhatian ada gerobak
sampah ya pak, usir dong yang punya itu,
bikin kotor aja" keluh Bu Eleanor.
"Lah itu kan punya Alvin buk" jawab
pak Rohman.
"Kenapa Alvin punya gerobak sampah pak?" Tanya bu Eleanor keheranan. Sejauh ini Ibu tirinya memang belum mengetahui mengenai pekerjaan baru
Alvin, selain karena kurang
memperhatikan, sebenarnya Bu Eleanor juga
tak peduli dengan apa yang Alvin
lakukan.