Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Kecewa
Bulan mengerutkan dahi ketika mobil yang dibawa oleh Anggasta masuk ke parkiran minimarket. Lelaki itu dengan cepat membuka seatbelt.
"Ambil uang cash," gumamnya dengan mata yang mengikuti Anggasta.
Dibukanya ponsel yang sedari tadi bergetar. Hembusan napas kasar keluar. Rentetan pesan dari Haidar.
"Aku ingin bicara sama kamu."
"Nanti malam datang ke kafe biasa."
"Jangan sampai enggak datang. Aku enggak menerima alasan apapun."
Pintu mobil kemudi terbuka. Atensi Bulan segera beralih pada lelaki yang sudah menyerahkan cokelat yang dibungkus plastik berwarna ungu. Bulan pun tersenyum. Lelaki di sampingnya itu tak banyak bicara, tapi selalu saja ada gebrakannya.
"Masih jadi cokelat favorit kan?" Dengan cepat Bulan mengangguk. Seketika bibir Anggasta terangkat.
Sesekali ujung mata sang pengemudi melirik ke arah penumpang depan yang begitu menikmati cokelat kesukaan. Hatinya mulai merasakan kelegaan.
.
Sudah menjelang jam pulang kantor, tapi Anggasta tak jua kembali. Semakin ke sini Bulan sudah jarang bertemu dengan teman sekaligus sang atasan. Walaupun lelaki itu ada di kantor, jarang keluar ruangan.
"Setelah sekian lama enggak ketemu, kita semakin berjarak ya, Fi? Kasta kita juga sudah begitu berbeda."
Raut sendu dengan mata yang tertuju pada ruangan direktur. Sudah lima tahun Bulan hanya bercerita pada langit malam. Tak ada teman setulus Gaffi, tak ada teman yang selalu mau mendengar ocehannya selain lelaki itu. Kehampaan yang Bulan rasakan hanya dia pendam sendirian. Terkadang, hanya air mata yang bisa dia curahkan sebagai bentuk kelelahan.
"Mau ke mana lagi, Dek?"
Baru satu jam yang lalu kembali ke rumah. Sekarang sudah rapi dengan penampilan santainya.
"Mau ketemu Mas Haidar, Ma."
Melihat lengkungan senyum yang penuh kebahagiaan dari sang mama membuat hati Bulan bahagia sekaligus sakit. Dia ingin membahagiakan mamanya, tapi dia akan mengorbankan perasaannya terus menerus.
"Salam buat calon menantu Mamah, ya." Hanya seulas senyum yang Bulan beri.
Kafe yang sering mereka berdua kunjungi untuk sekedar mencari hiburan atau jajan. Menjadi tempat kesukaan Haidar karena suasana kafe tersebut yang begitu nyaman.
Bokong sudah menempel pada kursi. Choco ice pun sudah dipesan sebagai teman menunggu lelaki yang menyuruhnya untuk datang ke tempat ini.
Waktu terus berjalan, sudah satu jam orang yang ditunggu tak jua datang. Tangannya mulai menari-nari di atas keyboard. Pesan itu hanya centang dua tak berwarna.
Karyawan kafe menghampiri Bulan yang sedari tadi menatap ke arah jendela. Berkata dengan begitu sopan bahwasannya kafe sudah mau tutup.
Bibirnya melengkungkan senyum penuh kekecewaan. Tidak biasanya Haidar seperti ini. Jika, terlambat memang sudah sering.
✨✨✨✨
Di lain tempat dua lelaki berbeda usia sudah memasuki area rumah sakit. Anggasta berjalan tepat di samping sang opa yang masih bisa berjalan tanpa alat bantu. Padahal, usianya sudah tak muda.
Baru saja selesai meeting dengan beberapa dewan direksi, ponselnya berdering. Panggilan dari seseorang yang tak akan pernah bisa dibantah.
"Iya, Opa. Gagas pulang sekarang."
Sang kakek memintanya untuk mengantar ke rumah sakit. Anggasta pikir ada check up rutin. Ternyata dugaannya salah ketika dia melihat seorang perempuan sedang menangis di dalam pelukan lelaki yang cukup dia kenali.
"Bagaimana dengan keadaan kakekmu?"
Suara barito tersebut membuat Alma dan lelaki yang memeluknya menoleh ke asal suara. Mata lelaki yang tengah memeluk Alma melebar tatkala melihat Anggasta datang bersama pria yang sangat dia kenali. Namanya begitu terkenal di dunia bisnis.
"Kakek masih di dalam, Opa," tunjuknya pada ruang ICU.
Anggasta dan lelaki itu kini saling pandang. Tatapan datar Anggasta berikan kepadanya yang mencoba membuang muka.
"Gas, makasih sudah nyempetin datang ke sini," ucap Alma dengan wajah sembabnya. Lelaki yang bersama Alma segera menatap Alma karena terlihat begitu akrab dengan Anggasta.
"Sama-sama, Al," balas Anggasta dengan senyuman manisnya. "Yang sabar, ya. Kakek pasti akan pulih lagi."
Alma mengangguk dengan senyum yang terukir secara paksa. Anggasta mengusap lembut ujung kepala Alma sebelum dia pergi.
"Jangan telat makan."
Kembali Alma mengangguk dengan senyum yang mengembang begitu manis. Itu tak luput dari pandangan lelaki yang sedari tadi tak mengeluarkan kata sedikit pun.
"Hati-hati ya, Opa. Hati-hati ya, Gagas."
Setelah mereka pergi, lelaki itu menatap Alma dengan begitu tajam seakan meminta penjelasan.
"Dia itu Anggasta."
"Aku tahu, Alma." Begitulah batinnya berkata.
"Dia cucu Opa Ghassan Aksara Wiguna."
What?
Lelaki itu tak bisa berkata dan jantungnya untuk sesaat berhenti berdetak. Teringat bagaimana tajamnya sorot mata pria yang sudah tak muda itu menatapnya bagai elang.
Selepas mengantarkan sang opa pulang, mobil kembali melaju ke arah kawasan apartment mewah. Seorang lelaki bersungut karena kedatangan tamu yang sangat tak diundang. Siapa lagi jika bukan Anggasta yang masuk ke apartment Jeno tanpa permisi.
"Udah jam berapa ini, Angsa?" Ya, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Hanya hembusan napas yang begitu berat serta mata yang perlahan ditutup dengan rapat. Jikalau sudah begini pasti ada yang tidak beres.
"Baru balik?" tebak Jeno karena pakaian yang Anggasta gunakan masih pakaian formal.
"Dari rumah sakit."
Mata Jeno melebar. Rentetan pertanyaan pun keluar dari bibirnya.
"Siapa yang sakit?"
"Papa lu?
"Opa?"
"Kakek?"
"Atau--"
"Kakeknya Alma."
Seketika mulut Jeno terkatup rapat mendengar jawaban Anggasta. Walaupun begitu, Otaknya masih bekerja dan menemukan satu prakiraan.
"Lu disuruh kawinin si Alma?"
Mata Anggasta terbuka dan mulai menatap tajam lelaki yang sudah berdiri di samping tempat tidur. Bantal pun Anggasta lempar hingga mengenai wajah Jeno.
"Kebiasaan tuh congor enggak punya rem." Sekarang, giliran Anggasta yang marah.
"Lah terus kenapa muka lu begitu?" Jeno sangat penasaran.
"Haidar sama Alma."
Jeno menganga tak percaya mendengar ucapan Anggasta. Lelaki itupun mulai menceritakan dari kejadian di Bandung, meeting siang tadi dan di rumah sakit. Jeno dengan serius mendengarkan.
"Kesempatan bagus dong, Gas," ujar Jeno. "Lu bisa kasih tahu kebejatan si Haidar dan Bulan bisa lu dapatkan."
Anggasta menggeleng dengan cepat. Dia pun beranjak dari tempat tidur khas kamar lelaki. Membuka gorden jendela di mana memperlihatkan pemandangan langit malam yang indah.
"Biarkan Bulan tahu dengan sendirinya. Gua enggak mau dicap sebagai perusak hubungan mereka."
Anggasta benar-benar menutup mulutnya dengan rapat perihal hubungan Haidar dan Alma. Bukan tak kasihan kepada Bulan, tapi dia tak ingin masuk terlalu dalam. Biarkan bau bangkai itu menguar dengan sendirinya.
Jam pulang kantor usai, Bulan tak segera pulang. Melainkan menuju sebuah mall. Berniat membeli hadiah ulang tahun untuk ibunda Haidar. Senyum merekah ketika hadiah untuk calon ibu mertua sudah didapat.
Tetiba perutnya berbunyi dan memilih masuk ke sebuah restoran ramen Jepang. Mencari tempat yang kosong karena hari ini restoran itu cukup penuh.
"Pacarnya Gagas!"
Suara itu Bulan kenali. Perlahan dia menoleh ke arah perempuan cantik yang tersenyum ke arahnya. Dia begitu ramah.
"Enggak sama Gagas?" Bulan menggeleng.
"Kamu sendirian juga?" Perempuan itupun menggeleng.
"Sayang!"
Perempuan itu segera menoleh. Sedangkan tubuh Bulan tiba-tiba membeku.
"Kenapa belum duduk di--"
Ucapan lelaki itu terhenti ketika Bulan memutar tubuh. Seketika tubuh lelaki itu menegang.
"Pak Haidar," sapanya dengan sangat sopan dan tenang.
"Kamu kenal sama pacar saya?"
Pertanyaan Alma membuat mata Haidar melebar.
"Mungkin hanya saya yang mengenal Pak Haidar. Tidak dengan Pak Haidar yang sudah pasti tidak mengenal saya."
Jleb!
...**** BERSAMBUNG ****...
Ditunggu ya komennya ...
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje
jadi orang jangan terlalu baik Al.... sesekali beri mereka pelajaran , biar mereka bisa melek , bisa buka mata lebar-lebar dan bisa melihat siapa yang salah dan siapa pula yang benar .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍