Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. The Crown's Shadow
Bab 22 — The Crown’s Shadow
Langit London berwarna kelabu pagi itu, seakan menyerap dinginnya hati manusia di balik dinding megah Istana Wensley.
Hujan tipis turun, memantul di jendela besar ruang parlemen kerajaan.
Di sana, para bangsawan berdiri berkelompok, berdiskusi dengan suara pelan dan tatapan penuh makna.
Raras duduk di deretan belakang ruangan itu, mengenakan setelan formal hitam dengan kerudung lembut menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak lagi sekadar tamu dari Yogyakarta. Kini, ia hadir sebagai saksi diam dari badai politik yang sedang berputar di jantung kerajaan Inggris.
Di depan ruangan, Lord Chamberlain Edward Wycliffe berbicara dengan suara berat namun tenang.
“Kerajaan tidak bisa mempertahankan reputasinya jika putra mahkota terus menghilang tanpa kabar. Kita membutuhkan kejelasan—apakah Pangeran William Alcott masih hidup, ataukah ia telah… meninggalkan tanggung jawabnya.”
Bisikan kecil bergema. Kata “meninggalkan tanggung jawab” terdengar seperti tuduhan terselubung.
Raras mengepalkan tangannya. Ia tahu William tidak kabur. Pria itu tidak akan lari dari takdirnya, apalagi demi hal sepele seperti kekuasaan.
Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih kotor, di balik semua ini.
---
Sementara itu, di sayap barat istana, Jonathan tengah berbicara dengan Sir Alaric—penasihat senior kerajaan yang terkenal licik.
“Raras tidak seharusnya di sini,” ujar Alaric datar, menatap keluar jendela. “Kehadirannya menimbulkan pertanyaan. Ia bukan warga negara kita.”
Jonathan menatap tajam. “Dia satu-satunya yang masih percaya Pangeran William hidup.”
Alaric tersenyum tipis. “Justru itu masalahnya. Kepercayaannya bisa memicu simpati. Dan simpati bisa berubah menjadi kekuatan politik.”
Kata-kata itu menggantung di udara seperti asap racun.
Jonathan tahu, di istana ini, politik bukan hanya soal kebijakan—melainkan juga tentang siapa yang bisa dikorbankan demi menjaga tahta tetap berdiri.
---
Sore harinya, Raras diundang menghadiri jamuan teh pribadi Ratu Agatha, ibu William.
Ruangan itu harum mawar dan rempah, sementara ratu duduk di balik meja antik dengan tangan berlapis sarung renda putih.
Tatapannya lembut, tapi mata itu memantulkan sesuatu yang sulit dibaca—antara kesedihan, ketegasan, dan rasa bersalah.
“Raras,” katanya pelan, “aku dengar kau menemukan sesuatu di ruang bawah tanah tua itu.”
Raras menunduk sopan. “Hanya sebuah cincin dan rekaman, Yang Mulia.”
“Rekaman?” Ratu menegakkan duduknya sedikit. “Apa yang dikatakan William?”
Raras ragu. Ia tidak bisa sembarangan.
“Pesan pribadi, Yang Mulia. Tentang seseorang yang mengkhianatinya.”
Sekilas, Ratu Agatha memejamkan mata.
“Pengkhianatan…” gumamnya. “Kata itu sudah menjadi bagian dari darah keluarga ini sejak berabad-abad.”
Ia menatap Raras dalam-dalam. “Kau gadis yang jujur, Raras. Tapi aku harus memperingatkanmu—dalam kerajaan, kejujuran jarang membawa keselamatan.”
Kalimat itu seperti peringatan dan doa sekaligus.
---
Malamnya, Raras berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang diselimuti kabut.
Di bawah sana, suara kota London bergema samar—kereta, hujan, dan langkah penjaga.
Ia baru saja menerima pesan dari Jonathan: “Seseorang dari keluarga kerajaan terlibat. William tahu terlalu banyak tentang proyek Royal Dominion.”
Raras membaca pesan itu berulang-ulang.
Royal Dominion—proyek besar investasi internasional yang diklaim untuk kemakmuran Inggris, tapi banyak yang menduga itu hanya kedok bisnis gelap yang melibatkan senjata dan dana hitam.
Dan William… mungkin mencoba membongkar semuanya.
Raras menggigit bibirnya.
Jika benar itu alasannya, berarti orang-orang yang berkuasa saat ini punya motif kuat untuk membuat William menghilang.
Dan mereka juga tidak akan segan untuk menyingkirkannya, jika ia terlalu dekat dengan kebenaran.
---
Di ruang rahasia bawah istana, Sir Alaric melangkah memasuki ruangan bercahaya remang.
Di sana duduk Lord Chamberlain Edward, Pangeran Arthur—adik tiri William, dan dua anggota parlemen senior.
Mereka sedang memandangi peta besar bertanda simbol-simbol merah di beberapa negara.
Arthur berbicara pertama.
“Selama William tidak muncul, semua perhatian akan beralih padaku. Dewan mendesakku menerima status Acting Crown Prince.”
Lord Edward mengangguk. “Kau harus mengambil kesempatan ini, Yang Mulia. Dunia tidak bisa menunggu seseorang yang mungkin sudah mati.”
Sir Alaric menimpali pelan, “Tapi hati-hati. Gadis dari Yogyakarta itu mulai mencium sesuatu. Dia terlalu cerdas untuk dibungkam secara halus.”
Arthur menatap tajam. “Kalau begitu, buat dia berhenti mencari.”
---
Sementara itu, di kamarnya, Raras baru saja hendak mematikan lampu ketika pintu diketuk perlahan.
Seorang pelayan perempuan berwajah asing masuk, membawa amplop berwarna gading.
“Surat untuk Anda, Lady Raras. Diserahkan tanpa nama.”
Raras membukanya.
Di dalamnya hanya ada selembar kertas bertuliskan tangan halus:
> “If you want the truth, follow the dove at dawn.”
— W.A.
Jantungnya berdegup cepat.
W.A. — William Alcott.
Ia menatap keluar jendela, ke arah taman istana yang gelap, di mana seekor merpati putih bertengger di dahan mawar… seolah menunggu.
Dan untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan, Raras tersenyum tipis di tengah ketakutan.
“Baiklah, Will,” bisiknya. “Aku akan mengikuti merpatimu. Sekalipun itu membawaku ke dalam sarang singa.”
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰