Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa PKL
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Aku mendapat tugas PKL di sebuah sekolah swasta, yang cukup jauh dari rumah. Tetapi, meski begitu, aku senang, karena ternyata, di sekolahan itu, ada seorang guru muda yang telah membuatku jatuh hati sejak aku baru menjadi mahasiswi.
Guru muda itu bernama Adnan, dia kakak tingkatku waktu aku masih menjadi mahasiswa baru. Waktu pertama kali aku mengenalnya, dia menjadi ketua panitia acara Ospek untuk mahasiswa baru. Pembawaannya yang cool membuat setiap mahasiswi baru memujinya dan mencari perhatian padanya, tak terkecuali aku tentunya, hehehe.
"Diajeng, dan Hendra, nanti akan diampu oleh pak Adnan Kurniawan." jelas pak Taufiq selaku dosen pengawas lapangan kelompok kami yang hanya terdiri dari enam orang. Aku dan Diana terpisah, karena Diana diampu oleh seorang guru yang tak lagi muda.
"Loh, kamu... anak BEM juga kan?" tanya pak Adnan yang cukup mengenalku karena dia adalah demisioner BEM dua tahun lalu. Bahkan sebelum lulus, dia sempat menjabat menjadi Presiden Mahasiswa dimasa aku masuk BEM.
"Hehehe, iya kak." jawabku sambil cengengesan.
Tak kusangka, aku mendapat rejeki nomplok waktu itu, karena guru pamongku adalah seorang kakak tingkatku yang pernah aku sukai. Ketampanannya masin awet hingga kini. Pembawaannya yang cool dan kalem, membuaat jantungku selalu jedag jedug setiap konsultasi RPPH kepadanya. Dan lagi, setiap kali aku melihat dia mengajar, bukannya fokus dengan metode mengajarnya, justru aku fokus dengan wajahnya yang tampan menawan bak wajah pangeran dari timur tengah. Hingga berkali-kali Hendra menjawilku agar aku memperhatikan dengan baik cara mengajarnya.
"Bu Ajeng." panggilan pak Adnan seolah menjadi sirine tak henti-henti di telingaku yang terus terngiang hingga menjelang tidur.
"Eh, ya pak?" jawabku dengan panik, karena bedakku luntur disebabkan keringat yang terus membasahi wajahku ketika nervous, serta lipsbamku juga mulai samar, tak lagi seksi seperti tadi pagi, karena bekas makan gorengan yang kusantap pagi tadi bersama Hendra untuk pengganjal perut sebelum mengajar.
"Saya suka caramu mengajar." puji Pak Adnan setelah tiga kali aku diminta tampil di depan kelas untuk mengajarkan pelajaran bahasa jawa.
"Terimakasih pak." jawabku sungkan.
"Kebetulan, besok saya ada acara di kampus tempat saya study S2, Sedangkan jam mengajar saya ada di jam sembilan dan jam sebelas. Kira-kira, kamu bisa gantikan saya mengajar dulu tidak?" tanya pak Adnan.
"Oh, bisa pak, bisa." jawabku asal jawab tanpa memikirkan, audiens ku nanti siapa.
"Tapi besok itu, jadwalnya anak kelas sebelas." katanya.
"Ha?" aku pun terkejut, sambil mangap dan melongo. Untung saja si lalat tidak mampir masuk ke dalam rongga mulutku.
"Saya rasa, kamu bisa kok untuk menghadapi mereka. Mereka jinak kok." kata pak Adnan sambil tersenyum.
"Aduh pak, please, jangan senyum, bikin saya diabetes pak." batinku meronta-ronta.
"Emangnya harimau pak, dibilang jinak." kelakarku.
"Hahaha, iya juga ya? Ya... kalau untuk kelas sebelas IPA 1, itu memang jinak jika dibandingkan dengan kelas duabelas lainnya. Nah, yang di jam 11 itu nanti, kelas sebelas IPS 3, itu yang lumayan ekstra. Apalagi di jam-jam lapar, biasanya mereka suka bikin ulah. Nanti kalau kamu tidak sanggup lagi, lambaikan tangan dan angkat bendera merah saja. keluar kelas." kata pak Adnan.
"Lah, entar dikira ada kematian lagi pak." jawabku.
"Ya biar pada ngelayat."
Ish, dasar pak Adnan ini, ternyata suka sekali bercanda, manis juga kalau senyum gitu. Duh, jadi adem banget ini sampe membeku ini badanku, enggan untuk bergerak pergi meninggalkan posisiku yang hanya berjarak kurang dari satu meter dengan pak Adnan.
"Hehehe, baiklah pak. Nanti biar saya ditemenin sama Hendra ya pak." tawarku.
"Iya, tidak masalah. Tetapi tadi waktu saya minta dia menggantikan saya dulu, dia keberatan. Entah, mungkin dikiranya saya minta bawa karung beras 1 kwintal, atau karena dia merasa berat badannya sudah over juga saya kurang tau. Jadi ya sudah, saya minta tolong kamu ya yang menggantikan saya." kata Adnan.
"Baik pak."
"Bagus. Tenang, Kapan-kapan saya traktir deh." kata Adnan memberi iming-iming.
"Walah pak, ga usah di traktir gapapa pak. Nanti niat diet saya gagal lagi. Mending bapak ajak saya ke pelaminan aja pak untuk imbalannya, hehehe." tawarku yang membuat aku tak sadar. Dan telapak tangan kananku langsung memegang Kening, karena malu aku sama mulutku yang suka asal bicara ini.
"Oh, begitu? Tenang saja bu Ajeng. Untuk masalah itu, kita bahas di lain waktu ya." katanya.
"B...baik pak." jawabku kaku.
Pak Adnan pun pergi meninggalkan jejak cinta di hatiku yang berbunga-bunga.
Dan benar saja, jam 9 aku masih bisa menguasai kelas karena memang Jinak kata pak Adnan. Dan untuk kelas sebelas IPS 3, di jam lapar-laparnya memang sudah tidak kondusif. Tetapi, syukurlah, ada satu anak orang pakai seragam putih abu yang juga terdata sebagai anak kelas IPS 3, berdiri dan menggebrak tema-temannya untuk bisa duduk tenang, menghargai anak PPL seperti saya selaku guru mereka.
Aku pun menjelaskan tentang Tembang mocopat sekaligus mengajarkan cara cepat menghafalkannya.
Dan setelah selesai, Diajeng pun segera membereskan alat tulisnya.
"Bu Ajeng, Terimakasih atas ilmunya. Besok, ngajar lagi ya bu." kata laki-laki remaja tadi.
"Oh, ya. InshaaAllah."
"Saya Raka, Bu. Salam kenal." kata Raka mengulurkan tangannya.
"Okey, saya Diajeng. Panggil saja Bu Ajeng."
Begitulah perkenalanku dengan Raka.