Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Seminggu telah berlalu
Suasana rumah Hansel pagi itu terasa lengang. Setelah sarapan singkat, Hansel bersiap untuk berangkat ke kantor. Setelan jas rapi melekat di tubuhnya, wajahnya serius seperti biasa, matanya menyiratkan kesibukan yang tak ada habisnya. Hana hanya memperhatikan dari jauh sambil membereskan meja makan bersama ibunya, tanpa berniat menyapa lebih dulu.
Suara pintu mobil yang tertutup kencang menandai kepergian Hansel. Hana sempat menarik napas lega. Setidaknya, satu hari ini ia bisa menjalani waktu tanpa harus berhadapan langsung dengan tatapan dingin suaminya itu.
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
Tak sampai satu jam kemudian, suara deru mobil terdengar kembali di halaman. Hana menoleh dari dapur, keningnya berkerut. 'Bukankah Tuan Hansel baru saja berangkat?' pikirnya. Pintu depan terbuka kasar, Hansel masuk dengan wajah panik, langkahnya terburu-buru.
“Mana laptopku?!” suaranya bergema memenuhi ruang tamu.
Hana dan Jamilah terlonjak kaget. “Laptop, Tuan?” Jamilah mencoba memastikan seraya berpikir sejenak.
Hansel mengacak rambutnya frustrasi. “Laporan meeting penting ada di laptop itu. Aku sudah telat! Kalau aku kembali ke kantor tanpa materi itu, klien bisa membatalkan kontrak ... ini gawat!”
Dia berjalan mondar-mandir, membuka tas kerjanya, memeriksa beberapa map, lalu menutupnya dengan kasar. Hana yang sedari tadi hanya diam akhirnya memberanikan diri bertanya, “Laptopnya biasanya Tuan letakkan di mana?”
“Di ruang kerja!” sahut Hansel ketus. “Tapi sudah kucari tadi, tidak ada!”
Hana menelan ludah. Dia tahu betul Hansel sedang di ujung sabar, tapi entah kenapa ada dorongan kuat dalam dirinya untuk membantu. Ia segera berlari kecil menuju ruang kerja Hansel di lantai atas. Ruangan itu masih rapi, hanya ada beberapa dokumen di atas meja. Hana menelusuri dengan teliti, lalu matanya tertumbuk pada tas hitam tipis di sisi lemari buku. Ia membuka resletingnya dan benar saja laptop itu ada di dalamnya.
“Ini, Tuan!” seru Hana, membawa laptop itu dengan hati-hati. Hansel sontak menoleh, matanya terbelalak lega. Ia meraih laptop itu seolah sedang memegang harta paling berharga. Napasnya terengah-engah, tapi kali ini berbeda ada kelegaan dalam ekspresinya.
“Ya Tuhan…” desisnya pelan. “Kamu menyelamatkanku.”
Hana hanya menunduk, berusaha tidak menatap terlalu lama pada wajah Hansel yang kali ini tampak berbeda, bukan dingin seperti biasanya. Ada kilatan rasa syukur di sana. Namun momen itu cepat hilang. Hansel kembali mengatur napas, mengembalikan ekspresinya ke wajah kaku.
“Lain kali, jangan pindahkan barangku sembarangan. Tanpa ijinku jangan menyentuh barang-barangku."
“Aku tidak pernah memindahkannya,” jawab Hana lirih, masih menunduk. “Mungkin Tuan sendiri yang lupa.”
Hansel terdiam dan dia tahu Hana benar, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Dengan cepat ia memasukkan laptop ke dalam tas kerja, lalu berbalik menuju pintu. Tepat sebelum keluar, langkahnya berhenti dan dia menoleh sekilas ke arah Hana yang masih berdiri di ruang tamu.
“Terima kasih,” ucapnya singkat, nyaris tak terdengar. Ucapan itu membuat dada Hana bergetar. Ia tidak pernah menyangka Hansel bisa mengucapkan hal itu padanya. Walau hanya sepatah kata, ada sesuatu yang hangat merembes ke dalam hatinya, meski logikanya terus mengingatkan, ini hanya sesaat, tidak berarti apa-apa.
Mobil Hansel kembali melaju meninggalkan rumah, kali ini membawa laptop yang tadi hampir membuatnya hancur di depan klien. Hana masih berdiri di ruang tamu, menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Jemarinya meremas ujung kerudungnya, hatinya berperang sendiri. Ia ingin marah pada dirinya karena masih bisa merasa lega, masih bisa merasakan getar dari satu ucapan terima kasih dari seorang pria yang terus mengingatkannya bahwa pernikahan mereka hanya sandiwara sementara.
“Hana…” suara ibunya, Jamilah, memanggil lembut dari dapur. “Kamu baik-baik saja?”
Hana menoleh, mencoba tersenyum, walau jelas matanya menyimpan banyak luka. “Aku baik, Bu.” Tapi di dalam hati, Hana tahu kebenarannya, sejak hari itu, ia semakin sulit untuk menjaga jarak dari Hansel.
Meeting di lantai 21 gedung perusahaan keluarga Malik berlangsung lebih panjang dari biasanya. Hansel duduk di kursi ujung meja, jas hitamnya tampak tegang menempel pada tubuhnya. Ia berusaha fokus pada presentasi, menyimak satu per satu laporan dari tim marketing dan keuangan, meskipun pikirannya sempat melayang ke peristiwa pagi tadi laptop yang tertinggal, wajah panik yang hampir merusak reputasinya, dan suara lembut Hana yang tanpa ia sadari telah menyelamatkan semuanya.
“Jadi, bagaimana keputusan Anda, Tuan Hansel?” suara salah satu klien memecah lamunannya.
Hansel tersentak, segera menegakkan tubuh. “Kita lanjutkan kerja sama. Angka-angka ini sudah sesuai target. Pastikan laporan bulanan dikirim tepat waktu.”
Meeting berakhir dengan jabat tangan dan senyum penuh formalitas. Begitu semua orang keluar, Hansel hanya menghela napas panjang, melepaskan jasnya, lalu merebahkan tubuh ke kursi kulit di ruang kantornya. Jemarinya mengetuk meja, matanya menatap kosong pada laptop yang tadi hampir membuatnya celaka.
Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat hatinya berdesir pelan, itu panggilan dari istrinya, Laudya.
Dengan cepat ia menekan tombol hijau. “Halo.”
[Sayang…] suara Laudya terdengar lembut dari seberang. [Aku baru selesai acara. Maaf baru bisa telepon. Aku ingin kasih kabar … aku tidak bisa pulang minggu ini.]
Hansel mengerutkan kening. “Kenapa?”
[Ada agenda tambahan. Brand baru yang aku kontrak minta aku ikut launching di London. Jadi … aku mungkin baru bisa pulang akhir bulan. Dua minggu lagi.]
Biasanya, di momen seperti ini Hansel akan langsung merengek, memohon agar istrinya itu mempercepat kepulangannya. Namun kali ini berbeda. Hansel hanya menghela napas pelan.
“Baiklah ... jaga kesehatanmu. Jangan terlalu memaksakan diri."
Laudya sempat terdiam. Ia mendengar nada Hansel yang berbeda, lebih datar dari biasanya, [Kamu tidak keberatan? Tidak merindukanku?]
“Aku merindukanmu,” jawab Hansel singkat, tanpa penekanan.
Laudya tertawa kecil, meski samar-samar ada getir di balik tawanya. [Jawabanmu tidak seperti biasanya.]
Hansel hanya membisu, menatap jendela besar kantornya, melihat langit Jakarta yang mulai meredup.
[Ngomong-ngomong…] suara Laudya melunak, namun terdengar hati-hati, [bagaimana dengan Hana? Mama masih sering menyuruh dia dekat denganmu?]
Sekejap rahang Hansel menegang. Ia menundukkan wajah, berusaha menyingkirkan bayangan malam itu ketika dirinya kehilangan kendali. “Jangan bahas Hana di depanku, Laudya.”
[Tapi...]
“Aku bilang jangan.” Suaranya lebih tegas, nyaris dingin.
Keheningan menyusul, Laudya menarik napas panjang dari seberang sana. [Jadi … kamu sudah melakukannya, Hansel?]
Pertanyaan itu menusuk tepat di ulu hati. Hansel menutup mata, menggenggam ujung meja. Dia lama terdiam, mencoba menyusun jawaban. Akhirnya, ia berdehem, berusaha menepis bayangan yang tak ingin ia akui.
“Itu … hanya kecelakaan.”
Seberang sana terdengar tawa kecil. [Aku mengerti ... tidak apa-apa.]
Hansel tertegun. “Tidak apa-apa? Sayang ... kau tau aku sangat mencintaimu,"
“Ya. Selama hasilnya ada aku nggak apa-apa. Aku juga mencintaimu, Hansel. Semoga segera ada bayi di dalam pernikahan kita. Aku juga sudah lelah menghadapi Mama mertua yang terus menekanku.] Nada suara Laudya berubah lebih rapuh, meski berusaha ditutupi dengan tawa.
Hansel mendengarkan, lalu terdiam. Ia tahu betul bagaimana ibunya, Rohana, terus menuntut cucu, terus membandingkan mereka dengan sepupunya yang jauh. “Kamu baik-baik saja dengan itu, Laudya?”
Pertanyaan itu meluncur pelan, tapi sarat dengan rasa ingin tahu. Laudya kembali terdiam beberapa detik, lalu menjawab lirih, [Aku baik, Syaang. Dan akan selalu baik. Aku minta maaf karena memaksamu dalam hal ini. Padahal, aku tahu kamu sangat membenci orang ketiga dalam hubungan kita,]
Hansel menutup matanya, merasakan ada sesuatu yang tidak jujur dalam kalimat itu. Namun sebelum ia sempat menanyai lebih jauh, terdengar suara lain dari seberang. Manager Laudya memanggilnya untuk sesi pemotretan.
[Aku harus pergi. Jangan lupa jaga kesehatanmu juga, sayang.]
“Ya.” Jawaban Hansel pendek, dingin.
Panggilan terputus. Ruangan itu kembali sunyi. Hansel memandang ponsel di tangannya, lalu meletakkannya di atas meja dengan kasar. Kepalanya bersandar ke kursi, matanya menatap kosong ke langit-langit.
Dia sendiri bingung dengan dirinya. Mengapa kali ini ia tidak meminta Laudya segera pulang. Mengapa kata-kata sederhana dari Hana pagi tadi lebih membekas di kepalanya daripada ratusan “aku merindukanmu” dari Laudya. Dan untuk pertama kalinya, Hansel merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊