NovelToon NovelToon
Perfect Life System

Perfect Life System

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Anak Genius / Crazy Rich/Konglomerat / Teen School/College / Mengubah Takdir
Popularitas:9.5k
Nilai: 5
Nama Author: BlueFlame

Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.

‎Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Gerbang Nusantara

 

Tujuh hari pun berlalu. Apartemen kecil Edward sudah berubah menjadi markas belajar. Meja kayu pinusnya dipenuhi tumpukan buku—mulai dari matematika, fisika, kimia, sastra, hingga sejarah—semua ia pinjam dari perpustakaan kota. 'Dia tidak punya uang untuk membeli buku pelajaran baru'¹, jadi ia memanfaatkan sumber daya gratis dengan maksimal.

Skill `Fotografi Memori` terbukti menjadi aset yang luar biasa. Edward membuka buku matematika tingkat lanjut, matanya menyapu halaman demi halaman dengan kecepatan yang bisa di bilang tidak wajar untuk orang yang sedang membaca matematika. Setiap rumus, setiap contoh soal, setiap penjelasan teoretis tersimpan dengan sempurna di otaknya, seolah olah siap dipanggil kapan saja.

Edward tidak hanya menghafal tapi memahami. Otak jeniusnya menghubungkan konsep dari fisika dengan matematika, dari sejarah dengan sastra, menciptakan jaringan pengetahuan yang kokoh.

Dia tidak hanya belajar akademis. Dia juga mempelajari tentang SMA Nusantara Prestasi. Sejarahnya, visi misinya, para alumninya. Edward tahu sekolah ini tidak hanya mencari siswa pintar, tapi juga siswa dengan karakter dan potensi kepemimpinan.

***

Hari ke 7

Edward berdiri di depan gerbang megah SMA Nusantara Prestasi. Dinding per batunya tinggi, dihiasi dengan ukiran logo sekolah yang terlihat prestisius. Para siswa yang masuk dan keluar terlihat rapi dan percaya diri, sebagian besar diantar oleh mobil mewah. Edward, dengan kaos polosnya dan celana jeans, menonjol seperti burung gereja di antara sekawanan merak.

Dia merasakan tatapan beberapa orang, tapi dia mengabaikannya. Fokusnya hanya pada satu tujuan: ruang pendaftaran.

Saat dia akan melangkah masuk, seorang pemuda yang berjalan sambil asyik dengan ponselnya menabrak bahunya dengan cukup keras. Sehingga Ponsel pria itu terjatuh ke aspal.

"Hei, Kalau jalan itu lihat lihat, bro!" gerutu pemuda itu dengan nada sombong. Dia mengenakan sepatu branded dan jam tangan yang jelas-jelas mahal. Dia adalah Bara, putra dari salah satu pengusaha terkaya di kota.

Edward menatapnya dengan tenang. "Kamu yang menabrak ku."

Bara terkejut sesaat, lalu menyeringai sinis. "Hoo, Lo ngomong apa barusan? Coba ulangi."

Edward mengerutkan kening.

'Huft, belum masuk saja sudah ketemu pengganggu '

 Pria ini mencari masalah, mungkin untuk pamer di depan teman-temannya. "Saya bilang, kamu yang kalau jalan harus lihat. Lagian kamu yang nabrak saya, kok saya yang di salahin." Suaranya datar, tanpa provokasi, tapi juga tanpa rasa takut.

Bara mengerutkan kening, karena tidak terbiasa ditentang. "Lo tahu nggak gue siapa, hah? Anak miskin kayak lo berani ngomong kayak gitu?"

Sebelum Bara melanjutkan, Edward sudah mengambil ponsel yang jatuh itu dan menyodorkan nya. " Ini Ponsel kamu. nggak ada goresan tuh." Lalu, tanpa mempedulikan ekspresi Bara yang bingung dan marah, Edward melangkahkan kakinya melewati Bara begitu saja dan masuk ke dalam area sekolah.

Di dekat pintu masuk, seorang gadis berkerudung dengan buku di pangkuannya menyaksikan seluruh interaksi itu. Namanya Siti Nurhaliza, atau Liza. Dia adalah ketua osis dan salah satu siswa berprestasi. Biasanya, dia akan melihat anak-anak seperti Bara menindas yang lebih lemah. Tapi kali ini berbeda. Pemuda itu tidak terlihat lemah. dia tetap Tenang walaupun si Bara mukanya nyebelin. Dan cara dia menjawab Bara tanpa emosi itu... Terlihat sangat keren.

Liza mengamatinya sampai punggung Edward menghilang di dalam gedung administrasi. Ada sesuatu yang berbeda dari pemuda itu. Entah kenapa Liza merasa kalau aura pemuda itu mirip dengan seseorang.

 

Di ruang pendaftaran, Edward mengisi formulir. Saat sampai pada kolom "Asal Sekolah", dia menulis "Pendidikan Mandiri". Saat ditanya oleh petugas, dia menjelaskan dengan tenang, "Saya belajar sendiri, Pak. Tidak ada sekolah formal yang bisa saya sertakan."

Petugas itu mengerutkan kening, tapi karena Edward mengikuti jalur "Ujian Masuk Khusus", dia tidak bisa menolak formulirnya. Edward membayar biaya pendaftaran Rp 2.000.000.

[Transaksi terdeteksi: Rp 2.000.000]

[Penggandaan acak: x2.1]

[Total pengembalian: Rp 4.200.000]

[Saldo saat ini: Rp 37.230.000]

Ujian tertulis berlangsung di ruangan yang luas. Edward duduk di kursi yang telah ditentukan. Soal-soal itu sulit, dirancang untuk menyaring siswa-siswa terbaik. Tapi bagi Edward, dengan `Fotografi Memori` dan kecerdasan alaminya, ini seperti melihat kembali buku-buku yang sudah ia baca. Dia menyelesaikan semua soal dalam waktu satu setengah jam, padahal waktu yang diberikan adalah tiga jam. Dia memeriksa kembali jawabannya sekali lagi, lalu menyerahkan kertasnya dan keluar ruangan dengan tenang.

Dia adalah orang pertama yang selesai.

Beberapa jam kemudian, giliran wawancara. Edward menunggu di sebuah bangku koridor. Di seberangnya, ada Liza yang sedang berdiskusi dengan seorang guru. Sesekali, gadis itu melirik ke arah Edward, rasa penasarannya jelas terlihat.

"Christian Edward!" panggil seorang wanita setengah baya dari pintu ruangan. Itu Bu Rina, kepala bidang akademik.

Edward masuk ke dalam ruangan. Di dalamnya ada tiga orang: Pak Yanto, seorang pria berkacamata yang merupakan psikolog sekolah, dan seorang pria tua yang merupakan salah satu pendiri yayasan, Pak Hendro.

"Selamat siang, Edward. Silakan duduk," kata Pak Yanto dengan nada netral.

Edward duduk dengan postur yang tegak tapi rileks.

"Kami sudah melihat hasil ujian tertulis Anda. Dan itu sangat Sempurna," kata Pak Hendro, suaranya dalam. "Tapi nilai bukan satu-satunya yang kami cari. Bisa jelaskan mengapa Anda tidak memiliki rekam jejak sekolah yang jelas?"

Ini adalah pertanyaan kunci. Edward bisa berbohong, membuat cerita sedih untuk mendapatkan simpati. Tapi itu bukan caranya.

"Saya anak yatim piatu, Pak," jawabnya jujur. "Saya besar di panti asuhan. Saya sering pindah-pindah sekolah dan harus bekerja untuk membantu panti. Jadi, pendidikan formal saya tidak berkesinambungan. Tapi saya tidak pernah berhenti belajar."

Psikolog itu tersenyum tipis. "Jadi Anda mengklaim bisa menyamai siswa kami yang telah belajar di sekolah terbaik selama bertahun-tahun hanya dengan... belajar sendiri?"

"Bukan menyamai, Pak. Tapi saya percaya, dasar pendidikan adalah kemampuan belajar, bukan tempat belajar," jawab Edward mantap. "Dan saya bisa jamin, saya adalah orang yang cepat belajar."

Pak Yanto menatapnya tajam. "Cepat belajar? Coba Buktikan."

Dia mengambil sebuah buku ensiklopedia sains tebal dari mejanya, membuka halaman acak tentang teori kuantum, lalu meletakkannya di depan Edward. "Baca halaman ini. Kamu hanya punya waktu satu menit."

Edward mengambil buku itu. Matanya bergerak cepat, menyerap setiap kata, setiap diagram, setiap persamaan. `Fotografi Memori`-nya bekerja pada kapasitas penuh.

Setelah satu menit, Pak Yanto mengambil buku itu. "Jelaskan kembali inti dari teori ketidakpastian Heisenberg dan hubungannya dengan prinsip pelengkap Bohr, dengan kata-kata Anda sendiri."

Edward tidak ragu. Dia mulai menjelaskan, bukan hanya mengulang apa yang dia baca, tapi menghubungkannya dengan konsep fisika lain yang dia pelajari, menjelaskannya dengan analogi yang sederhana namun akurat.

Tiga orang di hadapannya terdiam. Mereka saling pandang. Ekspresi skeptis di wajah mereka perlahan berubah menjadi kagum.

Pemuda ini tidak berbohong. Dia adalah adalah seorang jenius.

"Terima kasih, Edward," kata Pak Hendro akhirnya, suaranya sedikit lebih hangat. "Kami akan menghubungimu dalam tiga hari."

Edward mengangguk, kemudian berdiri, dan membungkuk hormat. "Terima kasih atas kesempatannya."

Dia keluar dari ruangan, menutup pintu dengan lembut. Di luar, dia melewati Liza yang masih menunggu. Kali ini, mata mereka bertemu. Hanya sekejap. Tapi dalam sekejap itu, Liza melihat sesuatu yang tidak dia lihat pada siapa pun: kepercayaan diri yang lahir dari kompetensi, bukan dari kekayaan.

' Auranya benar benar mirip dengan seseorang yang aku kenal. Tapi siapa yah?'

Edward melanjutkan langkahnya keluar dari gerbang sekolah yang megah itu. Dia tidak tahu apakah dia akan diterima. Tapi dia sudah melakukan yang terbaik. Dia telah menunjukkan siapa dirinya, tanpa topeng dan drama.

Dan itu, baginya, sudah cukup.

***

*catatan*

¹maklum guys, Edward udah terbiasa hemat. jadi selagi masih ada hal gratis dia tidak akan menggunakan uangnya.

1
Aisyah Suyuti
menarik
TUAN AMIR
teruskan thor
aratanihanan
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
Emitt Chan
Seru banget thor! Gk sabar mau baca kelanjutannya!
Edward M: iya, semoga suka yah... kalau ada saran atau kritik mohon di sampaikan yah/Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!