Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Baru
Dua hari telah berlalu. Hari ini, Valencia bersiap untuk kembali kerja. Luka-lukanya sudah cukup membaik, tubuhnya mulai pulih, meski sesekali masih terasa nyeri.
Di depan cermin, Valencia menatap pantulan dirinya dengan ekspresi datar. Pandangan itu tajam namun kosong, seolah pikirannya sudah berkelana. Setelah kasus Raden berakhir, ia bertekad untuk menyelidiki hal lain—tentang pisau yang dimiliki komandannya, Andra. Sesuatu di balik benda itu terasa janggal, Valencia ingin tahu kebenarannya.
Ia melangkah keluar dari rumah. Lorong-lorong sempit rusun yang biasa ia lewati terasa begitu sunyi. Beberapa tetangga sempat lewat, tapi tak ada sapaan. Valencia memang tidak akrab dengan siapa pun di sana; sejak lama, ia memilih menjaga jarak dari orang lain.
Sesampai di mobil, Valencia membuka dasbor dan mengambil ponsel berwarna hitam—ponsel rahasia yang hanya dia yang tahu. Tak ada pesan masuk, ia mengembalikannya lagi ke tempat semula, menyalakan mesin dan melanjutkan perjalanan menuju kantor.
Sesampai di kantor, langkah Valencia sempat terhenti saat mendengar suara familiar yang memanggil.
"Valencia."
Seseorang memanggilnya, membuat Valencia menghentikan langkahnya dan menoleh. Terlihat Alaric berjalan mendekat dengan langkah santai.
"Lo udah sembuh?" tanya Valencia.
Alaric mengangguk pelan. "Iya, Val. Lukanya gak separah itu. Lagian daripada rebahan terus di rumah, mending balik kerja seharian. Bosan juga." Ia tersenyum tipis, lalu menambahkan, "Lo sendiri gimana? Aman, kan?"
"Aman," jawab Valencia singkat sambil terus berjalan.
Namun langkahnya kembali terhenti saat Alaric berkata, "Val, gue mau nanya sesuatu."
"Nanya apa?"
"Lo akrab sama Raden?"
Valencia menoleh cepat, sorot matanya langsung berubah dingin. "Kenapa lo nanya begitu?"
"Soalnya waktu di pelabuhan, gue lihat kalian kayak udah saling kenal," jawab Alaric hati-hati.
Suasana hening sejenak. Rahang Valencia mengeras, tangannya mengepal. "Dia sering bully gue waktu sekolah dulu," ucapnya akhirnya, datar tapi tegas.
Alaric membisu. Seketika, semuanya masuk akal baginya—tatapan benci Valencia, reaksi kerasnya saat nama Raden disebut. Dia tak tahu, di balik dinginnya Valencia, tersimpan dendam masa lalu yang belum tuntas.
Mereka melanjutkan langkah menuju ruangan kerja. Bayu dan Cakra sudah lebih dulu ada di sana.
“Akhirnya kalian datang juga, sepi banget,” keluh Bayu sambil menatap layar komputernya.
“Kalian udah pulih total?” tanya Cakra.
“Sudah,” jawab Valencia dan Alaric hampir bersamaan.
“Kasus Raden gimana?” tanya Alaric, menyalakan komputernya.
“Kasus Raden tetap berlanjut,” ujar Cakra tenang. “Tapi untuk sementara diambil alih sama senior detektif. Mereka lagi nyari jejaknya, soalnya Raden lenyap setelah kejadian itu. Nanti kita tetap bakal turun tangan lagi.”
Valencia terdiam sejenak. Ia tahu Raden tak mungkin hilang begitu saja tanpa jejak—ia bagian dari jaringan mafia yang bisa menghilang kapan pun. Meski begitu tekadnya tak bergeser: Raden harus dihancurkan, dan Valencia telah memutuskan akan bekerja sama dengan Evan untuk mewujudkannya.
Ekspresi Valencia tertangkap jelas oleh Alaric. Ia mulai memahami situasi rekannya itu, sempat terlintas rasa curiga—mungkin saja Valencia termasuk orang yang patut diawasi. Namun, setelah mendengar penjelasan Valencia tentang Raden yang pernah membully-nya saat masih sekolah dulu, kecurigaan itu perlahan memudar. Kini Alaric mengerti, sikap dingin Valencia terhadap Raden bukan tanpa alasan.
•●•
Di dalam ruangan rapat, suasana terasa serius. Andra berdiri di depan, menatap satu per satu anggota timnya yang sudah duduk rapi—Alaric, Valencia, Bayu, dan Cakra.
“Kasus Raden sementara diambil alih oleh detektif senior,” ujar Andra membuka pembicaraan dengan nada tegas. “Sekarang kita punya tugas baru yang tak kalah penting.”
Ia berhenti sejenak, menatap mereka dengan ekspresi penuh arti. “Kita akan menyelidiki kasus di salah satu sekolah elit kota ini—Sakura Academy.”
“Sakura Academy?” gumam beberapa dari mereka hampir bersamaan.
“Kalian pasti sudah tahu sekolah itu,” lanjut Andra.
Bayu mengangguk cepat. “Tentu, Pak. Sekolah elit sekelas itu siapa sih yang gak tahu?”
Andra menghela napas pendek. “Benar. Saya dapat laporan langsung dari kepala sekolah mereka. Di antara murid-muridnya, ada yang diduga menjadi bandar narkoba. Lebih parahnya lagi, beberapa siswa lain mulai kecanduan barang haram itu.”
Bayu spontan menepuk dahinya. “Astaga… anak sekolah zaman sekarang makin aneh aja kelakuannya.”
“Tim kepolisian sudah melakukan razia mendadak,” lanjut Andra lagi, suaranya berat. “Tanpa sepengetahuan siapa pun, tapi hasilnya nihil. Beberapa hari kemudian, seorang guru menemukan jejak narkoba di gudang belakang sekolah—tempat yang tidak terjangkau CCTV. Karena itu, polisi menyerahkan kasus ini ke kita.”
Alaric mencondongkan tubuhnya ke depan. “Jadi, tim kita yang akan turun tangan, Pak?”
Andra mengangguk pelan. “Ya, tapi kali ini hanya satu orang yang akan menyusup ke dalam lingkungan sekolah… sebagai murid.”
Ruangan mendadak hening. Semua saling berpandangan.
“Siapa, Pak?” tanya Cakra akhirnya.
Andra menatap tajam ke arah Valencia sebelum menjawab tegas,
“Valencia.”