Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Langit pagi itu masih pucat, udara lembap menyisakan embun tipis di dedaunan ketika Lira dan Kai terburu-buru keluar dari penginapan. Jantung Lira berdegup kencang, kepanikannya membuat langkahnya hampir berlari.
Namun tiba-tiba Kai berhenti.
“Bentar, Li… buku catatanku ketinggalan.”
Lira menoleh dengan wajah putus asa.
“Astaga, Kai… udah, tinggalin aja.”
“Enggak bisa,” jawab Kai cepat. “Masa depanku ada di dalamnya.”
Lira menghela napas keras, lalu mengibaskan tangan. “Ya udah, cepet!”
Ia menunggu di teras penginapan, mondar-mandir dengan resah. Tak lama kemudian Kai muncul kembali, buku lusuh itu tergenggam erat di tangannya. Anehnya, kali ini wajah Kai jauh lebih tenang.
“Udah kan? Ayo cepet,” desak Lira, segera melangkah duluan.
Kai berjalan menyusul, tapi langkahnya lebih santai, bahkan terlalu tenang dibanding sebelumnya.
Suasana pagi itu sepi. Rumah-rumah warga masih tertutup rapat, jalan setapak menuju pantai sunyi kecuali derik kayu dan suara burung sesekali. Lira tidak peduli, yang ia tahu hanya satu: dermaga sudah dekat, dan sebentar lagi mereka bisa meninggalkan pulau ini.
Tak lama, kayu-kayu dermaga akhirnya terlihat. Lira mempercepat langkahnya hingga berhenti tepat di depan kapal-kapal nelayan yang bergoyang diterpa ombak. Dadanya mengembang, hampir lega. “Akhirnya, Kai…”
Namun Kai diam. Tidak ada jawaban.
Lira menoleh.
Dan seketika tubuhnya membeku.
Kai yang bersamanya berdiri tak jauh, menatapnya dengan sorot mata aneh. Tapi dari belakang, tiba-tiba terdengar suara teriakan lantang.
“Liraa! Woy, kurang ajar gue ditinggal!”
Lira menoleh cepat. Dari arah jalan setapak, Kai berlari kecil menghampirinya—wajahnya panik, sama seperti tadi di penginapan.
Mata Lira membulat, napasnya tercekat. Ia menatap sosok “Kai” yang ada di hadapannya… lalu menoleh lagi ke sosok Kai yang kini baru tiba di dermaga.
Dua Kai.
Mata Lira membulat, darahnya serasa berhenti mengalir. Dua Kai. Yang satu berlari kecil dari arah jalan setapak dengan wajah panik—sementara yang berdiri tepat di depannya hanya diam, menatapnya dengan senyum tipis yang tidak pernah ada pada Kai.
Tubuh Lira mundur selangkah.
“Si… siapa kau?” bisiknya nyaris tanpa suara.
Sosok di hadapannya mulai bergerak. Bahunya bergetar, tubuhnya menegang aneh. Lira bisa mendengar bunyi retakan tulang—krek… krek…—diiringi suara napas berat yang makin dalam. Kulit wajahnya yang semula mirip Kai, perlahan mengelupas seperti topeng retak.
Rambut Kai yang rapi menjuntai berubah kusut panjang, matanya meredup lalu menyala merah menyala. Giginya memanjang, menyeringai. Suara tawa berat keluar, membuat bulu kuduk Lira berdiri.
“Aku Kai-mu, Lira…” suara itu bergema, bercampur dengan raungan rendah, “…Kai yang ingin menemanimu sampai mati.”
Dalam sekejap, tubuh itu mengembang besar, kulitnya menghitam legam dipenuhi bulu kasar. Sosok Kai lenyap—berganti dengan wujud mengerikan genderuwo, tubuh raksasa yang menunduk hingga bayangannya menelan seluruh tubuh Lira.
Suara raungan menggetarkan udara, membuat burung-burung di pepohonan beterbangan panik. Lira terpaku, napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Di hadapannya, makhluk itu berdiri tegak—genderuwo, hitam legam dengan mata merah menyala, tatapannya haus darah.
“Kau… bukan Kai…” Lira bergumam, nyaris tak mampu menggerakkan lidahnya.
Makhluk itu menyeringai, barisan gigi panjangnya berkilat. “Aku bisa jadi siapa pun yang kau percayai, Lira. Dan kau hampir mempercayaiku sepenuhnya.”
Seketika, suara langkah terburu-buru memecah keadaan. Kai asli berlari dari arah dermaga, wajahnya pucat dan penuh keringat. “LI, MENJAUH!!” teriaknya dengan suara putus asa.
Genderuwo itu menoleh ke arah Kai asli, raungannya pecah, lalu satu ayunan tangannya menghantam papan dermaga hingga hancur berantakan. Kayu-kayu beterbangan, air laut memercik tinggi.
Lira menjerit, tubuhnya refleks mundur. Untuk pertama kali, ia merasa benar-benar terperangkap di antara dua dunia: satu sisi temannya yang nyata, satu sisi kegelapan yang menjelma wajah orang yang ia percaya.