NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MAIN API

Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 19.45 ketika suara deru mobil berhenti di depan rumah. Kemala yang duduk di ruang tamu langsung berdiri dari sofa begitu mendengar suara langkah kaki masuk.

Pintu terbuka. Erina muncul dengan senyum lebar, tangan kanan menjinjing beberapa paperbag dari brand ternama, lengkap dengan tas tangan mewah yang tampak baru.

"Eh, Mala. Sudah makan belum? Ini Tante bawakan makanan nih," sapanya hangat, berusaha menjaga nada ramah seperti biasanya.

Namun senyum Kemala menguap. Wajahnya tak bersahabat, matanya memicing pada kantung-kantung belanjaan yang mencolok.

"Dari mana aja, Tante?" tanyanya langsung, tajam dan tak sabar.

Erina tertegun sejenak. Senyum di wajahnya mulai mengendur. Ia meletakkan belanjaan di sofa, lalu menghampiri keponakannya itu.

"Maaf ya, Sayang. Tante tadi dari mall. Tante beli baju dan keperluan kamu juga lho," jawabnya sambil duduk di samping Kemala, berusaha terdengar manis.

Erina mengeluarkan 2 stel pakaian anak muda yang cukup bagus lengkap dengan sepatu kets untuk Kemala. "Lihat nih, bagus kan! Sepatu baru, mahal harganya. Kamu bisa pake buat main juga!" serunya.

Kemala melirik tumpukan paperbag. Ia tahu betul, dua potong baju sederhana itu tidak sebanding dengan tujuh kantong belanjaan dari butik mewah dan aksesoris mahal. Bau parfum maskulin pun masih samar tercium dari jaket Erina. Aroma asing. Bukan milik Om Tama.

Kemala sadar betul jika dia hanya dimanfaatkan.

Erina memakai uang untuk kebutuhan pribadi Kemala untuk bersenang-senang. Sebenarnya Kemala tidak terlalu peduli, toh yang penting keluarga ini rukun. Ia bisa mendapatkan kasih sayang Om dan tantenya yang kini menjadi orang tua asuhnya. Lagipula Kemala makin betah tinggal disini. Suasana baru dan teman-teman baru yang membuatnya bisa sedikit melupakan kesedihannya.

Namun sepertinya, Erina benar-benar memanfaatkan kebaikan keponakannya itu.

"Sama siapa?" tanya Kemala lagi. Dingin. Datar.

"Sendirian lah, Sayang. Mau ngajak Om Tama, tapi dia sibuk di cafe." Erina mencoba tersenyum, tapi garis tipis di bibirnya mulai kaku. Ia cepat-cepat menambahkan, "Eh iya, kamu potong rambut ya? Wah, bagus banget. Lebih stylish! Tante suka banget liat kamu tampil beda kayak gini."

Kemala menanggapi dengan anggukan kecil. "Oh ini? Iya, aku potong rambut di mall X tadi siang. Sama kayak Tante, ya?"

Seketika, tubuh Erina menegang.

"A-apa? Jadi kamu..." Suaranya nyaris tercekat.

Kemala berdiri. Ia perlahan merogoh saku hoodie

Nya, mengeluarkan ponsel, lalu menyalakan layar dan membuka galeri.

"Aku lihat Tante tadi. Di food court lantai atas," ucapnya lirih namun penuh tekanan.

Kemala mengulurkan ponselnya, memperlihatkan tiga foto jelas. Gambar pertama menampilkan Erina menggandeng seorang pria berkaus hitam. Gambar kedua saat kepala Erina bersandar manja di bahu pria itu.

Gambar ketiga, mereka tertawa bersama seperti pasangan kasmaran.

Erina membeku. Napasnya tercekat. Wajah yang sejak tadi dihiasi riasan sempurna kini kehilangan rona.

"Siapa ini, Tante?" tanya Kemala tanpa mengalihkan pandangan. "Tante selingkuh dari Om?"

Erina masih terdiam. Seluruh tubuhnya gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Otaknya berpacu menyusun alibi, tapi semua terasa sia-sia ketika bukti terpampang jelas di hadapannya.

"Itu..." gumamnya lemah, "itu cuma... teman lama Tante. Kita nggak sengaja ketemu. Dia habis cerai, dan... ya, sekadar ngobrol aja." Erina berbohong sambil mengatur napas.

Kemala menggeleng pelan. "Ngobrol sampai gandengan tangan dan nyender di bahu? Tante pikir aku gak ngerti?" suaranya meninggi, membuat dada Erina makin sesak.

"Dengerin, Sayang. Tante punya alasan kenapa begini. Tante cuma... kesepian. Om Tama terlalu sibuk. Setiap hari ngurus cafe, pulang malam. Tante ngerasa gak ada yang peduli..."

"Kemala juga kesepian, Tante!" potong Kemala tajam. "Kalau Ibu masih ada, pasti beliau juga sedih melihat kelakuan tante. Om Tama itu baik, perhatian dan tulus. Tante tega banget selingkuh."

Erina menunduk. Tangannya gemetar, matanya mulai basah. Tapi tidak ada penyesalan di sana. Yang ada hanya kepanikan.

"Jangan bilang ke Om Tama, ya? Tante mohon. Nanti rumah tangga kami hancur. Tante janji gak akan ketemu dia lagi."

Kemala menghela napas berat. Matanya tak lagi marah, tapi penuh kekecewaan.

"Aku tidak akan bilang. Tapi kalau Tante terus kayak gini, jangan salahkan aku kalau suatu hari Tante kehilangan semuanya."

Erina mengangkat wajahnya, berharap mendapat simpati. Tapi yang ia lihat hanyalah sorot mata dingin dan kecewa dari seorang gadis yang mulai kehilangan rasa hormat.

Dan Erina juga tidak menyadari akan makna dari kata-kata keponakannya itu. Ia pikir kehilangan segalanya adalah kehilangan Kemala dan hak asuhnya, namun yang Kemala ucapkan lebih dari itu. Erina tidak hanya akan kehilangan harta jika melanggar janji, namun dia juga akan kehilangan suaminya.

"Ya, Sayang. Tante janji tidak akan selingkuh. Tante janji akan meninggalkan pria itu asal kamu mau maafin Tante," ucap Erina memohon. Di balik kamar, malam itu Kemala menangis sendirian. Ia kembali teringat dengan kedua orang tuanya.

Perasaannya campur aduk.

Bukan karena cemburu, bukan karena marah. Tapi karena hatinya remuk oleh kenyataan bahwa satu-satunya sosok perempuan dewasa yang tersisa dalam hidupnya ternyata begitu munafik.

Wajah Erina memang sangat mirip dengan kakaknya Indira -ibu kandung Kemala. Hal yang menjadi pertimbangan Kemala ingin tinggal bersama tantenya itu. Ia ingin menemukan sosok ibunya pada diri tantenya. Tapi sayangnya, sifat tentunya dan ibunya itu berbeda.

Kenyataan Jika ternyata tante Erina selingkuh, membuat Kemala benar-benar kecewa.

Namun sesaat kemudian, tangis itu berubah menjadi seringai yang misterius.

"Kau memang tidak sama dengan ibuku, Tante. Baiklah, mari bermain-main dulu. Aku memang harus fokus dengan tujuan awalku, tapi kenyataan perselingkuhanmu sepertinya seru juga. Kita lihat, seberapa cantiknya kau, Erina!"

Dan sejak malam itu, Kemala tahu...

Jika Tante Erina terus bermain api, maka ia siap merebut satu-satunya orang yang layak mendapatkan cinta dan kesetiaan.

Om Tama.

Satu minggu kemudian.

Erina kini tampak seperti istri yang sempurna. Dia jarang pergi keluar rumah, kecuali mengantar dan menjemput Kemala dari sekolah atau membeli keperluan rumah. Ia pun menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan sangat baik.

Rumah selalu bersih dan wangi. Setiap pagi, aroma nasi goreng buatan Erina menyambut Kemala dan Tama di meja makan. Siang dan malam, tak pernah absen sajian lezat khas rumahan tersaji dengan penuh cinta. Atau setidaknya, begitulah yang tampak di permukaan.

Tak hanya itu, Erina pun menunjukkan sisi romantisnya kepada Tama. Ia sering kali bergelendot manja di bahu suaminya saat mereka duduk di sofa menonton acara TV kesukaan mereka. Kadang-kadang, ia menyuapi Tama buah potong sambil tertawa kecil dengan mesra. Hal yang membuat Tama bertanya-tanya dengan perubahan sikap istrinya yang semakin lembut dan perhatian itu.

Dari luar, rumah itu tampak sempurna. Harmonis. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kemala menyaksikan semua itu dari sudut ruangan dengan hati yang campur aduk. Ia senang sekaligus heran. Senang karena Tante Erina menepati janjinya untuk berubah. Heran karena rasa tak nyaman menyusup di hatinya setiap kali melihat kemesraan antara tantenya dan omnya.

"Apa aku... cemburu?" gumam Kemala dalam hati. Ia

Bahkan merasa bersalah karena perasaan aneh itu. Ia mencoba mengusir rasa tersebut dan memilih fokus pada pelajaran.

Setidaknya, ia harus tetap menjadi anak yang berterima kasih karena sudah diasuh dengan baik. Lagipula, apa pun yang dilakukan Tante Erina kini tampak benar. Ia seperti telah berubah. Setia dan tulus.

Namun, meskipun begitu, entah mengapa Tama merasa ada yang janggal. Selain merasa jika sikap istrinya nampak dibuat-buat, ia juga merasa hampa. Erina memang lembut dan manja, namun dia tidak agresif seperti dulu, bahkan terkesan menghindar saat di kamar.

"Mas, kamu belum tidur?" tanya Erina.

"Belum nih. Kenapa? Mau...?" tanya Tama menggoda.

Erina menggelengkan kepalanya. "Ish, kamu ini. Aku kan lagi datang bulan. Jangan tidur malam-malam ya, Sayang. Good night!"

Tama tersenyum dan kembali menatap laptopnya. Ia menatap istrinya yang tidur membelakanginya. Lekuk tubuhnya yang aduhai itu membuat Tama ingin menyalurkan has-ratnya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia punya hak untuk kebutuhan biologis itu.

Namun malam ini, lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena istrinya yang sedang datang bulan.

Tama terdiam sejenak sebelum akhirnya dahinya berkerut. 'Bukankah sepuluh hari yang lalu saat aku minta, Erina juga bilang datang bulan? Kok sekarang sudah datang bulan lagi?'

Tama menatap tubuh istrinya yang terbaring

Membelakangi. Nampak sek-si meski memakai piyama tidur. Ia mencoba untuk berpikir positif, mungkin saja memang siklus datang bulan istrinya tidak lancar.

'Duh, sampai kapan harus puasa terus? Dari Kemala datang 3 minggu lalu, aku dan Erina belum melakukannya lagi. Aahhh, bisa-bisa karatan nih gak diasah-asah.'

Tama bergumam dalam hati seraya memijat kepalanya yang berdenyut. Rasanya jangar karena has-rat yang harus tertunda lagi.

Hari itu, setelah menjemput Kemala dari kampus dan memastikan gadis itu sudah memakan makan siangnya, Erina bersiap-siap untuk pergi. Ia mengenakan blus putih dengan celana jeans high-waist yang membentuk tubuh rampingnya. Lipstik merah muda menambah kesan segar di wajahnya. Ia lalu menyemprotkan parfum ke leher dan pergelangan tangan.

"Sayang, aku mau ke supermarket. Beberapa bahan habis. Kamu jaga rumah, ya," katanya pada Tama yang sedang duduk di ruang tamu, menatap layar laptopnya. Tama hari ini memang tidak berangkat ke cafe. Ia berencana untuk bekerja sama dengan temannya. Join untuk membuat cafe baru di tempat yang lebih strategis. Ia sedang menyusun planning kedepannya supaya ekonominya bisa naik lagi.

"Ya, hati-hati di jalan," jawab Tama sambil tersenyum hangat.

"Jaga Kemala juga ya, jangan ditinggalin. Kalau dia merajuk karena di rumah sepi, bisa gawat. Jangan sampai nanti dia minta pulang," ucap Erina yang dibalas anggukan oleh Tama.

Erina mencium pipi suaminya seolah-olah ia benar-benar hanya ingin belanja bahan dapur. Lalu ia melangkah keluar rumah. Namun, arah yang dituju bukanlah supermarket, melainkan sebuah restoran di pusat kota.

Di sanalah, Yudha sudah menunggu. Pria dengan lengan bertato itu duduk dengan santai di kursi pojok, mengenakan jaket kulit dan celana hitam. Matanya tajam menatap pintu masuk, dan begitu melihat Erina datang, senyumnya langsung mengembang

Erina tak bisa menahan diri. Begitu duduk, ia langsung menggenggam tangan Yudha dan mengusap punggungnya dengan penuh rindu.

"Aku kangen banget," ucap Erina lirih.

Yudha menarik tangan Erina ke pangkuannya. "Satu minggu kamu hilang. Rasanya aku mau mati," katanya dramatis, tapi matanya menunjukkan keseriusan.

"Maaf. Aku harus bersandiwara. Kalau sampai Kemala tahu aku masih berhubungan denganmu, semua rencana bisa hancur."

Yudha menatapnya penuh selidik. "Sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi begini, Rin? Apa kamu serius akan tinggalin Tama?"

Erina mengangguk. "Setelah aku dapat semua harta Kemala. Aku cuma butuh beberapa bulan lagi. Sekarang kita backstreet dulu ya, jangan sampai Kemala tahu aku ingkar janji. Kalau dia batalin status anak asuh, aku nggak bisa nikmatin harta warisan dari orang tuanya." Yudha mendesah pelan. "Dan selama itu, aku harus jadi pelampiasan diam-diam?"

Erina mencubit dagu Yudha genit. "Aku udah transfer lima puluh juta ke rekeningmu, kan?"

Yudha tertawa miring. "Transfer doang nggak cukup. Aku juga butuh kamu."

Erina tersenyum nakal. Ia tahu benar cara memuaskan kekasih gelapnya. "Ayo kita ch3ck-in. Aku nggak punya banyak waktu."

Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan restoran dan menuju hotel yang sudah sering mereka datangi. Di kamar itu, mereka kembali tenggelam dalam ga i rah terlarang. Tak ada rasa bersalah di wajah Erina, hanya kepuasan sesaat yang tampak jelas dari caranya memeluk dan mencu-mbu Yudha.

Setelah kelelahan, mereka berbaring di ranjang hotel, saling menyandarkan tubuh.

"Jadi, kamu beneran cinta sama aku?" tanya Yudha, masih memeluk Erina.

"Tentu," jawab Erina cepat. "Tama memang tampan, tapi kamu yang aku mau, Sayang."

"Kalau cinta, kenapa harus nunggu lama-lama?"

"Karena harta. Aku nggak mau hidup miskin sama kamu. Aku cinta kamu, tapi aku juga butuh masa depan yang nyaman. Jadi bersabarlah. Kemala memergoki kita hari itu, dia mengancam akan pulang ke puncak jika aku menghianati Tama. Anak itu benar-benar menyusahkan," keluh Erina seraya memutar jari telunjuknya di dada bidang pria itu.

Yudha mendecak. "Oke, oke. Tapi malam ini kamu milikku seutuhnya. Jangan buru-buru pulang."

Erina mengangguk sambil memeluk pria itu lebih erat. "Malam ini aku milikmu, Honey. Aku mau gaya yang lebih hot dari yang tadi."

Yudha tersenyum menyeringai. "Tentu. Tadi baru pemanasan."

Malam kian larut. Erina tak peduli lagi pada waktu. Ia bahkan tak menghubungi Tama atau Kemala. Ponselnya sengaja dimatikan. Baginya, malam ini adalah malam pelampiasan. Malam untuk memuaskan diri dan menegaskan bahwa ia masih bisa memiliki segalanya-cinta, uang, dan kenikmatan-meski harus lewat kebohongan.

Pukul 19.00

Di rumah, Tama terlihat gelisah. Beberapa kali menekan nomor ponsel Erina, namun wanita itu tidak bisa dihubungi. Ia tidak curiga apa-apa, namun ia mengkhawatirkan istrinya. Takut terjadi apa-apa pada Erina diperjalanan.

Kemala baru keluar kamar. Baru saja selesai mengerjakan tugas kuliah. Ia berniat untuk makan malam, namun saat membuka tudung saji, tidak ada makanan.

"Aah, Tante Erina belum pulang ternyata," ucapnya.

"Mala. Mau makan ya? Duh, maaf ya, Om lupa. Seharian sibuk meeting zoom sama temen. Ehm, biar Om masakin dulu ya," ucap Tama. Meskipun gelisah menanti istrinya pulang, namun ia tetap perhatian pada

Keponakannya itu.

"Eh, gak usah, Om. Aku aja," ucap Kemala sungkan.

"Memangnya bisa?"

Kemala menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Heheh... Enggak sih."

Tama tersenyum, senyum yang begitu manis. Kadang membuat Kemala lupa diri. Beberapa hari ini dirinya sengaja menghindar, tak ingin perasaan aneh itu tumbuh lagi.

"Begini saja, sambil menunggu tantemu pulang, gimana kalau kita masak bareng? Sekalian nanti Om ajarin kamu masak. Gimana, mau?"

Kemala langsung mengangguk. Refleks begitu saja.

Wajahnya bersemu seketika.

Tama meletakkan ponselnya di meja makan. Ia meraih dua apron kemudian memberikan salah satunya kepada Kemala.

Pria itu mengeluarkan sayur dan lauk yang ada di lemari pendingin. Matanya mengernyit saat melihat stok bahan masakan yang masih banyak di dalam kulkas.

'Lho, bukannya Erina bilang mau belanja ke supermarket karena bahan dapur habis? Tapi, ini masih banyak. Sembako pun masih ada.'

Tama terdiam, merasa mulai curiga. Namun suara Kemala yang memanggilnya, membuyarkan lamunan.

"Om, ada apa?" tanya Kemala saat melihat Tama berdiri di depan lemari pendingin yang terbuka itu.

"Eh, gak apa-apa kok. Yuk lanjut masak! Keburu laper banget nih," ujarnya.

Dengan cekatan dan penuh kesabaran, Tama mengajari Kemala. Kemala yang memang tidak bisa memasak itu nampak kaku dan gugup. Saat ia memotong daging ayam dan terlihat kesulitan, tiba-tiba Tama dari belakang meraih tangan Kemala. Menuntunnya sambil mengajari cara memotong yang benar.

Degh.

Jantung gadis itu berdetak tidak karuan. Bukannya mendengarkan arahan Om nya, dia malah salah tingkah.

Gugup, tubuhnya membeku. Harum itu, harum maskulin Tama tercium meskipun wajah mereka tidak menempel.

"Kenapa, Mala?" tanya Tama, suaranya Husky, terdengar lembut di telinga gadis itu.

Detik berikutnya, Kemala memejamkan mata.

Sentuhan itu lembut dan menenangkan juga membuat has-ratnya menggebu-gebu.

"Kamu sudah dewasa," bisik Tama.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!