NovelToon NovelToon
Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Mata-mata/Agen / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural / Trauma masa lalu / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan

Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.

Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.

“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.

Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8. Bryan Harus Tahu, Adam Sudah Mati.

***

Lanang mengangkat bahu.

“Dari penerawangan. Saat aku pingsan, Jiwaku sempat kembali ke rumah sakit. Aku melihat kau mengamuk karena baju Adam hilang.”

Brian menyipitkan mata. Ada sesuatu yang janggal dari cara temannya berbicara. Bukan soal penerawangan yang jelas-jelas terdengar tidak masuk akal baginya, tetapi karena Adam menyebut namanya sendiri, seakan sedang membicarakan orang lain.

Namun ia buru-buru menepis kecurigaan itu. Bukankah mereka memang sedang mempertimbangkan kemungkinan bahwa sosok di hadapannya adalah alter ego Adam? Kepribadian gandanya mungkin muncul untuk melindungi diri.

“Kalau kau ingin tahu,” ujar Brian berat hati, “sampai sekarang bajumu belum ditemukan. Semua staf laboratorium sudah diinterogasi oleh Dokter Elibrech. Tidak ada yang terbukti mengambilnya.”

Ia menarik napas panjang.

“Hanya ada rekaman CCTV. Pelakunya laki-laki, mengenakan jas dokter, wajahnya tertutup masker. Tetapi yang aneh… dia memakai sepatu yang sama persis dengan punyamu.”

“CCTV itu apa?” tanya Lanang polos.

Brian memutar mata.

“Kamera pengawas. Gambarnya tersambung ke layar monitor untuk mengawasi ruangan.”

“Oh… jadi seperti televisi, begitu?” Lanang menunjuk laptop di atas meja.

“Hehe… aku tidak aneh-aneh amat,” ujarnya sambil terkekeh.

Bagi Brian, justru itulah yang terdengar aneh.

“Soal sepatu… itu mudah dijelaskan. Banyak orang bisa saja punya sepatu yang sama. Tidak bisa dijadikan bukti,” sanggah Lanang.

“Itu tak mungkin, karena sepatunya adalah pantofel hitam bermotif batik, yang ditempa khusus oleh adikmu dari Indonesia untuk hadiah ulang tahunmu. Motifnya unik, dan di Quantico ini hanya ada satu pasang, itu jelas punyamu,” tegas Brian.

Lanang terdiam. Ini memang mencurigakan. Kalau begitu, Adam sedang dijebak? Tetapi siapa yang tahu detail sepatu pemberian adiknya?

'Wahai bocah… suram sekali masa depanmu. Orang-orang di sekitarmu benar-benar sulit dipercaya, batin Lanang, mengasihani nasib Adam.'

Ia bangkit berdiri.

“Ayo, Brian. Bantu aku mencari sepatu itu. Jika masih ada di rumah, berarti ada orang lain yang memiliki sepatu sama untuk menjebak Adam. Tetapi jika tidak… artinya rumah ini sudah dibobol.”

.

.

.

Mereka pun langsung mengacak-acak rumah. Lemari dibongkar, kotak dibuka, laci diobrak-abrik. Dalam waktu singkat, rumah itu tampak seperti kapal pecah.

Namun hasilnya tetap sama: sepatu itu tidak ditemukan.

Keduanya saling berpandangan. Kesimpulan yang sama terlintas di benak mereka, yaitu rumah ini memang sudah dibobol. Pelakunya jelas bukan orang asing, sebab tidak ada jejak kerusakan akibat masuk secara paksa.

“Gawat! Jadi benar, Adam dijebak, ya, Brian?” ujar Lanang lirih.

Namun, ucapan itu justru menyulut emosi Brian. Ia sudah lelah menghadapi versi Adam yang satu ini, versi yang ia yakini hanyalah akting belaka dari karakter ganda.

“Dengar, Dam. Kita perlu bicara serius.” Suaranya tiba-tiba berubah dingin, bagai pisau yang mengiris udara.

“Cukup sudah aktingmu selama seminggu ini. Apa kau tidak lelah terus-menerus berpura-pura jadi orang lain? Aku ini sahabatmu. Aku saja sudah bosan melihat tingkahmu. Apalagi orang lain? Mulai sekarang, berhenti menyebut nama Adam seolah-olah yang kau bicarakan orang lain, mengerti?”

Tatapannya tajam, penuh peringatan. “Aku tidak ingin orang lain menganggapmu gila,” tegasnya panjang lebar. Setelah itu, ia menarik napas dalam, mungkin karena kehabisan tenaga setelah bicara begitu keras.

Lanang hanya menatap balik dengan sikap meremehkan, seolah kata-kata Bryan tak lebih dari angin lalu.

“Jadi, kau masih tidak percaya kalau aku ini bukan Adam?” tanyanya datar, namun nadanya dingin.

Kesabaran Lanang sudah habis. Hampir seminggu ia terjebak di rumah sakit, menanyakan hal-hal sederhana pada Bryan, hal-hal yang bahkan anak kecil di zaman ini sudah tahu. Tetapi Bryan tetap bersikeras menganggap dirinya adalah Adam.

“Sudah kubilang cukup! Hentikan sandiwara ini!” bentak Bryan meledak.

“Bukan sandiwara. Kau yang bodoh. Sampai sekarang masih tidak sadar kalau Adam, sahabatmu itu, sudah mati,” balas Lanang tajam, tanpa keraguan sedikit pun.

Sorot matanya menusuk. “Apa kau tidak kasihan padanya? Tidak terpikir sedikit pun untuk mengirim doa sebelum empat puluh hari kepergiannya?”

Ucapan itu bukan tanpa alasan. Di balik nada dinginnya, Lanang sebenarnya hanya ingin jujur. Ia tidak tega melihat semua orang, terutama Bryan, masih tidak tau bahwa Adam sudah mati. Dan, yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanyalah jiwa yang telah terlepas dari raganya.

Namun, bagi Bryan, kata-kata itu terasa seperti pukulan telak yang sulit ia terima.

Bagaimana mungkin Adam, orang yang baru saja ia selamatkan dengan taruhan nyawa, justru berkata bahwa dirinya sudah mati?

Tanpa menanggapi lebih jauh, Bryan berbalik. Pikirannya lelah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Adam versi keras kepala. Langkahnya berat namun tegas, meninggalkan Lanang menuju pintu keluar.

Tiba-tiba terdengar dentuman keras.

Dbuuummm!

Pintu terhempas terbuka, menghantam dinding.

Bryan sontak siaga. Tangannya cepat menarik pistol dari pinggang, tubuhnya merunduk rendah. Adrenalin menyambar seperti aliran listrik.

“Tiarap, Adam! Kita diserbu!” serunya sambil mengawasi setiap sudut dengan waspada.

Namun sebelum sempat ia bergerak, pintu itu kembali tertutup keras.

Bum!

Bryan terhentak, jantungnya berpacu kencang.

Dari belakang, suara tawa terbahak-bahak terdengar. Lanang berdiri santai, tatapannya penuh tantangan. Semua gerakan pintu barusan hanyalah ulah kekuatan telekinesisnya.

“Bagaimana, Bryan? Masih tidak percaya kalau aku bukan Adam?” tanyanya dengan senyum menyeringai, tawanya berat dan mengerikan, mengisi ruangan yang tiba-tiba terasa jauh lebih dingin.

Bryan yang panik semakin bingung, tetapi ia tetap enggan membalikkan tubuh untuk menatap Lanang.

Sementara itu, Lanang melangkah mendekat tanpa ragu. Suaranya menurun, namun mengandung ancaman.

“Kalau kau masih memanggilku Adam, aku tidak akan segan menunjukkan seperti apa nasib orang yang menolak percaya. Bryan!”

Perlahan Bryan menurunkan pistolnya, lalu tubuhnya berbalik menatap Lanang yang sedang menyeringai ke arahnya. Tangannya gemetar menahan gugup, tetapi tatapannya tidak lepas sedikit pun.

Baru kali ini ia menyadari ada sesuatu yang berbeda di mata sosok sahabatnya itu. Tatapan yang jauh lebih dingin, kosong, tetapi dalam. Itu bukan lagi mata Adam yang ia kenal.

“Jangan main-main, Adam. Hentikan trik murahanmu,” ucapnya ketus, masih berusaha menyangkal kenyataan.

“Apa? Trik? Jadi ini yang kau sebut trik?” balas Lanang. Tangannya terulur ke udara, dan....

'Wusssshhh!!!'

Lukisan di belakang Bryan tiba-tiba terangkat, melayang begitu saja di udara.

Bryan terperanjat melihat lukisan itu melayang. Namun rasa ragunya lebih kuat. Apa pun yang terjadi, ia tidak mau begitu saja percaya pada perkataan gila Adam, apalagi tentang kematian sahabatnya itu.

“Hah, omong kosong! Paling kau hanya menggunakan benang atau tali. Cepat turunkan lukisan itu, Adam! Jangan lupa, lukisan itu edisi terbatas. Penggemarmu rela menangis hanya untuk membelinya.” Dengus Bryan, tetap bersikeras.

***

1
Nana Colen
lanjut thooooor aku suka 😍😍😍😍😍
Yuni_Hasibuan: Sabar kakak...
OTW... Bruuummmmm...
total 1 replies
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤🥰🥰
Yuni_Hasibuan: Terimakasih udah mau mampir kakak 🥰🥰🥰
total 1 replies
Maulana Alfauzi
Belanda memang licik
Yuni_Hasibuan: Liciknya kebangetan Bang.
total 1 replies
Maulana Alfauzi
hmm...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
Maulana Alfauzi
Aku suka aja sama novel fantasi begini.
Maulana Alfauzi
Makasih up nya Thor.
semakin seru ceritanya
Yuni_Hasibuan: Makasih udah Mampir Bag.../Pray/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!