NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Dreadholt

Suara teriakan prajurit berlatih terdengar samar dari luar, berpadu dengan dentang senjata yang saling beradu, menciptakan irama logam yang memantul di dinding batu. Cahaya matahari pagi menyelinap lewat celah tirai tebal, menggambar garis-garis tipis di lantai dingin kamar pribadi sang Duke.

Rosella duduk bersandar di kepala ranjang, jemarinya meremas ujung kain tipis yang membungkus tubuhnya. Setiap gerakan kecil membuat perutnya yang berbalut kain terasa berdenyut nyeri, namun matanya tak terpejam sedetik pun sejak fajar. Ia menunggu—menunggu suara langkah berat yang pasti akan datang, entah cepat atau lambat.

Pintu akhirnya terbuka perlahan. Orion masuk, mantel hitamnya bergerak mengikuti ayunan langkah yang mantap dan terkendali. Tanpa menatapnya terlebih dahulu, ia menuju meja di dekat jendela, menuang teh hitam panas ke dalam cangkir logam. Uapnya mengepul, membawa aroma pahit yang pekat.

“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan, tanpa berpaling.

“Tidak,” jawab Rosella singkat.

“Sayang sekali. Di barak ini, tidur nyenyak adalah kemewahan yang jarang didapat.” Orion memutar cangkirnya pelan, lalu menyesap sedikit. “Kau tahu, aku selalu heran … beberapa orang bisa tidur nyenyak meski ada kematian di sekelilingnya. Bahkan kadang … mereka tidur lebih nyenyak setelah itu.”

Rosella tetap diam. Ia tahu, setiap kata Orion seperti pisau yang ujungnya selalu diarahkan untuk melukai.

Akhirnya Orion menoleh, tatapan birunya menancap padanya. “Kau pernah merasakannya, Rosella? Perasaan tenang … setelah lawanmu hilang dari dunia ini?”

“Aku tidak tahu apa maksudmu,” balas Rosella datar.

“Oh, aku rasa kau tahu.” Orion mulai melangkah mendekat, gerakannya tenang namun berat, tatapannya seperti jarum yang menusuk perlahan. “Aku perhatikan … kau punya semacam pengaruh. Anehnya, setiap kali kau berada di dekat para jenderalku, salah satu dari mereka selalu tak kembali dalam keadaan utuh.”

Rosella menahan napas, namun wajahnya tetap datar. “Kebetulan.”

Orion terkekeh, singkat tapi sarkastis. “Kebetulan … adalah alasan yang paling sering dipakai para pembunuh yang belum tertangkap.”

Kini ia berdiri di sisi ranjang, menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan Rosella. “Valdrosh mati dua malam setelah jamuan—keracunan. Kaelric terbunuh tak lama setelahnya di luar markas. Dan sekarang… Virellith’s Whisper entah bagaimana muncul di jalur suplai barak ini.”

Rosella membalas tatapannya, matanya dingin. “Kalau aku dalangnya, Tuan Duke … kau yang sudah mati duluan.”

Senyum tipis muncul di bibir Orion, bukan karena terhibur, melainkan seperti seseorang yang merasa baru saja menemukan bukti dari dugaan yang ia simpan. “Itu sebabnya aku masih hidup—karena aku tahu permainanmu bahkan sebelum kau memainkannya.”

Ia berbalik, langkahnya mantap menuju pintu. “Bersiaplah, Rosella. Malam ini … kita akan lihat apakah ‘kebetulan’ itu terjadi lagi.”

Pintu menutup perlahan, meninggalkan Rosella sendirian di kamar yang terasa semakin sempit. Jantungnya berdetak lebih kencang—bukan karena takut, tetapi karena tantangan yang baru saja dilemparkan ke pangkuannya.

Rosella menatap pintu yang baru saja menutup, napasnya masih terasa berat. Udara kamar yang pengap seolah menahan setiap hembusan, meski cahaya pagi sudah berhasil merembes lewat celah tirai tebal dan memecah kegelapan. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan pada jemari yang tak sadar menggenggam kain selimut terlalu kuat. Bayangan tatapan biru Orion masih menggantung di pelupuk mata, menekan dadanya seperti beban yang enggan lepas.

Derap langkah berat mendekat di lorong batu memecah keheningan. Suaranya teratur, mantap, dan semakin keras. Rosella melirik ke arah pintu, dan sesaat kemudian, terdengar ketukan tiga kali—singkat, padat, tegas, tanpa nada sopan.

Pintu terbuka tanpa menunggu izin. Seorang prajurit masuk, tubuhnya tegap, bahu lebar terbungkus mantel sederhana yang tampak sedikit kotor oleh debu pagi. Sorot matanya dingin, tanpa emosi, khas seorang yang hanya menjadi pembawa perintah. Wajahnya seperti terukir dari batu—tak bersahabat, namun juga tanpa rasa ingin tahu.

“Bangun. Mulai hari ini kau akan bekerja di dapur dan ruang makan bersama para tawanan lain. Ini adalah perintah Duke,” ucapnya tegas, suaranya berat dan tak memberi ruang untuk penolakan.

Rosella hanya menatapnya sejenak, lalu tanpa sepatah kata menyibak selimut. Gerakannya pelan, hati-hati, agar nyeri di perut tidak memaksanya meringis di hadapan prajurit itu. Ia tahu pria ini hanyalah perpanjangan tangan dari kehendak Orion—tidak lebih, tidak kurang.

“Cepat,” perintahnya lagi, kali ini sambil berbalik menuju koridor.

Udara di luar kamar lebih dingin, menyengat seperti gigitan tipis di kulit. Bau besi dari senjata bercampur dengan aroma minyak perawatan dan bubur gandum yang dimasak untuk para prajurit. Di kejauhan, teriakan komandan latihan terdengar lantang, diiringi dentang baja yang saling beradu, menciptakan ritme perang yang tak pernah berhenti.

Lorong panjang membawa mereka menuju dapur besar Ashgrath Hall. Begitu pintu kayu tebal didorong terbuka, gelombang aroma hangat langsung menyambut—bau kaldu yang bergolak di panci besar, roti panggang yang baru keluar dari tungku, dan taburan rempah sederhana. Hiruk-pikuk memenuhi ruangan, pisau menebas sayuran di atas talenan, air mendidih mengeluarkan uap, dan sendok kayu beradu dengan sisi wajan berulang kali.

Di dekat tungku batu, seorang perempuan berambut hitam pendek menoleh. Wajahnya letih, namun sorot matanya masih menyimpan sisa-sisa kelembutan yang belum benar-benar padam. “Kau yang baru, ya? Aku Lyrra,” ujarnya sambil mengusap kedua tangannya pada celemek lusuh yang warnanya sudah pudar.

“Rosella,” jawabnya singkat.

Lyrra menunjuk ke sudut meja panjang, tempat tumpukan umbi menunggu untuk dikupas. “Mulai saja dari kupas umbi di sana. Jangan pikir bisa duduk manis di sini, semua tangan harus bekerja.”

Di sisi lain meja, seorang perempuan berambut cokelat kemerahan melirik dari balik tumpukan sayuran. Senyumnya nakal, matanya penuh rasa ingin tahu. “Namaku Feya,” katanya sambil menyeringai lebar. “Kalau ada yang mau tahu kabar terbaru di barak ini—termasuk gosip yang tidak pernah sampai ke telinga prajurit—aku orangnya.”

Rosella hanya mengangguk, lalu duduk di bangku kayu, mengambil pisau kecil. Ia mulai mengupas umbi dengan gerakan lambat, bukan karena malas, tapi karena pikirannya masih dipenuhi tatapan dan kata-kata Orion pagi tadi.

Feya, seperti tidak bisa menahan diri, mencondongkan tubuh sedikit. Suaranya merendah, seperti sedang membagi rahasia. “Kau tahu tidak, semalam dua prajurit dari unit barat diinterogasi habis-habisan. Katanya ada yang menyelundupkan pesan keluar barak.”

“Berhenti bicara yang aneh-aneh,” sela Lyrra, tapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.

Feya mengangkat bahu, lalu menatap Rosella dengan antusias. “Dan yang lebih penting, kudengar Duke akan berangkat kembali ke Dreadholt dalam beberapa hari. Bukan sendirian, tapi membawa serta beberapa tawanan … termasuk yang dia anggap ‘penting’.” Tatapannya sekilas menyapu Rosella, lalu bibirnya membentuk senyum penuh arti.

Pisau di tangan Rosella berhenti bergerak. Jarinya membeku di atas kulit umbi. “Dreadholt?” suaranya nyaris tidak terdengar, tapi cukup bagi keduanya untuk mendengar.

Feya mengangguk mantap. “Markas besarnya. Kalau kau sampai dibawa ke sana … hmm, aku tidak tahu apakah itu keberuntungan atau awal dari akhir.”

Lyrra menghela napas, pandangannya singkat namun sarat makna ke arah Rosella. “Kalau pengawal elit yang ikut, artinya perjalanan akan dijaga ketat. Tidak ada kesempatan melambat, apalagi keluar dari rombongan.”

Rosella mengangkat alis sedikit. “Berarti … kalau ada yang ingin kabur, tidak ada celah.”

“Benar sekali,” Feya menyahut sambil tersenyum miring. “Tapi yang lebih menarik, aku dengar salah satu tawanan yang akan dibawa adalah mantan kapten pasukan musuh. Kau tahu artinya? Dia pasti punya informasi penting—atau dendam yang berat.”

Lyrra menyipitkan mata ke arah Feya. “Kau terlalu banyak menguping.”

“Aku tidak menguping.” Feya membela diri. “Aku hanya berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat.”

Rosella berpikir cepat. Mantan kapten pasukan musuh? Bisa jadi sekutu, atau justru ancaman. Dan jika Orion menganggap dirinya ‘tawanan penting’ seperti yang dikatakan Feya … perjalanan ini akan menjadi kesempatan berisiko tinggi—tapi juga peluang emas.

Ia menunduk kembali ke pekerjaannya, menyembunyikan senyum samar yang terbit di sudut bibirnya. Dalam kepalanya, kepingan rencana mulai tersusun. Siapa yang akan ada di rombongan, jalur perjalanan, dan bagaimana memanfaatkan setiap momen di antara langkah-langkah kuda pengawal Orion.

Di sudut ruangan, pintu dapur berderit, menandakan seorang prajurit masuk untuk mengecek persediaan. Obrolan langsung mereda, semua kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Namun bagi Rosella, satu gosip kecil pagi ini sudah cukup untuk memulai persiapan menghadapi Dreadholt—dan mungkin, menanam bencana di dalamnya.

~oo0oo~

Hari-hari berikutnya berjalan seperti lembaran yang diulang. Pagi dimulai dengan suara terompet latihan, diikuti teriakan komandan yang memerintah pasukan di halaman. Bau bubur gandum dan roti panggang memenuhi udara sejak fajar, menandakan dapur sudah bekerja sebelum matahari naik.

Rosella jarang bicara, tapi matanya tak pernah berhenti bekerja. Saat mengantar panci besar berisi sup ke ruang makan prajurit, ia menghitung jumlah meja, memperhatikan posisi setiap penjaga, bahkan mencatat siapa yang duduk paling dekat dengan pintu keluar.

“Kalau kau terus menatap seperti itu, orang akan mengira kau sedang mencari suami,” bisik Feya sambil lewat, membawa keranjang roti. Senyumnya lebar, tapi nadanya setengah bercanda setengah peringatan.

Lyrra, yang sedang mengaduk panci kaldu, menimpali, “Feya itu iri karena tak ada prajurit yang meliriknya.”

“Apa? Banyak yang melirikku, tapi aku pilih-pilih,” Feya menjawab dengan nada pura-pura bangga, lalu menyenggol bahu Rosella. “Kalau kau mau tahu, dua prajurit di meja paling ujung itu suka curi-curi minum arak sebelum jamuan resmi. Cukup taruh minuman di depannya, dan mereka akan lupa kalau kau ini tawanan.”

Rosella hanya mengangkat alis tipis, tidak menanggapi. Tapi dalam hati ia menyimpan informasi itu—setiap kelemahan orang bisa menjadi pintu masuk.

Siang menjelang sore, pekerjaan beralih ke membersihkan ruang makan. Rosella ikut menyapu lantai, sementara Feya dan Lyrra mencuci peralatan di sudut dapur.

“Kau dengar tidak?” Feya memulai lagi, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi air mengalir. “Katanya, beberapa hari ini Duke sering rapat tertutup sama para jenderal yang tersisa. Lyrra bilang itu mungkin soal strategi perang, tapi aku rasa ….” Ia menunduk sedikit, matanya berbinar. “ … itu soal siapa saja yang akan dibawa ke Dreadholt.”

“Jangan sok tahu,” potong Lyrra, meski nada suaranya tidak sekeras biasanya.

Rosella menunduk ke lantai yang sedang ia sapu, pura-pura tak mendengar. Tapi setiap kata Feya ia simpan dalam pikirannya, menunggu saat tepat untuk merangkainya menjadi rencana.

Malamnya, ketika para pelayan tidur di ruangan besar yang dipenuhi jerami tipis dan bau lembap, Rosella berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit kayu. Ia membiarkan suara dengkuran samar para tawanan lain mengisi keheningan, sementara pikirannya sibuk menghitung—berapa lama lagi sebelum Orion memutuskan membawanya keluar dari Ashgrath Hall .…

Suara derit pintu mendadak memecah keheningan. Dari celah cahaya lilin di koridor, bayangan tubuh tinggi menjulang masuk, langkahnya mantap menghampiri deretan ranjang.

Seseorang berhenti tepat di sisi Rosella.

“Duke memanggilmu. Ada yang ingin dia katakan padamu.”

Rosella menahan napas, jantungnya berdetak lebih cepat. Orion mau apa tengah malam begini?

.

.

.

Bersambung ....

bantu support like atau komen, tapi nggak maksa😚

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!