_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Realisasi Ide Gila
Setibanya di rumah, langkah kaki Alsid langsung melesat ke kamar. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. Tanpa basa-basi, ia membuka ponsel dan mulai menjelajahi marketplace untuk mencari satu barang penting yang akan menyempurnakan peran barunya.
"Turban... turban warna putih... ah ini dia! Cuma dua puluh riga ribu, gratis ongkir!" serunya sambil menunjuk layar ponselnya ke Demian.
Demian yang masih berdiri di ambang pintu hanya menghela napas. "Kamu serius?"
"Banget. Mana ada pekerjaan seenteng ini? Cuma ngasih air putih, pura-pura baca jampi, dapat tiga ratus ribu! Gila, Dem. Ini bukan kerjaan, ini mukjizat!"
Demian menyandarkan tubuhnya di dinding dan menatap kosong ke langit-langit. "Tapi itu perihal kepercayaan orang. Kalau mereka nggak sembuh, kamu bisa dituduh nipu. Kamu bisa dipenjara, Sid. Gak lucu banget deh, baru tujuh belas tahun udah masuk penjara karena kasus nipu. Kamu bakalan dikeluarin dari daftar gen z."
Alsid menoleh dengan wajah sok bijak. "Makanya kita pilih kasus ringan. Yang gampang sembuh sendiri. Demam, gatal-gatal, masuk angin, atau anak yang suka nangis malam. Bukan penyakit kanker stadium empat."
"Masih aja itu penipuan. Kamu bukan dukun, dan kamu tau itu."
"Makanya kita branding diri. Dukun tapi nggak dukun. Semacam terapis spiritual dengan pendekatan tradisional. Gitu loh."
Demian melipat tangan di dada. "Itu cuma cara keren buat bilang 'tukang tipu'."
"Demian... Demian..." Alsid menepuk bahu temannya. "Zaman sekarang, kalau lu punya skill acting, modal keberanian, dan sedikit bumbu mistis, lu bisa jadi apapun. Bahkan dukun."
Demian menatap tajam. "Aku nggak mau terlibat."
"Nggak usah terlibat, cukup bantu gue promosi. Sekali aja. Lu kan punya aura-aura anak jalanan yang bikin orang lain kesian. Orang pasti percaya sama lu, karena elu muka-muka polos yang gak gampang bohong."
"Enggak."
"Cuma satu pasien aja. Habis itu terserah lu mau lanjut bantu apa nggak."
"Aku gak mau bantu, budeg!!"
"Oke, promosi dari Demian udah di ACC." gumam Alsid, enggan perduli.
Seperti biasa, penolakan hanya pemicu bagi Alsid untuk semakin gigih. Dia mulai membuat brosur digital sederhana, lengkap dengan nama panggung barunya: "Ki Sid, Penyembuh Gaib & Alternatif Islami". Di bawahnya tertulis:
> "Berobat cukup dengan air putih dan doa, insyaAllah sembuh. Spesialis gatal, demam, dan anak rewel."
Demian melirik sekilas brosur itu dan langsung memutar mata. "Astaghfirullah, itu nama siapa yang kamu bawa-bawa? Kamu ngasih label Islami lagi."
"Biar dipercaya dong. Orang tua itu sensitif sama kata-kata religius."
"Tuh kan, kamu sadar ini manipulasi."
"Bisnis, Dem. Semua juga pake strategi."
Tanpa banyak bicara lagi, Alsid mulai menyebarkan pamflet digitalnya ke beberapa grup Facebook warga, pakai akun palsu bernama "Bu Hj. Murni". Komentar dibuat seolah-olah ia adalah pasien pertama yang merasa sembuh setelah berobat ke Ki Sid.
Demian hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah temannya itu. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa keisengan ini bisa memancing sesuatu yang lebih besar. Aura di rumah kos itu memang akhir-akhir ini makin berat. Seolah ada makhluk-makhluk tak kasatmata yang mengusik. Tapi entah, mungkin itu hanya pikiran buruk Demian saja.
Keesokan harinya di sekolah, Alsid sibuk belajar. Bukan pelajaran sekolah, melainkan belajar mengenai pekerjaan barunya. Sementara Demian yang bukan merupakan pelajar resmi, malah lebih berminat belajar ketimbang Alsid.
Beberapa hari terlewati, Demian membaca lembaran kertas berisi doa-doa yang di kumpulkan oleh Alsid dari google dan di print. Ia menggeleng dan enggan mengusik hobi baru temannya itu. Di hadapannya kini, Alsid sibuk komat-kamit, di depan mulutnya ada segelas air mineral yang kelak akan ia jadikan senjata.
Tapi di sisi lain, Demian juga menemukan bungkusan obat-obatan dan resep obat yang juga di catat acak oleh Alsid di selembar kertas hvs. Apa dia mengkonsumsi obat gila juga? Pikir Demian demikian.
Tak hanya itu, Demian yang baru selesai menyapu dapur terkejut melihat penampakan Alsid di dalam kamar. Ia sudah berdandan lengkap. Ia mengenakan sarung, baju koko, dan turban barunya yang datang super cepat karena pengiriman instan. Di ruang tamu, ia menyusun "alat perang": botol air mineral, gayung, baskom, dupa murah, dan Al-Qur’an kecil yang ia pinjam dari meja musala.
"Apa kamu pikir ada yang bakal datang?" tanya Demian sambil menyapu lantai.
"Kalau nggak datang, ya kita jemput bola."
"Maksudnya?"
Alsid tersenyum lebar. "Gue butuh lu nyari target. Cari satu orang aja yang kelihatan kayak lagi butuh bantuan. Bilang kalau ada penyembuh di kosan. Yang gratis dulu nggak apa-apa. Penting ada testimoni."
"Kamu kira ini MLM?"
"Bisa jadi. Tapi MLM aja sukses kalau konsisten. Ayo, Dem. Gue butuh lu."
Demian meletakkan sapunya dan berdiri tegak. "Aku nggak mau jadi pembohong."
"Lu nggak bohong. Lu cuma ngasih tahu info. Masalah mereka percaya atau nggak, itu urusan mereka."
Demian menatap Alsid lama. Sebenarnya ia enggan membantu, hanya saja terbesit dalam hati kecilnya, kalau Alsid melakukan semua itu untuk menjadi mandiri, dan membuktikan pada papanya Alsid, kalau ia mampu berdiri di kakinya sendiri. "Aku cari satu orang. Tapi cuma satu. Setelah itu, aku gak mau lagi."
"Setuju!" seru Alsid girang.
Dengan enggan, Demian keluar dari kosan. Di luar, ia menyusuri gang-gang kecil perumahan, matanya menyisir warga yang sekiranya bisa dijadikan target. Puas berkeliling hingga kakinya pegal, Demian pun terhenti.
Ia melihat seorang ibu yang sedang menggendong anak balitanya yang terus rewel. Anak itu menangis dan memegangi perutnya. Demian menghampiri dengan sopan.
"Permisi, Bu. Maaf ganggu sebentar." Ibu itu menatap Demian. "Anaknya kenapa ya?"
"Gak tau, akhir-akhir ini nangis mulu setiap sore selepas mandi. Jadi parno sendiri, sering liat ke atas juga matanya. Takut banget kalau ada yang gangguin, tapi gak kasat mata." Ibu ini kepayahan menenangkan tangis anaknya. "Kira-kira ada orang pinter yang bisa bantu gak ya? Butuh banget, tapi gak tau nyarinya dimana."
Binggo!! Pucuk di cinta ulam pun tiba. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Demian langsung memasang aksinya.
"Oh, kayaknya saya tau deh, bu. Kalau gak salah.. Disekitar sini ada pengobatan alternatif. Kalau mau, ibu bisa coba berobat ke sana. Dekat sini kok. Gratis katanya, lagi promo." ujar Demian dengan penuh keraguan, dan rasa malu dalam hati. Sekarang ia menjadi pendusta tengik.
Si ibu menatapnya dengan wajah lelah. "Serius? Gratis?"
"Iya, Bu. Cuma minum air putih yang dibacain doa. Nggak pake obat."
Wanita itu terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Ya udah, saya coba aja. Siapa tau cocok."
Demian mengantar ibu itu ke kosan. Saat sampai di sana, Demian mengambil alih dan membuka pintu. Ketika pintu terbuka,
Krieeet...
Alsid sudah duduk di ruang tengah dengan pose dukun penuh wibawa. Turban mengkilat di kepala, dan gayung air di sampingnya. Demi apapun Demian ingin tertawa melihatnya.
"Silakan duduk, Bu..." katanya dengan suara berat dan dramatis. "Apa keluhan anak Ibu?"
Demian memutuskan untuk menonton dari jauh. Ia tak mau ikut campur lebih dari ini. Atau bisa di bilang, ia tak sanggup menonton wajah Alsid dari dekat, takut kalau ia sampai tertawa dan pengobatan gagal.
Sesi pengobatan berlangsung konyol. Alsid menanyakan keluhan si Ibu dan membacakan doa dengan suara pelan, lalu meniupkan udara ke air, ciprat sedikit ke anak itu, lalu memberikan sisanya untuk diminum. Ia juga mengusapkan air ke kening si anak, dengan gerakan yang terlalu dramatis seperti aktor teater.
Disamping itu, ia juga menggosokkan sesuatu ke perut sang anak, lalu berpura-pura menarik sesuatu dari sana.
Anehnya... anak itu berhenti menangis. Diam. Bahkan tertidur di pelukan ibunya.
"Astaghfirullah... dia tidur. Baru kali ini bisa tenang," gumam sang ibu.
"Alhamdulillah, Bu. Itu artinya doa kita diterima," jawab Alsid, masih dengan gaya Ki Sid-nya.
"Terus anak saya kenapa, Ki Sid?"
Alsid mengusap dagunya seolah ia punya jenggot gaib. "Dia di ganggu makhluk halus berbadan hitam tinggi. Makhluk itu mengikat kakinya dan menekan perutnya. Alhasil dia merasakan sakit yang gak bisa kita liat meskin di bawa ke rumah sakit."
Ibu itu mengangguk setuju. "Pantas aja udah di gosok minyak telon masih rewel juga, ternyata ada yang nekan perutnya, toh."
"Ya, tapi sekarang sudah aman. Dan saya pastikan dia gak akan rewel lagi."
Si ibu mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ia lalu mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memaksa Alsid menerimanya.
"Nggak usah, Bu. Ini gratis... Tapi kalau Ibu ikhlas, saya juga ikhlas," katanya dengan senyum sok bijak, namun matanya jelalatan ke arah uang.
Setelah si ibu pergi, Demian menatap Alsid yang kini tergeletak di lantai sambil mencium uang itu.
"Gue bilang juga apa, Dem. Ini... ladang emas."
"Itu tadi kebetulan atau gimana? Kok anaknya langsung diam?"
"Itu ada trik khusunya. Yang penting... testimoni pertama kita berhasil."
"Trik khusus? Trik apaan emangnya?"
Alsid tersenyum misterius.
Bersambung...
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita
semangat terus KA rimaaa, penasaran banget kelanjutan nyaa.