Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Yang Terkunci
Lyra selalu percaya bahwa dunia tidak pernah adil. Ia lahir di bagian kota yang bahkan tidak ada di peta bangsawan—lorong sempit yang tidak pernah dibersihkan, di mana bau kencing dan asap arang bercampur jadi satu, dan setiap anak tumbuh lebih cepat karena lapar selalu mendesak.
Ia dulu bekerja di istana, sekadar pembawa air. Itu pun hanya karena ibunya memohon pada pengawas dapur. Tapi suatu hari, ketika ia menjatuhkan kendi di aula besar dan membasahi sepatu emas salah seorang bangsawan, ia diusir tanpa belas kasihan. Sejak itu, hidupnya hanyalah serangkaian malam panjang tanpa makanan.
Malam ini berbeda. Ia melihat sesuatu—sesuatu yang bahkan bangsawan di menara emas mungkin belum sepenuhnya pahami.
Pedang biru. Anak Hale. Bayangan yang terbakar habis.
Dan yang lebih penting: tatapan rakyat kota yang berubah dari syukur menjadi ngeri dalam sekejap.
---
Lyra duduk di atap reyot rumah tua, menatap jalan di bawah yang masih berasap. Orang-orang sibuk membersihkan sisa kebakaran. Mereka menyumpahi bayangan, tapi lebih banyak yang menyumpahi api biru yang hampir membunuh mereka.
Bisikan muncul di kepalanya. Kalau kau ceritakan ini pada bangsawan, mereka akan memberimu emas. Makanan. Tempat tidur hangat. Kau tak perlu kelaparan lagi.
Tangannya meraba saku, menggenggam sepotong roti basi yang ia rebut tadi pagi. Perutnya masih melilit. Tawaran itu terasa terlalu manis untuk ditolak.
Tapi kemudian ia teringat wajah Edrick. Bukan ketika ia mengangkat pedang dengan marah, melainkan saat ia menunduk setelah menyadari api biru melukai rakyatnya. Wajah bersalah itu nyata. Tidak seperti wajah bangsawan yang ia layani dulu, yang hanya tahu tertawa sambil meminum anggur merah.
---
Ketika ia termenung, langkah kaki terdengar di atap lain. Lyra terkejut, hampir jatuh.
Seorang pria bertudung hitam muncul dari kabut. Gerakannya halus, nyaris tanpa suara. Ia bukan rakyat jelata biasa.
“Gadis kecil,” katanya, suaranya serak tapi tajam. “Kau melihat sesuatu malam ini.”
Lyra mundur, jantungnya berdegup kencang. “Si… siapa kau?”
Pria itu mengangkat wajahnya sedikit. Wajah tirus dengan mata setajam belati. Ia memperkenalkan diri dengan satu kata. “Corvane.”
Nama itu membuat Lyra membeku. Ia pernah mendengar pelayan dapur berbisik tentang keluarga Corvane—bangsawan yang terkenal karena kekejaman dan permainan intrik mereka.
Corvane tersenyum tipis. “Aku tahu apa yang kau lihat. Obor biru. Anak Hale. Pedang terlarang. Katakan padaku detailnya, dan kau akan diberi imbalan yang lebih dari sekadar remah roti.”
Lyra terdiam. Kesempatan emas ada di hadapannya. Tapi bersamaan dengan itu, bayangan wajah Edrick muncul lagi di benaknya.
---
Lyra menggenggam roti basinya lebih erat. “Kalau aku menolak?”
Sorot mata Corvane dingin. “Maka kau akan menjadi saksi yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.”
Bayangan bergerak di belakangnya, seolah dua makhluk kegelapan menunggu perintah. Bulu kuduk Lyra berdiri.
Ia tahu hanya ada dua pilihan: menjual rahasia Edrick demi hidup nyaman… atau diam dan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Dan untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, mulutnya menjawab dengan suara bergetar tapi tegas.
“Aku tidak tahu apa-apa.”
---
Corvane memicingkan mata, lalu memberi isyarat. Bayangan di belakangnya melompat maju.
Lyra berlari sekuat tenaga di atap reyot, loncat ke jalan sempit, lalu masuk ke lorong gelap. Nafasnya membakar paru-paru, tapi ia tidak berhenti. Di belakang, langkah bayangan berdesis, mendekat setiap detik.
Ia menabrak tong, melompati pagar kayu, nyaris terjatuh ke genangan lumpur. Jantungnya berdentam begitu keras hingga telinganya berdenging.
Akhirnya, ketika ia hampir terpojok di gang buntu, sebuah cahaya biru tiba-tiba menyambar. Bayangan yang mengejarnya menjerit, terbakar habis.
Lyra menoleh, dan melihat Edrick berdiri di ujung lorong, Ashenlight di tangannya, napasnya berat. Selene dan Darius menyusul dari belakang, siap bertarung.
“Gadis ini siapa?” tanya Darius tajam.
Lyra terhuyung, lalu jatuh berlutut. “Mereka… mereka tahu tentangmu. Aku… aku mencoba menutup mulut, tapi mereka tahu.”
---
Edrick menatapnya dengan alis berkerut. “Siapa yang tahu?”
Lyra mengangkat wajahnya, air mata bercampur keringat. “Corvane. Bangsawan itu. Ia ingin aku menjual rahasiamu. Aku menolak. Sekarang mereka mengejarku.”
Darius mengumpat kasar. “Corvane… tentu saja. Mereka tidak akan tinggal diam. Anak Hale dengan pedang terlarang? Itu mimpi buruk bagi kursi mereka.”
Selene membantu Lyra berdiri. “Kalau kau benar-benar menolak, maka rahasiamu sekarang sama dengan rahasia kami. Kau tidak bisa kembali. Pilihannya hanya dua: ikut kami… atau mati di jalan.”
Lyra gemetar, tapi matanya menyala dengan sesuatu yang baru. Keputusan itu berat, tapi lebih baik daripada menyerahkan dirinya pada Corvane.
“Aku ikut.”
---
Malam itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota bawah, mereka berempat duduk bersama. Darius menajamkan kapaknya, Selene membersihkan belatinya, Edrick mengamati Ashenlight yang kini tenang, dan Lyra meringkuk di sudut, masih mencoba memahami apa yang ia lakukan.
Edrick akhirnya bicara. “Kalau kau ikut, kau akan menjadi bagian dari sesuatu yang tidak bisa kau bayangkan. Bayangan tidak akan berhenti. Bangsawan tidak akan berhenti. Dan kita mungkin tidak akan hidup lama.”
Lyra menatapnya balik, suaranya lirih tapi jelas. “Aku sudah tidak hidup lama sejak lama. Setidaknya… kali ini aku memilih di sisi mana aku berdiri.”
Edrick mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa api biru di pedangnya tidak hanya menuntut, tapi juga memberi: memberi sekutu baru, memberi alasan untuk bertarung.
Dan jauh di istana emas, Lady Corvane menerima laporan dari bawahannya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah, hanya senyum tipis.
“Anak itu menolak. Ia memilih Hale. Sempurna. Itu berarti kita bisa menggunakannya nanti. Tidak ada pion yang lebih berharga daripada yang mengira dirinya bebas.”