"Karena sudah terlanjur. Bagaimana jika menambah bumbu di atas omong kosong itu?"
Asha menatap Abiyan, mencoba mengulik maksud dari lawan bicaranya. Kedua mata Asha bertemu dengan milik Abiyan, ada sirat semangat yang tergambar di sana.
"Menikahlah denganku, Ash!"
Asha seorang wanita yang hidup sebatang kara menginginkan pernikahan yang bahagia demi mewujudkan mimpinya membangun keluarganya sendiri. Namun, tiga hari sebelum pernikahannya Asha diberi pilihan untuk mengganti mempelai prianya.
Abiyan dengan sukarela menawarkan diri untuk menggantikan posisi Zaky. Akankah Asha menerima ide gila itu? Ataukah ia tetap memilih Zaky dan melajutkan pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Abiyan mengangguk takut di saat Asha bahkan belum menyelesaikan tebakannya.
"Maaf sekali lagi. Aku hanya ingin membuat tidurmu nyaman."
Asha menatap tajam pada Abiyan, bola matanya hampir terlepas dari tempatnya. "Jelaskan selanjutnya!"
"I–itu aku mengompresmu dan memberimu obat ketika kamu sadar sebentar." Abiyan tergagap sedangkan Asha masih menatapnya tajam. "Hei, bukankah seharusnya kamu berterima kasih? Bukan menginterogasiku." Abiyan berkacak pinggang.
Asha tersentak, pasalnya Abiyan seperti menggertak dirinya meski nada suara Abiyan bahkan tidak naik satu oktaf pun. Asha menciut, dan membuat pria yang memakai kaos putih oversize itu merasa bersalah.
Abiyan lagi-lagi meminta maaf. Berkali-kali mengucapkan kata maaf sampai-sampai Asha menjadi tidak nyaman, wanita itu bahkan ikut serta mengucap kalimat maaf. Dan pada akhirnya kedua orang itu hanya bisa terbahak-bahak karena saling berebut perihal siapa yang salah.
Asha menyeka sudut matanya yang berair akibat terlalu lama tertawa. Tidak berselang lama ketika tawanya benar-benar berhenti, wanita itu mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang lirih.
"Tidak masalah, Ash. Kita bahkan bukan orang asing, jangan terlalu sungkan untuk hal-hal sekecil ini." Abiyan mengulas senyum. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan ke depannya?"
"Tentu saja aku butuh pekerjaan dalam waktu dekat. Aku memutuskan untuk menetap."
Abiyan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bukankah akan lebih mudah kalau kamu masuk ke perusahaan?"
Asha mendongak, menatap lawan bicaranya dengan tatapan tanpa putus. Pertanyaan Abiyan mengurai benang kusut yang saling terhubung di kepalanya. Pertanyaan sederhana yang terasa seperti sebuah sistem yang terhubung pada sumber permasalahannya.
"Itu masuk akal ... " Bibir Asha tidak banyak bergerak namun satu kalimat yang bahkan menggantung tak selesai itu mengandung arti yang dalam.
Asha baru saja tersadar jika hal yang membuatnya berpikir keras ternyata jawabannya akan semudah itu keluar dari mulut pria di depannya.
Ya, meskipun satu kekhawatirannya mendapatkan jawaban tentu saja Asha masih memiliki beberapa kekhawatiran yang terhubung. Jika akhirnya Asha masuk ke perusahaan tentu saja wanita itu harus meminta izin dari keluarga Andara dan juga pasti akan bertemu Zaky dan Rhea setiap hari. Asha rasa ia perlu menyiapkan menyalanya.
Wajah Asha terlihat berubah-ubah ekspresi. Terkadang Asha terlihat bersemangat tetapi tiba-tiba saja wajahnya mengerut. Dan seperti mengerti kekhawatiran Asha, Abiyan lagi-lagi angkat bicara.
"Aku akan membicarakan hal ini pada ayah. Mungkin beliau akan setuju jika itu kamu." Abiyan mengambil hoodie yang terlampir di punggung sofa. "Hari ini istirahatlah, jangan. lupa minum obatmu!" Tunjuk Abiyan pada obat di atas nakas.
Asha mengangguk pelan, matanya menatap Abiyan tanpa berkedip. Menatap pria yang saat itu memakai hoodie.
Apa kamu memang pria sebaik ini, Ian? Andai saja ...
Asha menggeleng-gelengkan kepalanya pelan mencoba membuang pikirannya sendiri.
"Kenapa?"
"Ah– oh, mm t–tidak. Pergilah! Aku butuh istirahat."
Abiyan mematung beberapa saat dengan tatapan menyelidik. Asha yang bungkam akhirnya membuat pria itu menyerah, ia berlalu meninggalkan penthouse tanpa mengucapkan kata-kata lagi.
Asha bernapas lega, ia pikir Abiyan akan memaksanya menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. Namun, ternyata pria itu cukup perhatian.
Keesokan harinya Asha bangun dengan tubuh yang jauh lebih sehat. Demamnya sudah menghilang sepenuhnya. Tubuhnya benar-benar terasa bugar.
Asha terlihat mematut dirinya di depan cermin begitu ia selesai berpakaian rapi. Sebelumnya Asha menerima panggilan telepon dari Abiyan jika ayahnya— Tuan Andara. Beliau mengundang Asha ke rumah untuk membahas kelanjutan Asha yang ingin bekerja di perusahaan.
Wanita yang kini memakai atasan turtleneck hitam dengan blazer putih gading juga celana pendek senada dengan blazer yang ia pakai itu terlihat ragu di depan pintu gerbang keluarga Andara. Jari telunjuknya mematung beberapa saat sebelum akhirnya Asha memberanikan diri untuk menekan tombol bel.
Pintu gerbang yang di buka lebar seolah menjadi garis start baginya. Di dalam sana Asha memiliki tantangannya sendiri. Setelah mengatur ekspresi, ia akhirnya membawa langkahnya masuk.
Rumah besar itu kini terasa begitu asing bagi Asha. Ia membuang napasnya yang berat dengan susah payah beberapa kali. Sampai seorang asisten rumah tangga datang menyambut, mempersilakan Asha masuk. Meski gugup dan malu, Asha mencoba untuk berjalan dengan percaya diri.
"Duduk Asha!"
Asha menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa empuk, bersebelahan dengan kepala keluarga Andara— Roy Andara. Hening tercipta beberapa saat di antara mereka. Asha memilin ujung blazernya untuk mengusir gugup yang sejak tadi menyerang.
Roy Andara mendehem pelan, membuat Asha yang tenggelam dalam pikirannya mendongak. Asha menatap fokus pada pria paruh baya yang tampak berwibawa meski hanya memakai pakaian rumahnya, kaos berkerah dengan tiga kancing di bagian atas.
"Jadi kapan kamu akan mulai masuk ke perusahaan?" tanya Roy memulai perbincangan.
"Jika diizinkan, sesegera mungkin."
Belum sempat jawaban Asha di tanggapi Roy, tiba-tiba saja istrinya— Katerine menyahut dari arah tangga. Wanita dengan gaun santainya itu terlihat menuruni anak tangga. Di belakangnya yang hanya berselang dua buah anak tangga itu terlihat Abiyan mengikuti langkah ibunya.
"Sudah aku duga, kemarin kamu hanya sedang marah pada Zaky. Anak nakal itu memang sudah kelewatan dan membuatmu sangat kecewa, tapi aku yakin cinta di antara kalian akan menyelesaikan semuanya."
Asha tampak bingung. Apa maksudnya? Kali terakhir ia jelas-jelas sudah menyelesaikan semuanya dengan Zaky. Apakah pada akhirnya pria itu belum mengerti? Atau pria itu belum sempat membicarakan hal itu dengan orang tuanya?
Asha terlalu banyak menebak dan bertanya-tanya dalam hati sampai-sampai wanita itu tidak menyadari keberadaan Zaky yang datang dengan pakaian olahraga yang basah oleh keringat.
"Cepat bersihkan tubuhmu! Jangan memberikan kesan burukmu lagi pada calon istrimu!" titah Katerine pada putra pertamanya.
"Calon istri?" Zaky mengangkat sebelah alisnya.
"Iya calon istrimu— Asha."
"Tidak ibu. Dia bukan calon istriku. Kami tidak akan menikah, dia sudah bersama pria lain."
Tidak hanya Katerine yang syok mendengar kalimat Zaky, semua orang yang ada ruang tamu tampak terkejut. Terlebih lagi Asha. Apa maksud Zaky? Bukan itu titik temu dari pembicaraannya dengan Zaky, terakhir kali. Dan lagi apa maksudnya dengan pria lain?
Belum selesai Asha mengelola perasaannya, Abiyan lebih dulu berbicara dengan nada tinggi. "Hentikan omong kosongmu! Seolah kamu tidak memiliki andil dari berakhirnya hubungan kalian."
Zaky terdiam, ia mematung. Itu pertemuan pertamanya lagi sejak Abiyan menghajarnya habis-habisan malam itu. Malam yang tidak ingin ia bahas dengan siapa pun terlebih Asha ada di depannya.
"Jelaskan pada ibu! Apa maksud ini semua?" Katerine menatap kedua putranya secara bergantian lalu beralih pada Asha.
Tidak ada seorang pun yang angkat bicara, sampai akhirnya Abiyan menarik tangan Asha melewati mereka semua yang masih berdiri dalam kebingungan. Mata Zaky membulat sempurna, ia tidak suka melihat Abiyan membawa pergi Asha begitu saja. Tangannya sontak menarik tangan Asha, menahannya di tempat.
"Lepaskan tangan kotormu!"