NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apa itu cinta?

Malam turun perlahan, membawa serta lelah yang mengendap di pundak Sena. Langkahnya gontai, tas selempang ditenteng seadanya saat ia menyusuri koridor apartemen. Pikirannya masih sibuk pada dokumen dan tumpukan koreksi tugas yang belum selesai, sampai matanya menangkap sosok yang bersandar di dinding dekat pintu unitnya.

Alis Sena terangkat. Jeno? batinnya. Sudut bibirnya langsung terangkat membentuk senyum tipis. Tanpa pikir panjang, ia mempercepat langkahnya.

"Jen, udah lama nunggu?" sapanya.

Jeno menoleh. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa jengkel. "Password-nya diganti? Kok nggak bilang-bilang ke aku sih, Mas?!" sungutnya, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket.

Sena terkekeh pelan, kemudian merangkul pundak adiknya. "Ayo masuk dulu, nanti Mas kasih password barunya." ujarnya sambil menjulurkan tangan ke tasnya, mengambil akses kartu untuk membuka pintu.

Beep!

Pintu terbuka dengan bunyi khas itu, dan Sena melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Jeno yang masih cemberut.

Sena meletakkan tasnya di sofa, kemudian ikut duduk, merebahkan tubuh sejenak sambil menghela napas panjang. Rasa lelah terlihat jelas dari raut wajahnya. “Kamu mau menginap di sini?” tanyanya pada Jeno yang duduk di seberang sofa.

“Nggak, Mas. Aku cuma nganterin dongkrak, kan Mas minta,” jawab Jeno sambil menyandarkan tubuhnya santai.

“Oh, iya... Lupa aku,” Sena mengangguk. “Kalau mau minum, ambil sendiri ya, Jen. Mas capek banget,” tambahnya sambil memejamkan mata sebentar.

“Nggak, aku nggak haus,” sahut Jeno cepat. “Omong-omong, kenapa password-nya diganti lagi? Karena Sasa?”

Sena membuka matanya, lalu mengangguk. “Iya. Sebenarnya sih Sasa nggak tahu password unit Mas. Tapi jaga-jaga aja. Dia kan orangnya... ya, kamu tahu sendiri. Nekat. Takut aja kalau suatu hari tiba-tiba dia tahu atau nekat masuk. Makanya, seminggu sekali Mas ganti. Nanti Mas kirim password barunya ke kamu lewat chat.”

“Gila emang si Sasa. Dia yang salah, dia juga sekarang yang sibuk ngejar-ngejar Mas. Sinting,” gerutu Jeno.

Sena hanya mengangkat bahu, ekspresinya datar. “Ya... namanya orang ngerasa bersalah. Mas sempat marah, dia mikir Mas nggak bakal maafin. Jadi ya begitu... usaha sendiri.”

“Iya sih, tapi kalau sampai sering-sering ke sini tuh udah keterlaluan, Mas. Satu-satunya cara ya Mas harus cari cewek. Biar dia sadar kalau Mas udah move on,” tukas Jeno.

Sena tersenyum singkat. “Ide bagus. Tapi masalahnya... ceweknya susah dideketin.”

Jeno langsung duduk tegak. “Loh, udah ada toh? Siapa, Mas?” tanyanya antusias. Wajahnya terlihat begitu penasaran.

Bagi Jeno, mendengar Sena menyukai seseorang adalah hal besar. Kakaknya itu bukan tipe yang mudah jatuh hati, apalagi setelah hubungan terakhirnya gagal total karena dikhianati Sasa. Sena benar-benar menutup diri—sampai muncul satu nama yang diam-diam mulai merobohkan dinding pertahanannya, Camelia.

“Siapa, Mas?! Jawab dong!” Jeno mulai tidak sabar karena Sena hanya menanggapinya dengan senyum penuh arti.

“Belum mau Mas kasih tahu sekarang. Takutnya malah nggak berhasil. Tapi nanti... kalau Mas beneran bisa dekat, pasti Mas kenalin ke Ibu,” ucap Sena percaya diri, matanya berbinar dengan harapan.

Ia yakin pada perasaannya terhadap Camelia. Meski gadis itu terlihat menjaga jarak, Sena tidak gentar. Baginya, hati bisa berubah seiring waktu. Mungkin hari ini Camelia menganggapnya hanya dosen. Tapi siapa tahu, esok gadis itu akan melihatnya dengan cara yang berbeda.

Jeno menyipitkan mata, menatap kakaknya penuh selidik. “Mas serius ya? Mas... naksir cewek?”

Sena hanya tersenyum simpul sambil menyandarkan punggung ke sofa. “Serius. Tapi, ya gitu… kayaknya harus usaha ekstra.”

“Wah gila. Seriusan, Mas? Boleh tahu nggak siapa sih ceweknya?” pancing Jeno lagi, semakin penasaran.

“Belum waktunya, Jen. Tapi Mas bisa bilang... dia beda.”

“Beda gimana?” Jeno mencondongkan tubuhnya.

“Pendiam, kalem, nggak suka keramaian. Suka baca buku, dan... Mas yakin, dia orang yang nggak bisa dibeli pakai rayuan,” ucap Sena pelan.

Jeno menaikkan alis. “Oke... kedengeran bukan tipe cewek biasa. Mahasiswa, ya?”

Sena menoleh cepat, seolah tertangkap basah. “Ehem... ya, semacam itu.”

“Mas, serius? Mahasiswa sendiri?” Jeno menatapnya tak percaya. “Astaga, Mas... Mas yakin?”

Sena tertawa. “Justru itu yang bikin Mas penasaran. Dia... ngeluarin sisi Mas yang bahkan Mas kira udah mati sejak gagal tunangan.”

Jeno terdiam sejenak. Ia tahu, Sena bukan tipe yang gampang main-main. Kalau dia jatuh hati, itu pasti serius.

“Kalau dia tahu Mas suka, menurut Mas dia bakal ilfeel nggak?” tanya Jeno.

"Mungkin. Tapi Mas nggak punya niat buat ganggu atau manfaatin posisi Mas sebagai dosen. Mas tahu batas. Kalau memang nanti perasaannya nggak bisa berkembang, Mas tahu diri.”

Jeno mengangguk, mengerti. “Ya udah, kalau gitu Mas harus gerak pelan tapi pasti. Tunjukin dulu kalau Mas bisa dipercaya. Jangan buru-buru bikin dia kabur.”

“Mas udah coba, tapi... dia kayak tembok tinggi banget. Ramah, tapi jaga jarak,” kata Sena.

“Kalau kayak gitu, mungkin dia pernah punya pengalaman nggak enak sama orang yang dia percaya. Tapi semua orang bisa luluh, Mas. Selama niatnya tulus, dia pasti akan ngerasa juga,” Jeno menyemangati.

Sena mengulas senyum. “Makasih, Jen. Mas butuh denger itu.”

“Gas terus, Mas. Tapi inget, jangan sampai Mas jadi bahan omongan satu kampus. Soalnya, ya... mahasiswa dan dosen? Paham sendiri kan.”

Sena terkekeh. “Tenang. Mas tahu resikonya. Tapi hati ini... sayangnya nggak bisa diajarin pakai teori.”

Camelia.

Nama itu seolah mengendap di relung terdalamnya, seperti mantra yang tak bisa ia patahkan. Aku mungkin bukan yang kau suka hari ini, tapi bolehkah aku berharap menjadi seseorang yang kau percaya suatu saat nanti?

......................

Sementara itu, di sudut kamarnya yang tenang, Camelia tengah duduk bersila di atas ranjang dengan laptop terbuka di depannya. Di sampingnya, buku catatan penuh coretan ide tugas dan beberapa referensi artikel masih berserakan.

Matanya menatap layar dengan sedikit kantuk, sesekali mengetik, lalu berhenti dan menghela napas. Hari ini terasa melelahkan, meski ia sendiri tak tahu pasti apa yang paling menyita tenaganya, tugas atau pikirannya sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak diatas meja samping ranjang bergetar. Layar menyala, menampilkan satu nama yang akhir-akhir ini cukup rutin hadir di hidupnya, Gray.

Camelia sempat ragu untuk mengangkat, tapi akhirnya ia menyentuh ikon hijau di layar.

"Halo?" sapanya.

"Halo, Malika. Nggak ganggu, kan?" suara Gray terdengar ceria di seberang sana.

"Nggak kok. Aku juga lagi break ngerjain tugas," jawab Camelia sambil melirik layar laptopnya yang kini menampilkan halaman kosong.

"Sudah makan?" tanya Gray.

"Sudah, kamu sendiri?"

"Baru mau pesan makan, sih. Lagi bingung mau makan apa." Gray tertawa kecil. "Omong-omong, hari ini gimana? Kegiatanmu seru?"

Camelia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata datar, "Nggak ada yang menarik."

Gray tidak membahas lebih jauh. Ia sudah terbiasa dengan sikap Camelia yang tertutup soal real life. Mereka mengenal satu sama lain lewat aplikasi dating, dan meski sudah cukup sering mengobrol, Camelia tetap menjaga jarak.

"Aku boleh tanya sesuatu, nggak?" tanya Gray kemudian.

"Boleh. Tentang apa?"

Gray terdengar menarik napas di seberang. "Menurutmu... gimana cara terbaik untuk mendekati seorang perempuan?"

Camelia mengernyit, tak menduga arah pembicaraan itu. "Kenapa kamu tanya begitu?" tanyanya penasaran.

"Ya... aku lagi dekat sama seseorang, tapi bingung. Dia... nggak pernah kasih tanda jelas. Aku tahu dia nggak sepenuhnya menjauh, tapi juga nggak benar-benar mendekat. Aku nggak tahu harus terus maju atau berhenti."

"Jadi... kamu suka sama dia?" tanya Camelia.

"Mungkin," sahut Gray cepat. "Mungkin banget. Tapi, aku juga nggak mau jadi orang yang maksa. Makanya aku nanya ke kamu, sebagai perempuan... apa yang harus aku lakukan?"

Camelia mencoba tetap netral. "Kalau aku sih... aku lebih suka seseorang yang sabar. Nggak agresif, tapi konsisten. Karena kadang, perempuan juga butuh waktu untuk percaya. Tapi ya, itu cuma pendapatku. Setiap perempuan beda."

"Aku senang kamu bilang begitu," jawab Gray. "Soalnya... dia juga kayak kamu."

"Hah? Maksudnya?" Camelia langsung duduk tegak.

"Dia tipe yang tertutup. Kayaknya juga lebih suka menyendiri. Dan... dia bikin aku penasaran."

Camelia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Semoga dia bukan aku, ya."

Gray tertawa juga. "Tenang aja, Malika. Kamu aman... setidaknya untuk sekarang."

Satu kalimat ringan, tapi berhasil membuat Camelia kembali tersenyum.

Hening sejenak, tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti keheningan nyaman antara dua orang yang mulai terbiasa satu sama lain.

"Gray," ucap Camelia.

"Hmm?"

"Kenapa kamu masih bertahan ngobrol sama aku? Maksudku... aku nggak seru. Aku bukan orang yang gampang terbuka. Aku dingin, bahkan sering menyebalkan."

"Aku nggak cari yang seru,. Aku cuma nyari yang jujur." jawab Gray.

"Dan kamu pikir aku jujur?"

"Aku tahu kamu jujur. Justru karena kamu sering nggak mau ngomong apa-apa, aku tahu kamu nggak suka basa-basi. Itu justru bikin aku nyaman."

"Thanks, Gray,"

"Untuk apa?"

"Untuk tetap tinggal. Padahal aku banyak nggak nyamannya."

"Aku tetap tinggal, karena kamu... beda."

Ada jeda lagi. Kali ini lebih panjang. Camelia melirik jam di dinding, sudah hampir tengah malam.

"Aku harus tidur, Gray."

"Oke. Malam, Malika."

"Malam, Gray."

Panggilan berakhir, tapi senyum kecil masih bertahan di bibir Camelia. Pembicaraan mereka tadi berlangsung cukup lama. Camelia tahu, ini hanya obrolan virtual yang sederhana. Tapi untuk seseorang yang terbiasa hidup dalam diam, kehadiran suara Gray di ujung telepon, nyatanya cukup membuat dunia yang sepi terasa sedikit lebih hangat.

Camelia terdiam lama usai pertanyaan Gray terlontar—tentang cinta dan rasa. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab baginya, cinta adalah sesuatu yang asing. Bukan karena tidak pernah mendengar kata itu, tapi karena ia tidak benar-benar memahami maknanya.

Sejujurnya, Camelia merasa buta terhadap cinta. Bukan karena tidak mampu merasakannya, melainkan karena hidup di tengah ruang yang sunyi dari kasih sayang. Di sekelilingnya, cinta hanya seperti konsep samar, yang lebih sering dibicarakan ketimbang diperlihatkan.

Baginya, cinta bukan tentang janji, bukan pula tentang perhatian yang datang sesaat. Ia tidak pernah melihat cinta bertahan. Tidak di rumah, tidak pula di dalam kehidupan yang ia jalani.

Maka saat seseorang bertanya tentang rasa, tentang bagaimana mencintai, Camelia hanya mampu tersenyum hambar. Ia tidak punya jawaban pasti. Yang ia tahu, cinta kadang datang seperti kabut, terlihat indah dari kejauhan, tapi begitu didekati, justru mengaburkan pandangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!