Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Sakit
Esok paginya semua orang tampak sibuk. Untuk mengurus keperluan Hanin, yang hanya seorang ibu rumah tangga memilih turun tangan sendiri. Elvan menyarankan seorang suster untuk merawat Hanin. Namun, Miranda menolaknya.
“Hani ingin mandi, Mah, beberapa hari ini hanya dikompres rasanya tidak nyaman,” pinta Hanin.
“Baiklah, Mama akan panggil Papa untuk memindahkanmu duduk di kursi roda.
Elvan yang tengah bersiap dan telah rapi dengan kemeja kerjanya ditarik Miranda untuk membantunya mengangkat Hanin. Elvan pun tak keberatan. Hanya saja setelah membantunya, dia mempertanyakan Satya.
“Di mana anak itu?” tanya Elvan.
“Mungkin di kamarnya,” jawab Miranda.
“Aku akan menemuinya.”
“Tidak perlu, Pah,” cegah Miranda. “Sebaiknya Papa pergi sarapan dan segera berangkat, atau Papa akan kesiangan.” Didorongnya Elvan sampai di ruang makan, lalu membantunya mengambil makanan.
“Mama masih harus membantu Hani, mungkin tidak bisa mengantar, Papa,” ujar Miranda yang tampak terburu-buru untuk pergi lagi.
“Jika butuh sesuatu segera hubungi Papa,” pesan Elvan.
Miranda tersenyum mengangguk lantas berlalu pergi kembali menuju kamar Hanin.
Elvan pergi bersama sopir selagi Miranda mengurus Hanin di kamarnya. Walaupun cemas dengan keadaan rumah, tapi dia tak bisa untuk mengabaikan pekerjaannya di perusahaan.
Satya telah rapi dengan seragam sekolahnya, lalu pergi untuk sarapan. Melewati kamar Hanin tampak sepi, Satya melaluinya dan melanjutkan langkahnya.
Hanin merasa cukup untuk berendam di bathub meskipun dengan satu kakinya tak tersentuh air. Dia mencoba bangun sendiri dan meraih piama handuk di samping bathub untuk dikenakannya.
“Mah, Hani sudah selesai mandi!” Teriak Hanin yang masih duduk di sisi bathub.
Miranda datang dengan kursi roda. Melihat kondisi Hanin, dirinya masih belum bisa untuk memindahkannya seorang diri.
“Mama panggil Satya terlebih dahulu.”
“Mah.”
Hanin berusaha mencegah Miranda pergi, tapi wanita itu dengan cepat sudah menghilang dibalik pintu sebelum Hanin mengatakan sesuatu.
Beberapa menit kemudian Miranda kembali lagi, kali ini bersama dengan Satya yang mengekor di belakangnya. Melihat kehadiran Satya, Hanin memalingkan wajahnya.
“Satya kau bisa bantu Mama, kan? Pindahkan Hanin duduk di kursi roda, sekalian nanti pindahkan juga ke tempat tidur!” perintah Miranda.
Satya masih terpaku di tempatnya.
“Tidak perlu, lagi pula Hanin juga nanti ingin keluar, bosan di dalam kamar terus,” sergah Hanin dengan wajah masam.
“Lalu bagaimana caranya mengganti pakaianmu, Hani. Papa sudah pergi, hanya ada Satya di sini, atau mau aku panggilkan Harsa?” bertanya Miranda tak serius, seketika membuat wajah Hanin cemberut.
Hanin tak punya pilihan lain selain menerima bantuan Satya.
“Satya kenapa diam? Bantu Mama angkat Hani!”
“Iya, Mah.”
Perkataan Miranda yang keras menyadarkan lamunan Satya. Pemuda itu menghampiri Hanin, sempat kebingungan bagaimana dia membopong tubuh Hanin karena perasaan canggung.
Hanin melingkarkan tangannya di leher Satya untuk berpegangan, dengan tanpa kesulitan Satya mengangkat tubuh Hanin, langsung membawanya keluar dari kamar mandi, setelah itu membaringkannya di tempat tidur.
Sebelumnya tak ada perasaan apa pun. Namun, situasi hati yang saling marahan membuat keduanya tidak saling bertegur sapa.
“Jika tidak ada yang lainnya Satya harus pergi sekarang, sudah kesiangan,” kata Satya.
“Baiklah, terima kasih, Satya, tapi ingat, pulang sekolah langsung pulang, mungkin mama membutuhkan bantuanmu nanti.”
“Iya, Mah. Satya berangkat dulu.” Sembari menyalami Miranda dan buru-buru pergi.
Tiba di depan pintu Satya berhenti sejenak, terdiam, lalu menoleh ke arah Hanin yang menoleh ke arah dirinya sekilas, kemudian memalingkan wajah terlihat masih marah. Satya tak berani mengatakan apa pun pada adiknya itu. Dia ingin minta maaf, tapi melihat sikap Hanin sepertinya dia harus menunda niatnya.
••
Hanin merasa jenuh seharian tiduran di kamarnya hanya bermain ponsel. Sesuatu yang membuat kesal hari itu membuat dirinya tidak bersemangat melakukan aktivitas apa pun.
Hanin merasa iri dengan Satya saat kakaknya pergi ke sekolah tanpa dirinya. Hanin berpikir kenapa Satya tetap berangkat sekolah dan bukan menemani dirinya yang sedang sakit. Meskipun terdengar egois, tapi itulah yang dipikirkan Hanin ketika melihat Satya pergi. Hanin juga teringat perkataan teman-teman yang datang menjenguknya di rumah sakit mengatakan kalau ketua Geng Rubah itu sering mendekati Satya saat dirinya di rumah sakit.
Hanin beranjak duduk dan ingin bangun. Dia berusaha menggerakkan kakinya. Namun, terasa sangat sakit sampai kedua matanya berkaca-kaca. Hanin sedih merasakan dirinya yang tak berdaya. Hanya menggerakkan satu kakinya saja dia tak mampu.
Miranda datang dan bergegas mendekat ketika melihat Hanin berusaha bangun.
“Kamu mau ke mana, Hani? Istirahat saja kakimu belum sembuh.” Miranda mengingatkan.
Hanin tak menjawab. Miranda menyadari kesedihan di wajah putrinya.
“Sabar ya, keadaan ini pasti sulit bagimu, tapi mama yakin kamu anak yang kuat dan pasti bisa melewati semua ini.” Sembari menggenggam tangan Hanin berusaha menghiburnya. “Memang kamu ingin ke mana? Mau ke kamar mandi?” lanjutnya bertanya.
Hanin menggeleng.
“Hani ingin keluar, Mah, bosan seharian di kamar, tapi kaki Hani masih sakit saat digerakkan.”
“Papa belum pulang, rumah hanya ada mama, bibi dan Pak Harsa. Kamu mau aku memanggil mereka?”
“Tidak usah, Mah, biar Hani coba sendiri.”
Hanin meminta Miranda untuk mendekatkan kursi roda. Dengan menahan rasa sakit dan dibantu Miranda, Hanin meletakkan satu kakinya yang sehat ke arah kursi dan menarik satu kakinya yang sakit. Hanin benar-benar berjuang menahan sakitnya demi bisa duduk di kursi roda. Andai saja ada Elvan atau Satya tentu mereka tidak akan membiarkan dirinya kesulitan apa lagi kesakitan. Namun, Hanin berpikir tidak ingin selalu bergantung dengan mereka, dia harus berusaha sendiri.
Setelah berusaha dan usah payah dengan bantuan Miranda yang sabar, Hanin akhirnya bisa duduk di kursi roda. Dia meminta Miranda mengantarnya menuju halaman belakang.
Hanin duduk di kursi roda dengan majalah di pangkuannya. Menghirup udara luar sembari memandang jernihnya kolam renang membuat pikirannya terasa lebih jernih. Sesekali dia menggerakkan kursi roda berkeliling mengitari taman.
‘Rasanya segar bisa berenang di siang hari seperti ini, tapi kapan aku bisa berenang lagi?’
Hanin memejamkan matanya menahan keinginan yang mustahil itu. Menahan kekecewaan saat sadar dirinya tak mampu. Hanin ingin menyingkirkan harapan kosong itu. Namun, bayangan dirinya berenang bersama Satya justru muncul di benaknya. Saling kejar-kejaran, menciprat dengan air dan berenang hingga mereka merasa bosan. Kegiatan yang sangat menyenangkan saat hari libur sekolah maupun di hari tak ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Hanin sampai tersenyum sendiri saat itu, ketika dia merasakan sepasang tangan menutup kedua matanya dari belakang membuatnya kaget. Menyadari aroma parfum yang familier itu Hanin merasakan hatinya membuncah bahagia.