NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Khitbah Resmi, Tangan yang Terjaga

​​Hari itu, suasana di rumahku terasa sakral namun elegan. Semua dekorasi yang diurus oleh tim Gus Ammar Fikri terlihat mewah dan minimalis, tanpa mengurangi nuansa Islami yang kental. Sofa-sofa beludru tersusun rapi, dihiasi dengan bunga-bunga putih dan baby's breath.

​Aku, Indira, mengenakan kebaya modern berwarna dusty rose yang lembut. Wajahku dirias natural. Aku merasa tegang, bukan karena akan bertunangan, tetapi karena aku akan segera berhadapan dengan calon suamiku di depan dua keluarga besar, yang berarti level Audit dan Kontrak Komunikasi akan naik drastis.

​Di sudut ruangan, Neli dan Imel sudah hadir, tampak memesona dengan gaun mereka. Mereka mendekatiku sebelum acara dimulai.

​"Ya ampun, Ra! Lo cantik banget!" bisik Neli, matanya berkaca-kaca.

​"Indira, lo benar-benar pantas dapat yang terbaik," kata Imel. "Gue tahu ini bukan romansa yang lo impikan, tapi ini ketenangan yang lo butuhkan. Kita di sini buat lo."

​"Terima kasih, Guys," balasku tulus. Kehadiran mereka memberiku sedikit keberanian.

​Kehadiran Keluarga Gus Ammar

​Tepat pukul sebelas siang, rombongan dari pihak laki-laki tiba. Mereka tidak datang menggunakan mobil mewah biasa, tetapi menggunakan van hitam berukuran besar yang dikawal oleh beberapa bodyguard Ammar, sebuah pertunjukan keamanan yang profesional.

​Di barisan depan, berjalanlah Kyai Hasan, ayah Ammar, yang berwibawa dan bersahaja, dan di sampingnya adalah Umi Khadijah, ibunya, seorang wanita anggun dengan senyum hangat. Dan di tengah mereka, ada Gus Ammar Fikri.

​Ammar mengenakan kemeja berwarna senada denganku, dengan peci hitam yang menambah ketampanannya. Ia terlihat gorgeous, tetapi tetap memancarkan aura seorang CEO yang sedang menyelesaikan sebuah kesepakatan penting.

​Setelah sambutan pembukaan dari Ayah Bimo, Kyai Hasan menyampaikan maksud kedatangan mereka—yakni meng khitbah ku secara resmi.

​"Bapak Bimo, kami datang bukan hanya untuk meminta Indira menjadi menantu kami, melainkan untuk menjadikan Indira bagian dari amanah besar kami. Kami melihat dalam diri putri Bapak, ada Garis Batas Keyakinan yang kuat, yang kami yakini akan menjadi pondasi bagi masa depan Ammar," ujar Kyai Hasan, suaranya lembut namun penuh makna.

​Setelah khitbah diterima, tibalah momen pemasangan cincin. Ini adalah bagian yang paling sensitif, mengingat Ammar dan aku belum menjadi mahram.

​Pertama, Umi Khadijah, dengan senyum keibuan, maju ke arahku. Dengan hati-hati, Umi memasangkan cincin pertunangan ke jari manisku.

​"Nak Indira, ini bukan sekadar cincin. Ini adalah amanah dan janji untuk menjaga dirimu hingga hari pernikahan tiba," bisik Umi Khadijah sambil memelukku erat. Pelukan itu terasa hangat, berbeda dengan semua interaksiku dengan Ammar.

​Selanjutnya, giliran Ayah Bimo dan Bunda Fatma yang akan memasang cincin untuk Ammar.

​Saat Ammar maju, ia menatapku sejenak. Pandangan itu tidak memancarkan gairah, tetapi komitmen. Tepat sebelum Bunda memasangkan cincin di jari Ammar, Ammar memberikan sebuah sinyal kepada asistennya.

​Seorang asisten Ammar maju membawa sebuah buket bunga yang sangat besar. Bukan buket mawar merah, melainkan buket bunga tulip putih yang elegan dan sangat mahal.

​Ammar mengambil buket itu, berdiri di hadapanku, dan mengulurkannya.

​"Saudari Indira," katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. "Ini adalah lambang dari Kepastian dan Kejelasan yang saya tawarkan. Bunga ini tidak memiliki duri, seperti niat saya yang ingin menjadikan masa depan Anda lurus. Saya harap Anda menyukainya."

​Itu adalah kata-kata terpanjang yang Ammar ucapkan di luar konteks bisnis dan audit. Di tengah semua keseriusan dan kekakuannya, ia menemukan cara yang formal dan terukur untuk menunjukkan bahwa ia menghargai ku. Aku tersenyum. Sisi romantisnya memang sehalus tulip putih.

​Bunda Fatma maju dan memasangkan cincin di jari Ammar. Momen itu disaksikan oleh semua tamu, menjamin bahwa ikatan ini sudah sah dan dilihat oleh banyak mmata

​Acara inti selesai, dan para tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Semua berjalan sesuai rencana.

​Namun, di penghujung acara, ketika Ayah Bimo hendak menutup sambutan, Gus Ammar Fikri meminta izin untuk berbicara sekali lagi di depan podium.

​Aku merasakan firasat tidak enak. Ammar tidak pernah melakukan sesuatu di luar flowchart tanpa alasan yang sangat kuat.

​Ammar berdiri di podium, posturnya tegak, matanya menyapu seluruh ruangan.

​"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," sapanya. "Saya berterima kasih atas kehadiran seluruh keluarga. Hari ini, kami telah resmi bertunangan, dan ini adalah langkah besar bagi kami berdua."

​Ammar jeda, menatap lurus ke arah Ayah Bimo, dan kemudian ke arahku.

​"Sebelumnya, kami memiliki kesepakatan bahwa pernikahan akan dilaksanakan setelah Saudari Indira menyelesaikan pendidikannya. Namun," kata Ammar, suaranya berubah menjadi sangat tegas, seperti ia sedang membuat pengumuman merger perusahaan.

​"Setelah saya mempertimbangkan laporan variable emosi dalam dua minggu terakhir, dan melihat potensi risiko yang masih ada dari pihak ketiga, saya memutuskan untuk merevisi Rencana Pernikahan Jangka Pendek ini."

​Seluruh ruangan mendadak hening. Ayah Bimo menatap Ammar dengan kening berkerut. Aku sendiri merasa jantungku turun ke perut.

​"Saya telah berdiskusi dengan Ayah saya, Kyai Hasan, dan kami telah menyepakati bahwa Pernikahan akan kami laksanakan dalam waktu dua bulan ke depan, segera setelah Saudari Indira menyelesaikan ujian tengah semesternya. Kami tidak akan menunggu Saudari Indira lulus."

​Aku terkesiap. "Dua bulan? Itu sama sekali bukan yang disepakati! Itu melanggar semua Rencana Jangka Panjang yang telah disusun Ayah dan Ammar sendiri." batin ku.

​Ammar melihat keterkejutanku dan keterkejutan Ayah. Ia kemudian menjelaskan keputusannya dengan tenang.

​"Alasan keputusan ini bersifat strategis," kata Ammar, beralih ke terminologi bisnis yang hanya ia kuasai. "Pertama, Risiko Operasional. Membiarkan seorang wanita yang sudah terikat secara emosional menghadapi lingkungan yang berisiko sendirian selama dua tahun adalah tindakan manajemen risiko yang buruk. Lebih cepat diikat secara halal, lebih cepat stabilitas tercapai."

​"Kedua, Fokus Pendidikan. Daripada membiarkan Saudari Indira terpecah antara fokus kuliah dan tekanan taaruf yang panjang, lebih baik fokusnya disatukan dalam bingkai pernikahan. Beliau bisa menyelesaikan kuliahnya sebagai istri yang sah, dengan dukungan penuh dari saya."

​Ammar mengakhiri penjelasannya dengan menatapku. "Saya melakukan ini bukan untuk memaksakan kehendak, tetapi untuk melindungi Garis Batas Keyakinan Saudari Indira. Saya tidak ingin lagi ada variabel yang mengganggu ikatan ini. Saya harap keputusan ini dapat dimaklumi dan diterima dengan baik oleh keluarga besar."

​Ayah Bimo, yang awalnya terlihat kaget, menghela napas. Dia tahu, Ammar selalu bergerak dengan logika yang kuat. Menikah lebih cepat berarti komitmen Ammar semakin pasti, dan risiko Revan semakin nol.

​"Baik, Ammar. Jika itu yang terbaik untuk anak saya, kami menerima keputusanmu," kata Ayah Bimo, mengangguk pasrah.

​Aku duduk membeku di kursi. Dua bulan. Aku akan menikah dalam dua bulan. Rencana Ammar, sang Manajer Risiko, telah berubah dari audit ke akuisisi total.

​Aku menatap cincin yang melingkari jariku. Ini bukan hanya janji, ini adalah Kontrak Komitmen Mutlak yang harus kumasuki secepat mungkin.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!