Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUJUH : SI GONDRONG
Suara itu sudah familiar di telinga Mandala sehingga membuatnya terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya menoleh.
“Bapak mau makan bakso juga?” Nada pertanyaan Gita terdengar begitu santai, mengesankan bahwa dia sudah akrab dengan pria yang tak lain adalah Rais.
Padahal, Rais sangat tegas jika berhadapan dengan para pekerja. Tak ada nada halus, apalagi senyum hangat. Sungguh berbeda dengan kali ini.
Mandala tak berani menghampiri Gita. Dia mengeluarkan sejumlah uang sebagai pembayaran untuk dua pesanan tadi. “Berikan pada gadis yang memakai cardigan hijau,” pesannya, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu tanpa sepengetahuan Gita, berhubung tengah asyik berbincang dengan Rais.
Beberapa saat kemudian, Gita merasa heran. Dia yang awalnya fokus kepada Rais, menoleh ke arah sang penjual yang menghampirinya dengan membawa dua mangkuk pesanan.
“Sudah dibayar, Mbak,” ucap sang penjual ramah.
Gita terdiam dengan tatapan aneh. Dia melihat sekeliling, tapi tak menemukan Mandala di sekitar sana. Raut wajahnya seketika berubah resah. Namun, gadis itu tidak mengatakan apa pun.
“Siapa yang berbaik hati membayar pesanan ini?” tanya Rais dengan nada bercanda.
Gita memaksakan diri tersenyum. “Sudah kubayar tadi di awal, Pak,” jawabnya bohong. Entah mengapa, Gita tidak berani mengakui bahwa dia datang ke sana dengan Mandala. Pesanan mie ayam yang dinikmati Rais pun seharusnya milik pria itu.
"Bagaimana kamu tahu saya akan kemari?" tanya Rais penasaran.
Gita hanya menanggapi dengan senyuman.
Tak meninggalkan kesan indah. Malam itu, Gita justru ditemani oleh Rais. Padahal, dia sudah membayangkan kebersamaan dengan Mandala, yang justru pergi tanpa pamit.
Berbeda dengan Gita yang tengah menikmati semangkuk bakso dengan Rais. Mandala memilih pulang seorang diri. Sepanjang jalan, pria berjaket jeans belel tersebut memikirkan ucapan Arun kemarin malam.
“Apakah benar Gita ada hubungan istimewa dengan Pak Rais?” pikir Mandala sambil terus melangkah.
......................
Kesibukan terlihat di area proyek. Tak hanya para pekerja, tetapi juga Rais yang biasanya hanya memantau secara berkala.
Menurut kabar, sang pemilik apartemen yang tengah digarap akan datang meninjau pembangunan, sekadar memastikan sudah berapa persen yang telah diselesaikan. Apakah sesuai target atau justru sebaliknya.
Mobil truk double cabin hitam keluaran Eropa memasuki area proyek, beberapa saat menjelang jam istirahat makan siang. Seorang pria keluar dari kendaraan mahal itu dan langsung disambut oleh Rais serta Herman.
Tanpa diperintah, Herman segera menyodorkan topi proyek kepada pria yang tak lain adalah Wira Zaki Ismawan, pemilik salah satu perusahaan properti ternama di Indonesia.
“Selamat siang, Pak Wira. Bagaimana kabar Anda?” sapa Rais sopan, seraya menyalami Wira, sedangkan Herman hanya mengangguk.
“Selamat siang, Pak Rais,” balas Wira penuh wibawa. Pria dengan kemeja putih lengan tiga per empat itu melihat sekeliling, sebelum memusatkan perhatian pada bangunan puluhan lantai yang belum sepenuhnya selesai.
“Kami senang Anda bisa datang kemari. Kebetulan, kami baru menyelesaikan pengecoran lantai tiga,” terang Rais.
“Pengecoran lantai tiga?” ulang Wira. Meski manggut-manggut, tapi raut wajahnya menyiratkan hal lain yang seolah bertentangan. “Terakhir saya meninjau kemari, pengerjaan sudah pada tahap pengecoran lantai pertama. Apakah selambat itu pekerjaan tim Anda?”
Rais berdehem pelan. “Kami benar-benar minta maaf. Ada beberapa kendala di lapangan. Tapi, saya usahakan bisa selesai tepat waktu sesuai dengan yang Anda inginkan.”
Wira kembali manggut-manggut. “Bagaimana dengan pemasangan instalasi listrik bawah tanah?” tanyanya, seraya mengalihkan perhatian kepada Rais.
“Sempat ada keterlambatan, Pak. Itu karena kendala di suplai kabel dari vendor. Tapi, tim kami sudah berkoordinasi dan dipastikan minggu depan terpasang,” jelas Rais yakin.
“Apakah itu berpengaruh pada yang lain?” tanya Wira serius.
“Tidak, Pak. Itu tidak akan berpengaruh pada jadwal utama. Semua masih sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan.”
Wira terdiam sejenak, seraya menatap kembali bangunan apartemen yang sudah berdiri, tapi belum berbentuk seperti yang ada dalam rancangan.
“Baiklah,” ucap Wira, setelah terdiam sejenak. “Tolong pastikan keramik dan cat yang akan digunakan. Saya ingin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan,” pesannya.
“Siap, Pak. Itu sudah masuk dalam catatan kami.”
“Ya, sudah. Sejauh ini, saya cukup puas dengan hasil kerja tim Anda. Untuk ke depannya ….” Wira tak sempat melanjutkan kalimatnya, berhubung mendengar suara ribut dari dalam area pembangunan.
“Ada apa itu?” tanya Wira penasaran.
“Cepat periksa,” titah Rais pada Herman.
“Ada yang jatuh, Pak!” seru salah seorang pekerja dengan panik, seraya berlari menghampiri Rais.
“Siapa?”
“Irwan, Pak. Dia terjatuh dari lantai dua.”
Rais dan Herman bergegas memeriksa. Begitu juga Wira, yang penasaran dengan kondisi pekerja tersebut.
Irwan, pria muda dengan rentang usia sekitar 23 tahun. Tubuhnya terkapar di tanah berpasir. Tak bergerak, tapi dipastikan masih bernyawa karena detak jantungnya terdeteksi, meskipun cukup lemah.
“Bagaimana dia bisa jatuh?” tanya Wira. “Apakah Anda tidak menerapkan standar keselamatan dengan benar?” Pertanyaan itu jelas ditujukan kepada Rais selaku mandor.
“Kami sudah menerapkan standar keselamatan dengan benar, Pak. Bisa saja ini karena kecerobohan,” bantah Rais.”Segera panggilkan tim medis!” titahnya pada Herman, yang hanya mematung memperhatikan kondisi Irwan.
“A-i-iya, Pak.” Herman sedikit kelabakan. Dia mengeluarkan telepon khusus yang biasa digunakan untuk urusan pekerjaan, lalu menghubungi tim medis.
“Ambulans proyek akan segera kemari, Pak,” lapor Herman, setelah selesai melakukan perintah Rais. Sekali lagi, dipandanginya sosok Irwan yang tak bergerak.
“Pastikan dia mendapat perawatan yang semestinya,” pesan Wira serius.
“Tentu, Pak. Kami bertanggung jawab penuh atas keselamatan para pekerja.”
“Selain itu, segera lakukan investigasi. Jangan sampai hal seperti ini terulang lagi.”
“Siap, Pak.” Sebisa mungkin, Rais tetap bersikap profesional di hadapan Wira. Setelah memastikan Irwan dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, dia mengantar Wira ke dekat mobil sang pemilik apartemen itu diparkir.
“Maaf atas insiden tadi, Pak,” sesal Rais tak enak.
“Kecelakaan bisa terjadi kapan dan di mana saja. Selalu tekankan tentang safety first, meskipun sedang dikejar target.”
Rais mengangguk sebagai tanda mengerti. Bersamaan dengan itu, sirine tanda istirahat makan siang meraung kencang.
“Sudah waktunya istirahat. Kalau begitu, saya pamit dulu.” Wira menyalami Rais. Sebelum masuk ke mobil, dia sempat melihat sekeliling. Pandangan pria itu tak sengaja tertuju pada seseorang, yang duduk menyendiri sambil mengisap rokok.
Wira menatap pria yang tak lain adalah Mandala. Begitu lekat, seakan mengetahui sesuatu tentang si pemilik rambut gondrong tersebut.
“Siapa dia?” tanya Wira, tanpa menunjuk langsung ke arah Mandala.
“Si gondrong itu?” Rais balik bertanya, sekadar untuk memastikan.
“Ya.”
“Dia adalah Mandala. Baru bergabung sekitar dua minggu yang lalu.”
“Mandala?”
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua