NovelToon NovelToon
Liora: Mama Untuk Salwa

Liora: Mama Untuk Salwa

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Janda / Hamil di luar nikah / Time Travel / Reinkarnasi / CEO
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Smi 2008

Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.

Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”

Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sandal yang Hampir Putus

“Liora! Lepaskan adikmu!”

Suara berat terdengar dari belakang. Liora menoleh, sedikit mengernyit. Di sana berdiri Paman Renald, suami Tidora—lelaki empat puluhan dengan wajah lelah, kantung mata gelap, namun ketampanannya tetap memikat. Kemejanya kusut, rambutnya sedikit beruban, tapi aura wibawanya masih terasa.

“Oh… Paman,” ucap Liora menyengir, melepaskan kuncian tangannya. Bon-Bon terlepas dengan terengah, memutar lengannya yang nyeri. Tatapannya masih garang, tapi ketakutan jelas terlihat.

“Paman, lihat dia! Setan!” gerutu Bon-Bon sambil menunjuk Liora.

“Pulanglah, Bon-Bon,” perintah Renald tegas.

Anak itu menurut, menyalami pamannya dengan enggan, lalu melirik Liora dengan dendam terselip di mata. Liora hanya membalas dengan senyum remeh.

Renald menatap keduanya sebentar, kemudian membungkuk mengambil Salwa dari gendongan Salman. Begitu berada di pelukannya, gadis kecil itu menepuk pipi Renald dengan tangan mungil.

“Ama… ama…” gumamnya manja.

Senyum lembut mengembang di wajah Renald. Ia mengecup ubun-ubun Salwa hangat.

“Wah, Salwa sudah bisa bicara, ya? Pintarnya…” katanya pelan.

“Ya… ya,” sahut Salwa cepat, bangga.

Renald tertawa kecil, lalu menggelitik perut gadis itu. Tawa Salwa meledak, renyah dan jernih.

Liora diam, sedikit tersipu. Paman Renald adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih peduli padanya dan Salwa. Walau penghasilannya pas-pasan, ia kerap menyelipkan uang untuk mereka, kadang hanya dengan alasan sederhana: “uang jajan keponakan.”

Namun sejak menikah setahun lalu, Renald makin jarang pulang. Tugas sering membawanya keluar kota, dan istrinya, Tidora, bukanlah wanita mudah. Ia cemburu pada siapa pun yang mendekati suaminya, termasuk keponakannya sendiri.

Setiap kali Renald kembali, Tidora menempel seperti lintah—menuntut perhatian dan merajuk bila sang suami lama tak muncul. Bila bertemu Liora, tangisnya bisa pecah seperti anak kecil, menuduh dan menekan, padahal yang ditemuinya hanyalah keluarga sedarah.

Liora maju, mencium tangan Renald dengan kikuk dan risih. Dalam hidupnya yang dulu, jangankan tangan paman—tangan nenek pun tak pernah disentuh. Ia memang anti-sentuhan, bukan karena jijik, tapi tak terbiasa. Tubuh ini dikelilingi banyak kerabat, jadi mau tak mau harus belajar beradaptasi.

“Paman, apa kabar?” tanyanya basa-basi.

Sebelum Renald menjawab, Liora menoleh ke Salman. Anak itu masih memegang hidung yang berdarah. Liora meringis, memeriksa lukanya. Untungnya tak serius.

Ia menarik dua puluh ribu dari kantong celana dan memberikannya ke Salman. Mata anak itu langsung berbinar; rasa sakit seolah lenyap.

“Uh, Kakak cantik, terima kasih,” ucap Salman malu-malu tapi senang.

“Maaf, Bon-Bon memang agak bringas. Lain kali dia menonjokmu, balas saja,” ujar Liora ringan.

“……”

“Sekarang pulang dulu, cuci hidungmu, dan sumbat dengan kain bersih, ya?”

Salman mengangguk, menoleh ke Renald dengan senyum yang belum hilang.

“Paman, Kakak, aku pulang,” kata Salman pelan. Ia melewati Renald, kemudian berlari, membayangkan jajanan yang ingin dicoba.

Renald terlihat heran. Liora biasanya enggan disentuh. Dulu, saat ia mengusap kepala Liora, gadis itu mundur. Kini, ia mencium tangan pamannya dan memeriksa luka seorang anak.

“Paman lelah. Tumben kau datang ke lorong ini. Apa Bon-Bon bikin masalah?”

“Oh, tidak,” jawab Liora cepat. “Kami cuma… belajar sedikit teknik bela diri.”

Renald menghela napas, tak tahu harus tertawa atau khawatir.

“Aku baru saja minta uang ke Nenek,” lanjut Liora santai. “Itu loh, kiriman dari ayahku. Eh, Paman, simpan nomor ayahku, boleh aku minta?”

Renald terdiam sebentar, kemudian menyerahkan Salwa ke Liora. Ia langsung mengambilnya.

“Nomornya tak tersimpan, sudah terhapus,” jawab Renald singkat.

“Oh…” gumam Liora, langsung lesu.

“Sudah punya ponsel? Aku punya satu yang tak terpakai. Tidora akan membawakannya untukmu,” ucap Renald sambil mengeluarkan dompet hitam dan menyerahkan uang tiga ratus ribu. Matanya melirik kaki Salwa yang tak beralas. Sebelum Liora menolak, uang itu sudah berada di telapak tangannya.

“Beli baju dan sandal untuk Salwa, jangan dibakar lagi,” tambahnya.

“Dibakar?” tanya Liora penasaran.

Renald tersenyum, matanya menyiratkan ingin menjitak tempurung keponakannya.

“Kau kira aku tidak tahu semua ? Kudengar kau membakar bajumu dan juga milik anakmu. Tidora yang lihat semuanya,” jelasnya.

“Hii…” Liora meringis. Ternyata Liora asli lebih konyol dan dungu daripada keledai. Pantas saja dia cuma punya satu pakaian yang kini menempel di tubuhnya.

Renald menatap keponakannya, heran. Apakah gadis ini sudah terbentur? Mengapa wajahnya seolah tak mengingat perbuatannya sendiri?

“Nak, jika marah pada sesuatu, jangan bertindak yang merugikanmu sendiri,” ucapnya lembut.

Liora mengangguk, jengkel. orang lain yang berbuat, malah dialah yang kena. Tangannya ingin mencekik Liora asli.

Renald mengusap kepala Salwa dan Liora. Ia berdiri, menambahkan, “Paman pulang dulu. Capek. Kau pun harus pulang.”

Liora menunduk sebentar, menggendong Salwa, lalu berjalan pulang. Pamannya menunggu sebentar, memastikan mereka agak menjauh, lalu ikut berbalik untuk pulang.

“Ue... ue…” Salwa yang kini sudah bisa berjalan menepuk kaki ibunya, mengingatkan janji lama: kue.

“Iya, iya. Tapi kita beli di lorong saja, ya?” jawab Liora sambil menatap wajah kecil itu.

Ia lalu menggenggam uang di saku celananya, lalu senyum tipis muncul. “Salwa, saatnya kita memborong pasar,” katanya dengan nada menggoda, menirukan gaya orang kaya yang sedang berlagak.

Setelah keluar dari lorong neneknya dan melewati perkebunan, Liora menggendong anaknya menaiki jalan berbukit menuju rumahnya yang lumayan menanjak. Setibanya di depan pintu, ia menurunkan Salwa, mencuci kaki mungil itu, lalu bersiap untuk benar-benar pergi ke pasar.

Namun begitu hendak berangkat, matanya tertuju pada sandal yang sudah hampir putus. Ia mendecak pelan. Liora kembali turun dengan hati-hati. Untung saja tidak hujan, jadi tanah halamannya yang lumayan miring tidak licin. Setelah kakinya menginjak setapak, ia berpapasan dengan Icha—tetangga lorong yang terkenal manis di depan, pedas di belakang.

Icha tampak rapi hari itu. Gaun lebarnya mengikuti lekuk tubuh yang lumayan berisi, jilbab biru sederhana melingkar di kepala. “Eh, ibu muda, mau ke mana?” tanyanya dengan nada ramah yang setengah basa-basi.

Liora berhati-hati, tapi tetap menjaga kesopanan.

“Aku mau ke pasar, tapi singgah dulu ke warung Bu Risna. Sandalku hampir putus, semoga Bu Risna masih jual sandal jepit.”

Icha tersenyum samar, sudut bibirnya menegang seperti menahan tawa. “Aku punya sandal biasa di rumah, sederhana saja. Sebenarnya mau kuberikan, tapi aku takut... sandal murah itu nanti berakhir di kobaran api.”

Liora tersenyum. Ujung lidahnya menggosok gigi geraham—kebiasaan lama yang selalu muncul setiap kali ia menahan sesuatu. Ia kemudian menggendong Salwa dan membalas ucapan Icha,

“Biasanya, sesuatu yang diberikan tak akan berani kurosak. Apalagi bila pemberian itu datang tulus dari hati.”

1
Murni Dewita
👣
💞 NYAK ZEE 💞
nah Lo.....
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
💞 NYAK ZEE 💞
sembilan juta......
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....
Moh Rifti
😍😍😍😍😍😍
Smi: terima kasih sudah mau melirik novelku.😙
total 1 replies
Moh Rifti
lanjut
Moh Rifti
😍😍😍😍
Moh Rifti
/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Rose//Rose//Rose//Rose/
Moh Rifti
next😍
Moh Rifti
up
Moh Rifti
double upnya thor
Moh Rifti
lanjut😍😍😍
Moh Rifti
next😍
Moh Rifti
up
Moh Rifti
/Determined//Determined//Determined//Determined//Determined/
💞 NYAK ZEE 💞
ada badai di otak u ya Xavier......
badai Liora.......
💞 NYAK ZEE 💞
🤣🤣🤣🤣🤣 Salwa bapak u kena tonjok emak u.....
Smi
ayah liora kirim 5 juta sebulan, cuma nenek liora memangkasnya tampa sepengetahuan ayah dan anak itu, dengan dalih, cuma segitu saja. awalnya 2 juta, setelah salwa lahir, liora cuma dikasi 500 oleh neneknya. dan sudah terjadi bertahun tahun.
💞 NYAK ZEE 💞
itu ayah Liora kirim uang 2 JT berarti baik sama Liora, kalau 2 juta sebulan masih bisa hidup ngak sampai ngenes begitu.
kejam sekali itu nenek Darma.
ngak ada Darmanya sama cucu sendiri.
Smi
ada kok, tapi nanti dibab 20 keatas. untuk sekarang, liora masih ditempa dulu.
💞 NYAK ZEE 💞
Thor kenapa Liora ngak punya kelebihan apa2 kasihan Salwa di kasih ibu kok ngak ada kelebihan apa2, kapan kehidupan mereka jadi baik ....
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!