Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lila
Wanita itu menghela napas, sebuah suara yang terdengar terlalu tua untuk usianya. Helaan napas itu bukan sekadar embusan udara, melainkan pelepasan lelah yang telah menumpuk berlapis-lapis, dipadatkan oleh hari-hari tanpa istirahat dan malam-malam penuh cemas.
“Gilang, tolong jangan mulai,” katanya, suaranya lembut namun tegas, seperti benang sutra yang ditarik kencang. Ia mendorong kursi roda itu melewati ambang pintu, bannya berdecit pelan di lantai linoleum yang dingin.
Angkasa hanya diam di ranjangnya, menjadi penonton yang tak diundang dalam drama keluarga yang baru saja dimulai. Ia menarik selimutnya sedikit lebih tinggi, seolah kain tipis itu bisa membuatnya tak terlihat.
Wanita yang dipanggil Lila itu terlihat sangat terbiasa dengan apa yang ia lakukan, gerakannya luwes saat ia mengunci rem kursi roda dan membantu adiknya berpindah ke ranjang di sebelah Angkasa.
Namun, di balik ketegaran itu, Angkasa melihat sesuatu yang lain. Ia melihatnya di lingkaran gelap di bawah matanya yang tak bisa ditutupi riasan tipis, di cara otot-otot di rahangnya menegang sesaat sebelum ia tersenyum, dan di kelembutan yang dipaksakan dalam setiap sentuhannya pada sang adik. Ia adalah sebuah benteng yang retakan-retakannya mulai terlihat di bawah cahaya lampu neon yang kejam.
“Nggak nyaman. Spreinya kaku,” keluh Gilang, menyandarkan kepalanya ke bantal dengan enggan. Wajahnya yang pucat pasi menampakkan ekspresi bosan yang dipelajari dengan baik, seperti topeng yang ia pakai untuk menyembunyikan ketakutan. Mirip seperti yang biasa Angkasa pakai.
“Nanti juga lemas sendiri,” sahut Lila sabar, mulai menata beberapa barang bawaan di atas nakas kecil. Sebuah termos air, beberapa buku komik, dan sebuah kotak makan.
“Kakak bawain sup ayam kesukaanmu. Kakak masak sendiri lho.”
“Sup lagi? Aku bosan sup. Rasanya kayak air cucian piring,” cibir Gilang, matanya melirik sinis ke arah Angkasa. Sebuah tatapan yang menantang, seolah berkata, Lihat? Aku pasien yang buruk. Apa urusanmu?
Angkasa membuang muka, pura-pura tertarik pada selang infus di tangannya.
Lila mengikuti arah pandang adiknya dan baru menyadari kehadiran Angkasa sepenuhnya. Wajahnya yang lelah sedikit melunak, dihiasi senyum tipis yang terasa tulus.
“Maaf ya, Mas. Adik saya lagi… mode landak. Duri-durinya keluar semua.”
“Nggak apa-apa,” jawab Angkasa singkat.
“Saya Lila, dan ini Gilang,” lanjutnya, mengulurkan tangan.
Angkasa menyambut uluran tangan itu dengan ragu. Tangan Lila terasa hangat dan kuat.
“Angkasa.”
“Senang kenal, Mas Angkasa,” kata Lila. Ia kembali menoleh pada adiknya.
“Lang, sapa teman sekamarmu.”
Gilang hanya mendengus, menarik selimut hingga menutupi dagunya.
“Buat apa? Besok atau lusa juga salah satu dari kita bakal pindah. Entah ke kamar lain, atau ke kamar mayat.”
“Gilang!” Suara Lila meninggi satu oktaf, tajam seperti pecahan kaca. Kepanikan yang sesaat itu membuat topeng ketegarannya luruh.
“Jangan bicara begitu!”
“Kenapa? Itu kan kenyataannya,” balas Gilang datar.
“Kita di sini buat nunggu. Nunggu giliran. Dia juga sama.” Ia menunjuk Angkasa dengan dagunya.
Keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Suara monitor detak jantung dari koridor terdengar seperti detik jam yang menghitung mundur. Angkasa bisa merasakan tatapan Lila padanya, sebuah permohonan maaf tanpa kata. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Remaja itu benar. Di tempat ini, semua orang sedang menunggu.
Seorang perawat berseragam putih-biru masuk, memecah ketegangan.
“Permisi, atas nama Gilang, ya? Mau cek tanda vital dulu.”
Lila mundur selangkah, membiarkan rekannya bekerja, tetapi matanya tidak pernah lepas dari Gilang. Ia memperhatikan setiap angka yang muncul di layar tensimeter, setiap tarikan napas adiknya, seolah ia bisa menjaga kehidupan Gilang hanya dengan kekuatan tatapannya.
“Tensi agak rendah, ya. Nanti dokter visit jam delapan malam,” kata perawat itu ramah sebelum pamit.
Begitu pintu tertutup, Lila kembali ke sisi ranjang Gilang.
“Kamu harus makan. Sedikit aja. Biar ada tenaga, biar tensinya naik.”
“Nggak mau,” tolak Gilang, memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Gilang, Kakak mohon…” Suara Lila kini terdengar seperti bisikan yang nyaris putus. Ada nada putus asa di dalamnya yang membuat dada Angkasa terasa sesak.
“Kakak pulang aja. Aku bisa sendiri.”
“Nggak. Kakak di sini.”
“Percuma. Kakak di sini juga nggak bisa bikin jantungku jadi bener lagi, kan?”
Kalimat itu adalah sebuah pukulan telak. Angkasa melihat bahu Lila sedikit merosot, seolah beban tak kasatmata di pundaknya bertambah berat. Ia tidak menjawab. Ia hanya duduk di kursi di samping ranjang adiknya, diam membisu, menjadi penjaga yang tak berdaya.
Angkasa memejamkan mata. Dinamika di hadapannya terlalu familier. Pertarungan antara harapan yang rapuh dan kenyataan yang brutal. Ia mengingat ayahnya, bagaimana di hari-hari terakhirnya, ayahnya menolak makan, menolak bicara, seolah menyerah adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang tersisa. Dan ibunya… tidak, ia tidak akan memikirkan wanita itu lagi.
Waktu merayap pelan. Senja di luar jendela melukis langit Jakarta dengan warna oranye dan ungu yang muram. Lila tidak lagi mencoba membujuk Gilang. Mereka hanya duduk dalam kebisuan masing-masing, terpisah oleh jurang penderitaan yang tak terucapkan.
Menjelang malam, Lila akhirnya bangkit.
“Kakak pulang dulu, ya. Besok pagi, Kakak ke sini lagi.”
Gilang tidak menjawab.
Lila mencondongkan tubuh, mengecup kening adiknya yang tertutup poni lepek.
“Tidur yang nyenyak.” Ia menatap Angkasa sejenak, memberinya anggukan kecil yang sarat makna, sebuah permintaan tolong, sebuah ucapan terima kasih, sebuah pengakuan atas nasib mereka yang sama lalu pergi.
Pintu tertutup, meninggalkan Angkasa dan Gilang dalam temaram lampu tidur. Selama hampir satu jam, tidak ada suara selain deru pendingin ruangan dan dengung samar dari peralatan medis di luar. Angkasa mengira Gilang sudah tidur. Ia sendiri berbaring, menatap langit-langit, membiarkan vonis dokter berputar-putar di kepalanya. Anemia Aplastik. Transplantasi. Tidak punya keluarga.
Kemudian, ia mendengarnya.
Sebuah suara yang sangat pelan, nyaris terserap oleh keheningan. Suara isakan yang ditahan sekuat tenaga. Bahu Gilang yang memunggunginya terlihat bergetar samar di bawah selimut. Suara itu bukan tangisan keras, melainkan erangan sunyi dari jiwa yang patah, dari seorang remaja yang dipaksa memikul beban orang dewasa. Setiap isak yang tertahan itu seperti jarum yang menusuk gendang telinga Angkasa.
Di dalam isak tangis yang tertahan itu, Angkasa tidak mendengar kesedihan seorang remaja, melainkan gema dari kehampaannya sendiri, sebuah lagu sunyi yang ia kenali setiap nadanya. Nada yang sama yang sering ia senandungkan di malam-malam pertamanya di panti asuhan, saat ia menyadari janji liburan itu hanyalah kebohongan.
Angkasa memejamkan matanya lebih erat, berpura-pura tidur. Bukan urusanmu, bisik sebuah suara di kepalanya. Kamu punya monstermu sendiri untuk dihadapi.
Tapi suara tangis itu terus berlanjut, semakin putus asa. Sebuah perjuangan antara harga diri dan rasa sakit yang tak tertahankan. Angkasa tidak tahan lagi. Insting yang lebih tua dari rasa takutnya, sebuah empati yang ia kira telah lama mati, mendorongnya untuk bergerak.
Perlahan, sangat perlahan, ia memutar kepalanya di atas bantal, menghadap ke arah ranjang Gilang.
Derit pelan dari lehernya yang kaku sudah cukup. Getaran di bahu Gilang berhenti seketika. Isak tangis itu terpotong, seolah disayat pisau. Ruangan itu kembali hening, tetapi kali ini keheningannya terasa tebal dan berat, penuh dengan rasa malu dan keterkejutan.
Angkasa menahan napas. Seharusnya ia diam saja. Seharusnya ia tetap berpura-pura tidur.
Setelah keheningan yang terasa seperti selamanya, sebuah suara serak dan bergetar memecah udara dari balik selimut. Suara itu dipenuhi racun dan kerapuhan dalam takaran yang sama.
“Mau ngetawain gue?”