Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
Pagi itu, hujan turun pelan. Udara di sekitar rumah Arga dan Alya terasa lembab, menyisakan embun di dedaunan yang berkilau terkena sinar matahari. Alya berdiri di dapur, wajahnya pucat, matanya sedikit sayu. Ia baru saja menelepon Bu Norma kepala panti sosial tempatnya bekerja untuk meminta izin tidak datang hari ini.
“Maaf, Bu, Alya nggak bisa ke panti dulu. Badan Alya agak lemah, mungkin karena kehujanan kemarin,” katanya dengan suara lirih.
“Istirahatlah dulu, Nak Alya,” jawab Bu Norma lembut. “Jangan dipaksakan. Anak-anak di panti bisa dijaga relawan lain. Kamu harus jaga kesehatanmu.”
“Iya, Bu. Terima kasih.”
Telepon ditutup. Alya menarik napas panjang, lalu berjalan pelan ke meja makan. Meski tubuhnya terasa berat dan kepala berdenyut, tangannya tetap sibuk menata sarapan: nasi goreng hangat, telur dadar, dan segelas jus jeruk untuk Arga.
Ia tahu Arga tidak akan banyak bicara, seperti biasa. Tapi bagi Alya, melayani suami adalah bentuk ibadah.
Ia teringat hadits Rasulullah yang sering dikaji di pesantren dulu:
“Sebaik-baik wanita adalah yang jika engkau melihatnya, hatimu menjadi tenteram; jika engkau perintah, ia taat; dan jika engkau pergi, ia menjaga diri dan hartamu.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits itu menjadi pegangan bagi Alya untuk tetap berbuat baik, bahkan ketika suaminya seolah tak peduli.
---
Langkah kaki Arga terdengar di tangga. Suara ketukan sepatunya memecah keheningan pagi. Ia turun dengan jas kerja, wajah tampan itu tampak tenang tapi dingin seperti biasa.
Begitu sampai di ruang makan, pandangannya langsung jatuh pada Alya yang sedang menuang teh.
Arga sempat terdiam. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu.
Biasanya Alya akan menyapa dengan suara lembut, mengucap salam dan menawarkan sarapan dengan senyum. Tapi pagi ini… wajah Alya pucat, bibirnya kering, dan suaranya nyaris tidak terdengar.
“Pagi, Mas,” ucap Alya akhirnya, lirih.
“Hm,” jawab Arga datar, lalu duduk di kursi.
Alya kembali menunduk, mengambilkan sendok dan garpu. Tangannya sedikit gemetar, namun ia berusaha menyembunyikannya.
Arga memperhatikannya sekilas, matanya menyipit kecil. Ada sesuatu yang janggal, tapi egonya menahan untuk bertanya.
“Mas mau tambah sambal?” tanya Alya pelan.
“Nggak usah.”
Alya hanya mengangguk tanpa bicara.
Keheningan turun di antara mereka.
Hanya suara detik jam dan desiran hujan yang menjadi latar.
Arga makan perlahan, sesekali melirik Alya yang kini duduk di seberang meja sambil menatap piringnya sendiri.
Biasanya Alya tidak banyak bicara, tapi selalu menatap dengan tatapan lembut setiap kali Arga bersuara.
Namun kali ini, tatapan itu hilang. Yang tersisa hanyalah diam dingin yang tak bisa ia jelaskan.
Kepala Alya berdenyut lagi. Ia menunduk dalam, menekan perutnya yang mulai mual. Tapi ia tetap berusaha menampilkan wajah tenang, tidak ingin membuat suasana canggung.
---
Arga meletakkan sendoknya dengan bunyi kecil.
“Kenapa diam aja?” katanya tiba-tiba, lebih karena rasa penasaran daripada perhatian.
Alya terkejut sedikit, lalu menatapnya pelan. “Tidak apa-apa, Mas.”
“Lo sakit?”
“Sedikit pusing saja. Insya Allah nanti juga sembuh.”
“Kalau sakit, kenapa nggak istirahat aja? Nggak perlu maksa masak segala.”
Alya tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Mas. Ini sudah kewajiban Alya. Lagi pula… Alya senang menyiapkan sarapan untuk Mas.”
Arga menatapnya lama. Ada rasa aneh di dadanya mendengar jawaban itu, semacam rasa bersalah yang tidak ingin ia akui?
Ia hendak berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat. Egonya lebih kuat.
“Jangan maksa diri. gue nggak suka orang yang kerjanya setengah-setengah.”
Alya menunduk. “Iya, Mas.”
Jawaban itu sederhana, tapi ada ketenangan yang justru membuat Arga semakin gelisah.
Ia bangkit, meraih jasnya, dan bersiap pergi.
Saat melangkah ke pintu, langkahnya sempat terhenti. Ia ingin menoleh, ingin bertanya apakah Alya benar-benar baik-baik saja.
Namun lagi-lagi, gengsi menahannya.
Akhirnya ia hanya berkata pelan, tanpa menatap,
“Gue berangkat.”
Alya membalas lirih, “Hati-hati di jalan, Mas.”
---
Begitu pintu tertutup, tubuh Alya melemas.
Tangannya memegang sisi meja untuk menahan pusing yang semakin kuat. Ia berusaha berdiri, mengambil napas panjang, lalu berjalan pelan ke dapur.
Namun langkahnya goyah. Pandangannya berkunang-kunang.
Mbok Darmi yang baru keluar dari kamar kaget melihatnya.
“Ya Allah, Non! Pucet banget! Sakit, ya?”
Alya tersenyum samar. “Sedikit pusing, Mbok. Cuma masuk angin.”
“Sudah, istirahat aja dulu. Biar Mbok yang beresin dapur.”
“Tidak apa-apa, Mbok. Alya mau nyapu dikit.”
“Lha wong berdiri aja oleng, Non!” seru Mbok Darmi khawatir.
Alya tertawa kecil, menenangkan wanita tua itu. Alya memang tidak ingin dibantu beres-beres di pagi hari bahkan oleh mbok Dharmi.
Namun setelah beberapa langkah, ia akhirnya menyerah juga. Tubuhnya benar-benar lemah. Ia duduk di kursi dapur sambil memegangi dahi.
Di dalam hati, Alya berdoa pelan.
“Ya Allah, berikan kekuatan pada hamba-Mu ini. Jangan biarkan kelemahan membuat hamba lalai.”
---
Ruang rapat siang itu terasa sesak, bukan karena jumlah orang di dalamnya, tapi karena suasana yang tegang. Arga duduk di kursi ujung meja panjang, dasinya sedikit longgar, tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Di hadapannya, para manajer tengah mempresentasikan laporan bulanan, grafik, angka, dan strategi penjualan yang seharusnya menarik perhatiannya.
Namun tidak bagi Arga hari ini.
Pandangannya kosong, sesekali berpindah ke layar, lalu kembali ke arah jendela besar yang memperlihatkan langit mendung. Suara rekan kerjanya terdengar seperti gema jauh yang nyaris tak bisa ditangkap oleh pikirannya.
“Pak Arga, bagaimana menurut Anda strategi pengembangan Batavia tower ini?” suara Rendra, kepala divisi marketing, memecah lamunannya.
Arga mengerjap, matanya baru fokus setelah beberapa detik.
“Oh... ya,” ucapnya datar. Ia menegakkan duduknya, berusaha tampak serius. “Lanjutkan saja dulu rencana itu. Nanti saya evaluasi ulang sore ini.”
Rendra mengangguk, meskipun tatapan bingungnya tidak bisa disembunyikan.
Setelah itu, rapat kembali berjalan, tapi pikiran Arga malah melayang pada sosok Alya.
Pagi tadi, wajahnya terlihat sangat pucat, tapi ia tetap memaksakan diri untuk menyiapkan sarapan. Tangannya sedikit gemetar saat mengambilkan makanan untuknya, dan meski bibirnya berusaha tersenyum, ada lingkar gelap di bawah matanya.
Alya memang tidak banyak bicara sejak mereka menikah, tapi pagi ini terasa berbeda, ada jarak yang lebih sunyi, lebih dingin dari biasanya.
“Pak Arga, apakah perlu kita percepat pengiriman bahan baku untuk proyek barat?” suara Rendra kembali memanggilnya.
Arga terdiam sejenak, lalu menatap kosong pada lembar presentasi di tangannya. “Terserah. Koordinasikan saja dengan bagian logistik,” jawabnya tanpa intonasi.
Sebuah gumaman pelan terdengar dari ujung meja, beberapa orang saling pandang, tampak ragu melanjutkan pembicaraan karena aura Arga hari itu sulit didekati.
Dalam hati, Arga mengumpat pada dirinya sendiri.
Kenapa dia harus kepikiran soal itu? Alya hanya... sakit biasa, mungkin kelelahan. Tapi entah kenapa bayangan wajah pucat gadis itu terus menghantuinya, seperti ada yang mengganjal di dadanya.
Ia mengetuk-ngetuk meja lagi, kali ini lebih cepat.
“Rapat cukup sampai di sini,” katanya tiba-tiba.
Para manajer saling pandang, lalu buru-buru menutup laptop dan mengemasi dokumen. Rendra sempat ingin bertanya, tapi urung ketika melihat ekspresi dingin di wajah Arga.
Begitu ruangan kosong, Arga melepaskan napas panjang dan memijat pelipisnya.
Entah kenapa, sejak kapan, rumah yang seharusnya jadi tempat paling sepi kini justru mulai memenuhi pikirannya bahkan di tengah kesibukan kerja.
Bima yang baru masuk menatap sahabatnya heran.
“Bro, lo kayak orang bingung.”
Arga menutup berkasnya. “Nggak ada apa-apa.”
“Bohong. Dari tadi lo udah liatin HP tapi nggak buka apa-apa.”
Arga mendengus. “Lo ngamatin gue sekarang?”
“Emang siapa yang gak sadar sama perubahan lo hari ini, Ga? Makanya gak usah pura-pura gak punya hati deh, Ga. Biasanya kalau istri lo kirim pesan atau makanan aja lo pura-pura nggak peduli. Sekarang malah lo yang nunggu kabar?”
Arga menatap Bima tajam, tapi hanya diam.
Bima tertawa kecil. “Gue nggak nyalahin lo, bro. Kadang rasa peduli itu muncul pelan-pelan. Apalagi kalau dia tetap sabar kayak Alya.”
Arga memalingkan wajah, tapi hatinya bergetar.
---
Sore menjelang, hujan turun lagi.
Alya masih di rumah, duduk di sofa dengan selimut di pangkuan. Tubuhnya menggigil kecil, tapi ia tetap memaksa tersenyum ketika Mbok Darmi menyodorkan teh hangat.
“Minum ini, non. Biar anget badannya.”
“Terima kasih, Mbok.”
Ia menatap jam dinding, hampir pukul enam sore.
Biasanya ia akan menyiapkan makan malam untuk Arga.
Meski tubuhnya lemah, pikirannya masih berusaha kuat.
Namun kali ini, sebelum sempat berdiri, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Nama di layar membuat jantungnya berdebar: Mas Arga.
Pesannya singkat.
“Gak usah masak, gue beliin di luar aja.”
Alya menatap layar itu lama.
Sebuah senyum lembut muncul di wajah pucatnya.
Untuk pertama kalinya, suaminya mengirim pesan yang mengandung perhatian. Mungkin tidak banyak, tapi cukup membuat rasa syukur yang menenangkan.
“Alhamdulillah,” bisiknya. “Mungkin hatinya mulai digerakkan Allah.”
Dan di ruangan kantor yang sunyi, Arga menatap ponselnya sendiri, tanpa tahu bahwa satu pesan kecil darinya telah menjadi obat bagi hati seorang istri yang diam-diam selalu mendoakannya di setiap sujud malamnya.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣