Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Sedikit saja, aku tetap percaya padamu.
Matahari baru naik ketika berita itu mulai menyebar. Halaman depan portal bisnis dan gosip menampilkan foto yang sama, Marvin Alexander dan Anita Mudi, berdiri di balkon hotel dengan jarak terlalu dekat.
Dalam waktu singkat, foto itu jadi trending di berbagai platform. Para karyawan di Alexander Group bahkan berbisik-bisik sejak pagi, beberapa menatap layar ponsel dengan wajah tegang.
Namun ketika Nadin masuk ke kantor, meski sudah izin cuti, ia datang sebentar untuk menyerahkan dokumen kepada HRD, padahal Marvin sudah melarangnya, semua desas-desus mendadak berhenti.
Langkahnya tenang, sikapnya elegan seperti biasa. Gaun krem sederhana dan syal sutra menambah kesan lembut pada dirinya.
Di ruang lobi, dua sekretaris yang sedang membicarakan berita itu langsung menunduk dalam.
“Selamat pagi, Bu Nadin…”
“Selamat pagi,” jawabnya tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
Sesampainya di ruangannya, Marvin sudah menunggunya dengan wajah kusut.
Kemejanya terlihat kusut seperti belum disetrika rapi, dasinya longgar, dan ekspresinya jelas menunjukkan kalau dia tidak tidur semalaman.
“Nadin,” suaranya serak. “Aku bisa jelaskan...”
Nadin mengangkat tangan, menghentikannya.
“Nggak perlu dijelasin, aku tahu kamu mabuk malam itu. Dan aku juga tahu siapa yang berdiri di depan kamu, kan aku yang menjemputmu ke balkon.”
Marvin terdiam, Nadin melangkah pelan ke arahnya, menatapnya dalam.
“Kamu pikir aku percaya berita murahan yang diambil dari satu angle dan satu detik kejadian?”
“Nadin, aku tetap salah karena...”
“Karena kamu terlalu baik.”
Nada suaranya dingin tapi tenang. “Kamu nggak pernah tega nolak orang, apalagi kalau posisinya di acara publik, dan Anita tahu itu.”
Marvin tertegun, tatapan Nadin tajam, tapi ada sedikit senyum di sana.
“Aku datang tepat waktu malam itu, Marvin. Aku lihat semuanya. Aku tahu kamu nggak melakukan apa-apa.”
Kata-kata itu membuat bahu Marvin merosot lega, tapi ia masih merasa bersalah.
“Nadin … aku janji bakal hati-hati. Aku nggak mau kamu diserang gosip begini.”
Nadin menarik napas pelan, lalu menepuk dadanya lembut.
“Kalau aku harus stres tiap kali media nyebar fitnah, aku udah mati dari lama, Vin. Aku cuma minta satu hal…”
“Apa?”
“Jangan kasih kesempatan kedua buat perempuan itu.”
Kalimatnya tegas, tanpa jeda, membuat Marvin langsung mengangguk mantap.
“Enggak akan.”
Beberapa jam kemudian, kabar bahwa Nadin datang ke kantor dengan wajah tenang dan masih memakai cincin pernikahannya justru membuat rumor berbalik arah.
Netizen mulai memuji keteguhan dan kelasnya.
Sementara itu, Anita di sisi lain hanya bisa membaca semua komentar dengan rahang menegang. Ia tak menyangka, jebakan yang disusunnya justru membuat publik semakin berpihak pada Nadin.
Malam harinya, di rumah, Nadin berbaring di sofa sambil memeluk bantal kecil. Marvin duduk di lantai di depannya, menyandarkan kepala di pahanya.
“Kamu nggak marah sedikit pun?” tanya Marvin pelan.
Nadin tersenyum tipis, jari-jarinya menyusuri rambut suaminya yang lembut.
“Marah itu capek. Lagipula, aku lebih suka lihat kamu begini ... jujur, panik, dan manis kayak anak kecil.”
Marvin terkekeh lemah. “Aku nggak panik.”
“Bohong.”
Marvin menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat.
“Aku bersyukur kamu percaya sama aku.”
“Kepercayaan itu mahal, Marvin. Jangan bikin aku rugi.”
Dia berkata sambil tersenyum kecil, tapi suaranya mengandung peringatan halus.
Marvin mencium punggung tangannya pelan, penuh rasa syukur.
“Mulai besok, aku janji nggak akan kasih celah sekecil apa pun buat siapa pun nyentuh hidup kita.”
Nadin mengangguk, lalu menatap ke arah perutnya yang masih datar.
“Bagus, karena sekarang kita bukan cuma berdua lagi.”
Suasana jadi hening sesaat, tapi bukan hening yang dingin. Melainkan hangat dan penuh janji, ketenangan, dan cinta yang makin menguat setelah badai kecil itu lewat.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍