Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – Menonton Siaran Langsung
Rizky menepuk bahu Sarah, menatapnya dengan lembut.
“Tentu saja, kamu harus ingat kalau kamu itu yang terbaik. Jam tangan ini hadiah kelulusanku untukmu. Nggak ada orang lain yang lebih pantas menerimanya selain kamu.”
Mata Sarah langsung berkaca-kaca. Ia menatap Rizky dengan perasaan campur aduk, isak kecil lolos dari bibirnya. Hangat menjalari seluruh tubuhnya, seakan mendapatkan pengakuan yang selama ini ia rindukan.
Rizky hanya tersenyum tipis, lalu kembali masuk ke kelas. Dari belakang, ia tampak seolah tak terjadi apa-apa.
Jam tangan seharga lebih dari seratus juta itu bukan apa-apa baginya. Justru akan lebih menarik kalau dua sahabat bermuka dua itu pada akhirnya saling bermusuhan karena dirinya.
Dinda menatap Rizky yang baru masuk kelas, mendengus dingin, lalu memalingkan wajah.
Beberapa menit kemudian, Sarah kembali ke tempat duduknya. Ia menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah, lalu duduk di samping Dinda.
“Hei, ke mana aja kamu? Kok lama banget baliknya?” tanya Dinda dengan curiga.
“Ah… aku tadi ketemu Rizky sebentar,” jawab Sarah gugup.
“Jangan sok deket sama cowok itu lagi. Aku udah muak sama dia,” balas Dinda ketus.
Sarah menggigit bibir, lalu berkata pelan, “Tapi… menurutku, Rizky nggak seburuk itu.”
Dinda menatapnya tajam. “Nggak seburuk itu? Dia bahkan nggak bisa ngasih aku jam tangan yang aku mau.”
Sarah buru-buru meralat, “Sebenarnya jam tangan itu juga biasa aja kok. Nggak usah dipikirin lagi.”
“Tapi bukannya kamu tadi bilang bagus?” Dinda menyipitkan mata.
Sarah salah tingkah. “Eh… maksudku, jam tangan itu nggak cocok buat kamu. Harusnya ada yang lebih cocok sama gaya kamu.”
Dinda hanya mendengus. “Sudahlah. Kita abaikan aja Rizky mulai sekarang.”
Namun, dalam hatinya, Dinda kesal bukan main. Jam tangan Cartier yang sudah lama ia idamkan justru kini melingkar di pergelangan tangan Sarah.
Sementara itu, Rizky duduk tenang membaca buku. Meski kaya raya, ia sama sekali tidak berniat meninggalkan studinya. Baginya, janji Ayu Lestari jauh lebih penting: “Kalau kamu berhasil masuk universitas, aku akan jadi pacarmu.”
Sekecil apa pun peluangnya, Rizky bertekad untuk mencobanya.
Namun, saat membuka buku matematika, kepalanya langsung pening. Dua tahun ia cuek sama pelajaran, kini semua soal terasa seperti bahasa asing.
Pandangan matanya tanpa sadar melirik ke arah Ayu, yang sedang serius mengerjakan latihan soal. Rizky spontan berdiri dan berjalan ke arahnya.
Dari bangkunya, Dinda yang melihat itu salah paham. Wajahnya langsung dingin. Dia pasti mau minta maaf sama aku, batinnya.
Ia menoleh ke Sarah dan berbisik, “Jangan ikut campur kalau dia datang.”
Namun Rizky bahkan tak melirik mereka. Ia melewati bangku Dinda begitu saja, lalu berhenti di depan Ayu.
“Ayu, aku bener-bener nggak ngerti soal ini. Bisa ajarin aku?” tanyanya rendah hati.
Wajah Ayu sempat memerah, mengira Rizky hanya cari alasan untuk ngobrol dengannya. Tapi saat melihat soal di bukunya, ia langsung serius. Itu soal klasik tentang fungsi trigonometri, cukup sulit untuk ukuran anak SMA.
Ayu pun menjelaskan dengan sabar. Rizky mendengarkan penuh perhatian, berusaha menyerap tiap penjelasannya.
Dari belakang, Dinda makin kesal. Wajahnya memucat menahan amarah, tangannya mengepal erat.
“Dia malah ke Ayu…” gumamnya dengan suara bergetar.
Sarah hanya bisa mengangkat bahu. “Tapi tadi kamu sendiri yang bilang jangan bicara.”
Dinda mendesah berat. Yang membuatnya geram bukan hanya sikap Rizky, tapi juga fakta bahwa kalau Rizky benar-benar dekat dengan Ayu, maka ia akan kalah bersaing.
Sementara itu, Rizky tersenyum puas saat Ayu menyelesaikan soal.
“Kamu luar biasa. Soal susah gini bisa kamu jelasin dalam hitungan menit.”
Ayu tersenyum malu. “Aku cuma sering latihan. Kalau nanti ada yang nggak ngerti lagi, kamu boleh tanya aku kapan aja.”
“Deal. Aku pasti bakal sering nanya,” jawab Rizky mantap.
Rizky kembali ke tempat duduk dengan wajah lega, sementara Ayu diam-diam merasa bahagia. Kalau dia benar-benar berubah dan belajar sungguh-sungguh, mungkin dia masih bisa mengejar…
Sore harinya, setelah pulang sekolah dan makan malam, Rizky berbaring di kamarnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi—sebuah pesan masuk.
Itu dari Maya Sari.
[Rizky, lagi ngapain? Aku lagi siaran langsung nih. Mau gabung bareng aku nggak?]
Pesan berikutnya disertai ID live streaming miliknya.
Rizky sempat ragu. Kalau siaran malam-malam, bisa ketahuan orang tuanya. Akhirnya ia balas singkat:
[Belum bisa live malam ini.]
Namun Maya tak menyerah.
[Ayah, kalau nggak bisa live, nonton aja deh. Biar bantu naikin viewers-ku.]
Rizky menghela napas. Menonton tentu tidak ada salahnya. Ia pun masuk ke ruang live Maya.
Di layar, Maya tampil dengan gaun ketat, menari manja di depan kamera. Sepasang kaki jenjang dengan hak tinggi berkilau, pinggang ramping yang bergoyang anggun, ditambah filter kamera yang mempercantik wajahnya—semuanya membuat aura seksinya meledak.
Rizky refleks mengangkat sedikit alisnya. Ia tak menyangka Maya bisa tampil semenarik itu.
Begitu melihat nickname Rizky muncul, Maya langsung tersenyum lebar. Ia membuat bentuk hati dengan tangannya.
“Selamat datang, Rizky! Senang banget kamu mampir ke live aku…”
Maya sadar, anak SMA kaya raya yang sanggup memberikan jam tangan ratusan juta bukan orang sembarangan. Kalau saja ia bisa dekat dengan Rizky, hidupnya pasti terjamin.
Dengan suara manja, Maya bertanya, “Rizky, kamu pengen aku nari apa?”
Komentar lain bermunculan, tapi Maya mengabaikannya. Pandangannya hanya tertuju pada Rizky.
Rizky bersandar di kursi, tersenyum tipis melihat Maya yang berusaha keras menarik perhatiannya. Ia sudah terbiasa melihat tipe gadis seperti ini—cantik, pandai merayu, tapi semuanya punya tujuan.
Komentar penonton lain makin deras:
> “Maya, jangan pilih kasih dong, bacain juga komentar kami!”
“Ih, baru ada cowok ganteng langsung dilayanin.”
“Kamu makin seksi malam ini, Maya!”
Namun Maya seolah tuli. Fokusnya hanya pada Rizky.
“Kalau kamu suka, aku bisa nari apa saja buatmu,” katanya sambil mengedip manja.
Rizky menulis komentar singkat:
> [Nggak usah terlalu berlebihan, jadi diri kamu aja.]
Maya sempat kaget membaca itu, lalu tersenyum lebih anggun. “Baiklah, kalau itu maumu.” Ia lalu mengganti gaya, menampilkan sisi elegan dengan nyanyian lembut. Suaranya merdu, dan ekspresi wajahnya seolah-olah sedang menyanyi hanya untuk Rizky.
Jumlah penonton di ruang live semakin melonjak. Banyak yang menyadari kalau Maya sedang berusaha memikat seseorang yang spesial.
“Siapa sih cowok itu?”
“Kayaknya dia orang kaya, lihat aja cara Maya bersikap.”
“Wah, kalau sampai Maya beneran suka sama dia, kita semua kalah saing, bro.”
Rizky hanya tersenyum miring, tak menanggapi ocehan penonton lain. Ia tahu betul, Maya sedang mencoba mendekatinya karena status dan uang.
Setelah beberapa menit, Maya menunduk sedikit ke arah kamera dan berkata lembut, “Rizky, jangan buru-buru keluar dari live-ku ya. Aku masih mau nyanyi khusus buat kamu.”
Ia kemudian melantunkan lagu balada romantis. Cahaya lampu kamar yang remang membuat suasana makin dramatis.
Rizky sempat terdiam. Walau tahu maksud tersembunyi Maya, ia tidak bisa memungkiri bahwa penampilan gadis itu memang memikat.
Di sisi lain, Maya terus berpikir cepat. Kalau aku bisa membuat Rizky terpikat malam ini, mungkin besok-besok dia akan lebih banyak memberi hadiah virtual. Atau bahkan, siapa tahu… aku bisa benar-benar dekat dengannya.
Setelah lagu selesai, Maya tersenyum manis, lalu berkata, “Terima kasih sudah menonton, Rizky. Kamu bikin aku semangat banget malam ini.”
Rizky hanya menjawab dengan satu komentar singkat:
> [Nyanyianmu bagus. Jangan terlalu capek.]
Maya tertegun sesaat. Jawaban itu sederhana, tapi justru membuat hatinya berdebar. Seolah-olah Rizky bukan sekadar penonton yang haus hiburan, melainkan seseorang yang benar-benar memperhatikan dirinya.
Sementara itu, penonton lain semakin heboh:
> “Waduh, Maya jatuh cinta beneran nih kayaknya.”
“Kita semua jadi penonton gratis, yang diprioritaskan cuma satu orang.”
“Rizky, ayo kasih dia hadiah besar dong!”
Tapi Rizky tak tergerak. Ia menutup ponselnya begitu saja setelah beberapa menit, meninggalkan Maya dengan senyum samar yang penuh tanda tanya.