Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 TEROR LEAK Part 7
Kematian Kadek Sari bukan hanya mengguncang desa, namun juga merobek seluruh jiwa yang pernah merasakan ketenangan di sana. Wajah-wajah yang dulu penuh kehangatan kini berubah menjadi topeng ketakutan dan kebencian yang mengerikan.
Bisikan-bisikan halus di warung kopi telah berubah menjadi teriakan dalam hati, dan ketakutan yang selama ini tersembunyi di balik senyum palsu kini meluap menjadi kecurigaan yang mematikan.
Bagus, yang dulu dianggap sekedar pendatang asing, kini menjadi pusat dari semua ancaman itu. Dia bukan lagi manusia biasa, melainkan pembawa kutukan yang menusuk ke dalam nadi desa Banjaran.
Bahkan Ni Luh Pertiwi, sang nenek tua yang dihormati dan dipercaya mampu berkomunikasi dengan roh, menolak memberinya canang sari, yaitu suatu penghormatan kecil yang biasa diberikan untuk keselamatan. Dengan mata yang penuh rasa iba sekaligus takut, ia hanya menggeleng pelan, seolah menyadari bahwa bahaya yang dibawa Bagus jauh lebih besar daripada yang bisa ia tangani.
Malam itu, sesaat setelah berita kematian Kadek Sari menyebar, suasana desa berubah menjadi mencekam dan penuh teror dan bisikan yang tak terdengar oleh telinga biasa. Bagus sendiri merasakan sesuatu yang gelap dan menakutkan mulai menggerogoti jiwanya.
Saat dunia terlelap, ia terbangun dengan nafas tersengal, dada terasa seperti diremas oleh tangan-tangan tak kasat mata yang dingin dan kejam. Kamarnya yang biasanya terasa aman berubah menjadi ruang teror yang tak berujung.
Bayangan gelap membungkus setiap sudut, namun di sudut paling kelam itu, sesuatu yang jauh lebih mengerikan mulai muncul. Bau anyir darah yang belum kering dan tanah basah memenuhi kamar, meresap ke dalam setiap lubang hidungnya, mengingatkannya pada kematian yang baru saja terjadi.
Bagus mencoba berteriak, tapi suara serak itu seakan terjebak di tenggorokannya, tak mampu lepas ke dunia luar. Matanya berusaha mencari senter di samping tempat tidur, namun tangannya berat seperti ditambat oleh rantai tak terlihat.
Kengerian itu membungkusnya seperti jaring laba-laba yang semakin mengencang. Dari bayangan itu, sosok mulai terbentuk. Sosok yang lebih padat dari kegelapan sekelilingnya. Wujudnya berubah-ubah dengan cepat, semakin menakutkan setiap detiknya. Kadang ia tampak seperti wanita tinggi berambut panjang yang matanya berkilat merah menyala, kadang berubah menjadi sosok bertanduk dengan lengan-lengan berliku yang seolah bisa merenggut nyawa siapa saja yang berani mendekat.
Dari kegelapan itu, suara desisan yang tajam dan penuh kebencian memanggil namanya dengan nada menggoda dan ancaman.
"Bagus... Mai... milu..."(Bagus, ayo ikut). Suara itu bukan hanya sekedar bisikan, melainkan panggilan maut yang hendak menjeratnya.
Bagus berjuang mati-matian melawan kengerian itu. Dalam ingatannya, mantra yang pernah dia baca dari daun lontar muncul seperti cahaya kecil di tengah gelap yang mencekam. Dengan sisa tenaga terakhir, dia mendesiskan satu kata, satu perintah yang penuh tekad.
"Ngeleh!" (pergi!).
Seketika, bayangan mengerikan itu lenyap, rasa sesak di dadanya sirna, dan bau anyir itu memudar. Tubuh Bagus terlempar dari tempat tidur, terengah-engah dan basah oleh keringat dingin, seperti baru saja selamat dari kematian.
Begitu lampu lentera menyala, ruangan tampak kosong, namun tanda-tanda kengerian itu tetap meninggalkan jejak. Di lantai, tepat di tempat bayangan mengerikan itu berdiri, ada genangan lumpur berwarna kecoklatan yang mengerikan, dan jejak-jejak yang bukan berasal dari kaki manusia, melainkan cap telapak tangan terbalik yang tampak seperti simbol kutukan.
Jejak itu seperti peringatan bahwa Leak telah mencoba merenggut nyawanya secara langsung.
Keesokan paginya, wajah Bagus yang pucat dan matanya berkantung, menunjukkan betapa mengerikan trauma yang baru saja dia alami. Dengan suara yang bergetar penuh ketakutan, dia menceritakan kejadian itu kepada Marni dan Mang Dirga. Tidak ada keraguan dalam suaranya kali ini, hanya ketakutan murni yang mengakar hingga ke tulang.
Mang Dirga, dengan kening berkerut dan mata yang penuh kekhawatiran, menjelaskan bahwa serangan itu tidak sembarangan. "Balian Rawa sedang menguji pertahananmu," katanya dengan suara berat. "Dia tahu kau mulai belajar melawan. Itu membuatmu lebih berbahaya, dan lebih menarik bagi mereka."
Bagus menggigil dan berucap lirih, "Tapi aku hampir mati!" protesnya dengan suara gemetar.
Mang Dirga menatapnya dengan tajam. "Hampir mati bukan berarti kau selamat. Kau harus lebih kuat jika ingin melindungi Marni. Ketakutanmu adalah makanan mereka. Jika kau tidak menguasainya, kau tidak akan bertahan."
Kata-kata itu menusuk ke dalam jiwa Bagus, membangkitkan keberanian yang selama ini tersembunyi. Ia memandang Marni, yang meski wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya penuh keteguhan dan ketabahan yang luar biasa. Jika Marni yang hidup dalam teror ini sejak kecil bisa bertahan, maka Bagus pikir dia juga harus mampu.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan berat. Bagus menghabiskan waktu bersama Mang Dirga, mempelajari simbol-simbol pelindung yang ditorehkan dengan darah dan asap dupa, mantra-mantra dasar yang harus dihafal dengan sempurna, serta cara mengenali tanda-tanda keberadaan Leak yang licik dan mematikan.
Bagus berlatih menguatkan tubuh dan jiwanya, berhadapan langsung dengan ketakutan yang bersembunyi di sudut gelap desa. Marni pun semakin sering berada di sisinya, bukan sebagai teman biasa, tetapi sebagai partner dalam melawan teror Leak.
Mereka duduk berdua, mempelajari daun lontar yang penuh dengan tulisan kuno dan mantra pelindung, sementara pisau pusaka Tiuk, senjata sakral yang dipercaya mampu menebas roh jahat, diletakkan di antara mereka, menjadi penjaga dan saksi dari ikatan yang terus menguat.
Di malam-malam penuh kewaspadaan itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang dan bulan yang semakin membesar menuju purnama, ikatan mereka tidak hanya terbentuk dari perjuangan melawan kegelapan, tetapi juga dari sentuhan yang lebih dalam.
Sentuhan tangan yang disengaja, pandangan yang penuh pengertian dan dukungan, serta kepercayaan yang tumbuh di antara reruntuhan ketakutan yang mencoba meremukkan mereka. Bagus menemukan ketenangan dalam keteguhan hati Marni, sementara Marni mendapat kekuatan baru dari keberanian dan dukungan Bagus yang tak tergoyahkan.
Suatu malam, ketika suhu udara terasa dingin menusuk hingga ke tulang, Marni akhirnya membuka rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Suaranya bergetar, hampir seperti bisikan yang takut terdengar oleh angin malam.
"Ibuku... Namanya Ida Rengganis. Dia bukan sekedar Leak warisan biasa. Dia adalah yang terkuat di generasinya, Leak perempuan tertua dan paling berbahaya. Kakek buyutku adalah kepala desa, dan dia menikahinya untuk menyatukan kekuatan dunia manusia dengan dunia gaib. Tapi itu adalah kesepakatan yang gagal, sebuah perjanjian yang mengorbankan segalanya." cerita Marni.
Bagus mendengarkan dengan jantung yang berdegup kencang.
"Ibu mencoba melarikan diri dari takdirnya dengan menikahi ayahku, seorang petani biasa yang tidak tahu apa-apa tentang dunia Leak. Tapi darahnya terlalu kuat, terlalu beracun untuk bisa disembunyikan. Suatu malam saat bulan purnama, warisannya bangkit dan menguasainya. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa kembali ke wujud manusia. Mang Dirga bilang, jiwanya terjebak dalam wujud Leak-nya dan mengembara di hutan, meratap dalam penderitaan yang abadi." lagi, Marni bercerita.
Air mata mengalir di pipi Marni, membasahi wajahnya yang pucat. "Aku adalah satu-satunya darah yang tersisa. Darahnya mengalir dalam nadiku. Itulah sebabnya Balian Rawa menginginkanku dengan segala cara. Dengan menguasai aku, dia bisa menguasai sisa kekuatan ibuku dan menguasai desa ini untuk selamanya."
Pengakuan itu seperti potongan terakhir dari teka-teki mengerikan yang selama ini mengelilingi mereka. Semuanya menjadi jelas dalam kegelapan malam yang dingin. Konflik ini bukan hanya tentang menyelamatkan Pak Wayan dari kutukan biasa, melainkan untuk menyelamatkan jiwa Marni sendiri.
Bagus menggenggam tangan Marni erat-erat, janjinya keluar dengan suara yang penuh keyakinan dan keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku tidak akan membiarkan dia mengambilmu. Aku berjanji, kita akan melawan sampai titik darah penghabisan."
Marni memandangnya dengan mata yang biasanya penuh duka, kini berkilau dengan harapan dan sesuatu yang lebih dalam, "Dengan caramu sendiri, Mas, kau sudah menjadi lebih kuat dari Leak mana pun. Kau membuatku percaya bahwa mungkin saja kita bisa memutus rantai kutukan ini."
Malam itu, di bawah ancaman kutukan yang mengerikan dan bayangan kematian yang selalu mengintai, mereka tidak lagi menyangkal perasaan yang tumbuh di antara mereka. Sebuah pelabuhan kecil yang tenang di tengah badai kengerian yang menghantui desa mereka, sebuah penolakan terhadap teror yang mencoba memisahkan hati mereka.
Namun, keputusan terberat Marni akan segera tiba. Menyerah pada warisan kelamnya demi menyelamatkan sang ayah, atau memilih melawan kegelapan dan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa mereka sendiri.
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰