Menjadi istri kedua hanya untuk melahirkan seorang penerus tidak pernah ada dalam daftar hidup Sheana, tapi karena utang budi orang tuanya, ia terpaksa menerima kontrak pernikahan itu.
Hidup di balik layar, dengan kebebasan yang terbatas. Hingga sosok baru hadir dalam ruang sunyinya. Menciptakan skandal demi menuai kepuasan diri.
Bagaimana kehidupan Sheana berjalan setelah ini? Akankah ia bahagia dengan kubangan terlarang yang ia ciptakan? Atau justru semakin merana, karena seperti apa kata pepatah, sebaik apapun menyimpan bangkai, maka akan tercium juga.
"Tidak ada keraguan yang membuatku ingin terus jatuh padamu, sebab jiwa dan ragaku terpenjara di tempat ini. Jika bukan kamu, lantas siapa yang bisa mengisi sunyi dan senyapnya duniaku? Di sisimu, bersama hangat dan harumnya aroma tubuh, kita jatuh bersama dalam jurang yang tak tahu seberapa jauh kedalamannya." —Sheana Ludwiq
Jangan lupa follow akun ngothor yak ...
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
Tiktok @Ratu Anu👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Tanpa Persetujuan Sheana
Setelah menikah dengan Ruben, tentu saja keluarga Sheana juga mendapat bagian yang menguntungkan. Di mana Darius dijanjikan sebuah jabatan di perusahaan, sementara Aretha dan suaminya memilih untuk membangun ruko dan membuka toko elektronik.
Lalu bagaimana dengan ibu Sheana? Tanpa meminta pendapat Sheana, Aretha dan Darius menyepakati bahwa wanita paruh baya itu akan dimasukkan ke panti jompo, supaya tidak merepotkan mereka semua.
"Tuan Ruben kan bilang kalau dia juga akan membiayai pengobatan ibu, jadi kita tidak perlu pusing-pusing lagi merawatnya. Apalagi sekarang Sheana tidak ada," cetus Aretha tanpa merasa prihatin terhadap kondisi ibunya. Padahal selama ini yang paling banyak mengurus wanita itu juga Sheana. Sementara dia sibuk dengan toko online-nya yang sudah dijalankan sekitar satu tahun.
Darius membenarkan apa kata putri sulungnya. Dia telah lupa, bahwa Fadya adalah sosok yang menemaninya di kala suka dan duka. Sosok yang mendukung, menyokong semua mimpi-mimpi Darius, namun setelah tenaga dan kesehatannya terkikis, dia seakan-akan dibuang begitu saja.
"Ya sudah, nanti biar ayah urus berkas dan kirim ibu ke panti. Lagi pula setelah ayah mendapat jabatan ini, pasti ayah akan sibuk di perusahaan. Biar ibu dirawat orang-orang di sana saja," jawab Darius dengan pilihan yang mantap.
Aretha dan suaminya langsung tersenyum senang, seolah beban yang selama ini menghimpit mereka akan segera menghilang.
"Nah, begitu dong. Ayah harus sering-sering dengerin apa kata Aretha. Karena kalo Shean tahu, pasti dia nggak setuju. Maunya dia pasti ibu dirawat di rumah. Padahal kan di sana lebih lengkap fasilitasnya," balas Aretha sambil membusungkan dada. Menunjukkan pada Darius bahwa pendapatnya lah yang paling benar.
Padahal sebelumnya Ruben telah memberi pilihan untuk menghadirkan seorang dokter khusus, supaya Fadya tetap bisa dirawat di rumah secara intensif. Namun, mereka tak mau ambil pusing. Biarlah Fadya yang sakit-sakitan enyah dari hadapan mereka.
"Iya-iya, biar nanti ayah bicara dengan Tuan Ruben. Supaya ibumu cepat ditangani," ujar Darius tanpa merasa keberatan sedikit pun. Harta dan jabatan yang sudah ada di depan mata, sudah menggelapkan hati dan pikirannya.
*
*
*
Luan yang baru saja bekerja di keluarga Tares memang sudah tahu jika Sheana adalah istri kedua dari Ruben. Namun, selama dia bekerja, dia tidak pernah melihat Ruben benar-benar datang hanya untuk istrinya itu.
Lalu untuk apa sebenarnya Ruben menikah lagi? Jika Sheana hanya menjadi istri yang terabaikan. Berbanding terbalik dengan cerita-cerita yang dia dengar, jika istri kedua itu selalu disayang dan dimanjakan. Nihil, dia tidak melihat itu semua pada diri Sheana.
Karena merasa cukup penasaran, Luan pun memanggil bibinya yang kebetulan baru keluar rumah. Dia melambaikan tangan, meminta agar Batari mendekat ke pos security. Mumpung dia sedang sendiri.
"Ada apa, Lu?" tanya Batari dengan kening yang mengernyit, berpikir bahwa ada sesuatu yang serius terjadi.
"Duduklah, Bi, aku ingin tanya beberapa hal," jawab Luan sambil menepuk ruang kosong di sebelahnya. Batari langsung menurut, lalu menatap Luan dengan penuh tanda tanya.
"Kamu mau tanya apa? Sepertinya serius sekali," ujar Batari.
"Bi, apa benar Nyonya Sheana itu istri Ruben?" tanya Luan, yang membuat kening Batari kian berlipat-lipat.
"Tentu saja, apa yang mengganggu pikiranmu hah?" tanya Batari dengan suara tertahan, tak ingin pembicaraan mereka didengar oleh orang lain, apalagi si empunya nama.
"Tapi aku tidak melihat Ruben—maksudku Tuan Ruben sering pulang ke rumah ini. Dan aku juga tidak mendapati keceriaan di wajah Nyonya Sheana, sepertinya dia tertekan ya?" jelas Luan yang tak sengaja melihat gerak-gerik Sheana ketika mereka berpapasan, atau berdiri dengan jarak yang tak begitu jauh.
Batari cukup terkejut mendapati pertanyaan Luan, karena perihal hubungan Sheana dan Ruben, bukanlah sesuatu yang harus dipikirkan oleh pemuda itu. Namun, tak ada salahnya juga dia menjelaskan, supaya Luan tidak penasaran dan bertanya terus-menerus.
Akhirnya Batari pun meminta agar Luan memangkas jarak, kemudian dia berbisik. "Nyonya Sheana hanya dijadikan sebagai alat untuk melahirkan penerus keluarga Tares, khususnya anak Tuan Ruben dan Nyonya Felicia. Setelah anak itu lahir, mereka akan bercerai. Lebih singkatnya, mereka hanya menjalani pernikahan kontrak."
Mendengar itu tentu saja Luan terkejut, dia sampai langsung menjauhkan kepalanya dari sisi Batari. Karena tak menyangka jika Ruben bisa memiliki pemikiran sejauh itu, rasanya sungguh picik. Namun, selama uang berbicara, yang miskin memang tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ruben memang gila!" cibir Luan tanpa melihat sekitar, sontak Batari langsung menabok lengan Luan, takut ada yang mengadukan hal tersebut dan menjadi masalah.
"Jaga bicaramu, Lu. Lagi pula kamu tidak datang untuk hal ini, cukup selesaikan apa yang menjadi tujuanmu. Karena aku tidak bisa membantu lebih," jelas Batari seraya bangkit dari duduknya.
Luan segera menganggukkan kepalanya. Dia memang tidak boleh lupa, apa yang menjadi alasannya datang ke kota dan meninggalkan sang nenek.
"Aku tidak akan melupakannya, Bi," balas Luan.
"Bagus, kalau begitu Bibi masuk dulu. Bekerjalah dengan baik. Nanti ada saatnya kamu akan pergi ke rumah utama," ujar Batari, sosok yang menyimpan rahasia Luan, dan menjadi jembatan untuk pemuda itu masuk ke keluarga Tares.
*
*
*
Sheana berusaha meminta izin pada Ruben untuk menemui ibunya di rumah, karena selama ini dia benar-benar dikurung. Namun, pernyataan Ruben yang mengatakan ibunya ada di panti jompo membuatnya tercengang.
"Ibuku di panti jompo?" tanya Sheana dengan wajah shock, karena dia tidak tahu menahu akan hal itu.
"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Bukannya kamu sudah membicarakan hal ini dengan keluargamu?" Ruben balik bertanya, merasa heran dengan respon Sheana yang berlebihan.
Sheana menggelengkan kepala. Mendadak perasaannya berubah cemas, karena dia tak mendapat informasi apapun dari keluarganya tentang perawatan sang ibu.
"Sejak kapan, Tuan? Sejak kapan ibuku ada di sana?" tanya Sheana dengan cepat.
"Seminggu yang lalu," jawab Ruben. Karena setelah Darius bicara, dia langsung mengabulkannya.
Mulut Sheana langsung menganga. Dia benar-benar tak habis pikir dengan ayah dan sang kakak yang tak bicara apapun padanya. Padahal dia juga masih anggota keluarga, sampai kapanpun dia tetap anak Fadya dan Darius.
"Kalau begitu saya izin untuk pergi ke panti jompo hari ini. Saya ingin menemui ibu saya," pungkas Sheana.
"Tapi bagaimana dengan pemeriksaan—"
Tut ... Tut ... Tut ...
Sheana seakan tak membutuhkan persetujuan Ruben. Dia hanya bilang, supaya Ruben mengetahui ke mana dia pergi. Sontak saja hal tersebut membuat Ruben meradang, sampai meremas ponselnya yang masih dalam genggaman.
"Berani-beraninya dia mematikan panggilanku sebelum aku selesai bicara!" cetusnya dengan mata yang menungkik tak terima. Pagi itu tiba-tiba ruangan Presdir berisik oleh suara benda-benda yang berjatuhan.
Andrey yang menyaksikan itu hanya bisa menghela napas. Sejak menikah lagi, sang tuan memang lebih banyak marah-marah.
Sementara itu Sheana langsung menyambar tas dan keluar dari kamar. Dia mencari supir untuk mengantarnya, namun ternyata sang supir masih ada di kamar mandi.
Tepat pada saat itu Luan bergerak cepat. Dia mengajukan diri untuk mengantar Sheana pergi karena dia juga sudah lumayan bisa mengemudikan mobil. Ya, dia sering belajar mengendarai mobil milik pamannya di kampung.
"Nyonya, kalau Anda sedang terburu-buru, biar saya saja yang antar," ucap Luan, dan ternyata langsung mendapat anggukan dari Sheana. Wanita itu benar-benar tak peduli apa tugas Luan, yang penting dia bisa segera bertemu dengan ibunya.
"Luan!" panggil sang bibi ingin mencegah.
Namun, Sheana juga mendesaknya dengan berkata. "Cepat ambil kunci mobilnya. Tuan Ruben sudah tahu saya mau pergi ke mana." Sheana melirik ke arah Batari, dia tahu wanita itu pasti akan mengadu pada suaminya.
Akhirnya Luan mengikuti perintah Sheana dan membawa kendaraan roda empat itu meninggalkan rumah. Batari hanya bisa menghela napas, karena entah kekacauan apa yang akan terjadi.
jadi ketagihan sma yg baru kan .... wah ternyata