Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
People Pleaser
Sungguh, aku tidak mengerti bagaimana mulanya … mengapa aku menjadi manusia yang selalu mengutamakan perasaan orang lain terlebih dahulu, memastikan keadaan mereka baik-baik saja, atau khawatir membuat mereka tak nyaman, dibandingkan perasaanku sendiri.
Sulit sekali menolak permintaan orang lain, walau … yeah, aku tahu … itu merugikanku.
Mala mondar-mandir berjalan di depan Bram. Berharap Bram memujinya cantik setelah Mala menata rambut, dress well dan berlipstik walau di rumah saja. Sayangnya pujian tak kunjung datang, justru bentuk perintah ini itu yang membuat pantat Mala tak sempat menduduki kursi. Dalam pantulan sendok makan yang tengah digenggamnya, Mala berusaha sekuat tenaga mengamati apa rambutnya berantakan atau tidak. Selanjutnya dia berdecih, pantulan nihil karena hanya keburaman yang terlihat.
Bertelanjang dada, belum mandi dari pagi, padahal ini sudah jam tiga sore membuat rupa Bram tak keruan, dalam hatinya Mala juga malas berdekatan dengan Bram. Bau badannya ugh … menyengat, sampai-sampai mencemari udara area televisi berada.
Nyala AC membuatnya makin … makin parah … aromanya memutar di situ-situ saja. Kadang Mala kesal saat lewat ruangan itu, ingin menimpuk Bram dengan bantal sofa. Di tahan-tahan karena Mala tahu itu semacam intrusive thoughts saja, yaitu; semacam dorongan yang tidak diinginkan dan tiba-tiba muncul dalam pikiran.
Aku sewangi dan secantik ini, tapi dia … huft! Penampilannya hanya wangi dan rapi di luar rumah, tapi saat bersama istrinya begini … Bram selalu terkapar seperti anjing laut berkolor dengan bau keringat menyengat.
Sudah sepayah itu, aku sudah seeffort ini pun.. dia tetap tak sudi melihatku.
Sebenarnya untuk apa aku mencoba berdandan untuknya, memperbaiki diri agar dia tak mengejekku lagi atau supaya dia tidak tergoda wanita lain?
Ugh! Ini salah, sepantasnya aku bersolek untuk diri sendiri, bukan demi suami atau orang lain. Berpakaian yang nyaman untukku, bukan terpaksa mengenakan pakaian sesuai selera Bram atau orang lain.
Dua remajanya, seperti biasa menyibukkan diri di kamar. Mereka sudah tumbuh besar, sedikit sungkan jika papah mereka bertelanjang dada dan tidur-tiduran di depan televisi. Sedangkan si papah menggunakannya sebagai senjata agar dianggap wajar sering nongkrong bersama teman―yang entah pria atau wanita―di luar rumah. Karena Bram merasa terabaikan.
“Malas di rumah, nggak ada yang mau ngobrol sama aku!” seru Bram waktu itu.
“Gimana mau ngobrol kalau mukamu cemberut terus, Pah!” jawab Mala protes.
“Loh, kalian ngertiin aku dong, papahnya capek kerja, tauk!! bukan tidur-tiduran di rumah macam kalian!!
Mala mengelus dada, selalu respons begitu yang ia hadapi dari Bram. Kalau bisa teriak, rasa-rasanya Mala ingin sekali teriak di depan muka Bram.
Kamu pikir yang di rumah nggak capek??
Sayangnya, lontaran kalimat itu hanya ada di benak Mala dan tak pernah meluncur keluar.
Mala tak bisa memaksakan kedua anak remajanya untuk dekat dengan papah mereka, sejak kecil Maya dan Moya memang sudah sering ditinggal-tinggal ke luar kota. Bisa dibilang, hanya Mia yang belum mengerti dan memahami tentang segala sifat karakter papah mereka, dan memang cuma Mia yang paling dekat dengan Bram. Itu pun karena Bram begitu memanjakan Mia.
Ini bertentangan dengan cara mendidik Mala yang menginginkan anak-anak lebih mandiri. Bram selalu mengambil hati Mia ketika Mala tengah mendisiplinkannya. Alhasil Mia berasumsi, papahnya pangeran kuda putih dan mamahnya monster yang siap menerkam.
Ketika baru pulang dari menginap di luar kota, Bram membawakan Mia banyak coklat berbentuk telur yang sebetulnya sudah Mala larang untuk dikonsumsi Mia. Alasannya jelas, merusak gigi. Namun, rasa-rasanya memberitahu Bram mengenai aturan memberikan makanan manis pada Mia yang dapat membahayakan Mia sendiri … bagai membenturkan angin ke tembok—percuma, sia-sia belaka.
Ada kekhawatiran lain, Mala melihat ketidaknormalan Mia setelah mengonsumsi makanan manis yang berlebihan. Mia menjadi hiperaktif, emosi tak stabil dan mudah meledak-ledak, serta sulit tertidur di malam hari.
“Kalau banyak makan manis, Mia mudah marah Pah,” ucap Mala.
“Akh, itu sih tololnya kamu aja, nggak bisa menentramkan hati anak.”
“Kalau tidur jadi gelisah,” ucap Mala lagi.
“Kata siapa, kalau tidur sama aku dia tenang, kok!” ujar Bram mengejek.
Bukannya bisa diajak berdiskusi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh diberikan pada balitanya, Bram justru menyalahkan cara mendidik Mala yang dianggap tidak hebat seperti ibunya dulu. Membandingkan istri dan ibu tanpa merasa ini mengganggu suasana hati istri. Bram terus saja bertindak menyebalkan dengan mengabaikan pembelaan diri Mala. Tidak mau dengar, tidak mau mengerti kecuali pendapatnya sendiri.
Sampai di satu titik, Mala menyerah untuk mendebat. Lebih baik diam. Tidak ada satu pun penjelasan Mala yang masuk ke telinga Bram apalagi hinggap di otaknya untuk dicerna baik atau buruknya. Baginya yang paling benar hanyalah ibunya―setelah dirinya sendiri tentu saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...