NovelToon NovelToon
Bodyguard Om Hyper

Bodyguard Om Hyper

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Playboy / Model / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Pengawal / Bercocok tanam
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Pannery

"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"

"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."

Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.

Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.

Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panas

Mereka berdua sudah sampai rumah. Gissele duduk di depan cermin kamarnya, lampu remang menyinari wajahnya yang lelah.

Gadis itu mengusap pelan sisa make-up di pipinya dengan kapas basah, menyaksikan perlahan warna merah muda di bibirnya memudar. Tapi tetap saja… ada yang tersisa.

Bibirnya sedikit bengkak—jejak dari ciuman itu. Ciuman yang membuatnya terkejut, gugup… dan bingung.

Ia menunduk. Lagi-lagi menunduk. Wajahnya terasa panas meski ruangan begitu sepi dan dingin. Ia menghindari bayangan sendiri di cermin, seolah malu melihat pantulan dirinya yang baru saja merasakan sesuatu yang... aneh.

"Itu namanya… ciuman, ya?" Gumamnya pelan.

Pikiran itu menggantung di udara, membuat dadanya sesak. Ia menepuk pipinya sendiri pelan, mencoba mengusir lamunannya.

"Apa sih, kenapa malah mikirin itu terus," gumamnya kesal pada diri sendiri, padahal detik berikutnya, ia malah menutup mata dan mengingat aroma Federico—hangat, maskulin, lembut seperti kayu manis dan rempah.

Tangan pria itu dingin namun nyaman. Dan suara napasnya di dekat telinga…

"Astaga!" Gissele langsung berdiri dari kursinya dan berjalan ke jendela, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang kacau.

Sementara itu, di tempat lain, Federico menyandarkan tubuh di sofa, matanya menatap kosong ke langit-langit.

Tawa kecil lepas dari bibirnya. Bukan tawa bahagia, lebih seperti tawa tak percaya diri sendiri.

“Lucu, ya…” Gumamnya sambil menutup wajah dengan telapak tangan. “Kita sudah sampai sejauh ini.”

Pria itu ingat jelas. Gissele bukan tipe gadis yang mudah didekati. Bukan tipe yang akan menerima rayuan—apalagi ciuman tiba-tiba dari pria yang jauh lebih tua darinya.

"Jelas Nona juga bukan tipeku," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Federico sudah sering bersama wanita, dari yang manja sampai yang tangguh. Tapi tidak pernah… tidak ada satu pun yang membuatnya sepenasaran dan segelisah ini.

Dan yang paling menyiksa adalah... aroma gadis itu.

Wangi parfumnya. Harum rambutnya saat tertiup angin. Dan bibirnya—ah, bibir itu…

Federico memejamkan mata, menggertakkan gigi perlahan. Ia bisa merasakannya kembali rasa ciuman itu.. Lembut, hangat, masih terasa di ujung bibirnya.

“Br*ngsek…” desahnya dalam napas. “Kalau dia bukan tipeku... kenapa rasanya aku jadi gila hanya dengan memikirkannya..”

Perlahan, ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke rak minuman. Tuangannya hampir gemetar saat angan-angan itu kembali menyergap. Rasa ingin memiliki.. Rasa ingin tau lebih banyak.

Dan rasa ingin menyentuhnya lagi.

Federico sangat tidak tahan malam ini. Brak!  Pria itu segera masuk ke kamar mandi dengan kemeja yang masih ia pakai dan menyalakan shower.

Air dingin itu membasahi wajah dan tubuhnya tetapi, tidak dengan pikirannya yang panas membayangkan betapa seksinya gadis itu.

Satu-satunya gadis yang membuatnya gila sampai seperti ini. Berkali-kali, Federico menahan diri tapi karna ciuman dan kedekatan itu, malam ini sudah diambang batas.

Federico kembali turn on, ia ingat dengn jelas bagaimana wangi gadis itu dan kenyal bibir ranumnya.

"Fuck.."

Pria itu membuka sabuk dan mengurus ba tang perkasanya. Kepalanya mendongak, makin diguyur oleh derasnya shower.

Tangan bergerak naik turun dengan cekraman yang kuat. Bi birnya digigit dan berkali-kali nafas hangat keluar dengan de sah frustasi.

"Aku ingin menyentuhnya.. Merasakan bagaimana bagian diriku ada di dalamnya.."

Bayangan nakal muncul dalam pikiran Federico bagaimana ia dengan bebas mengeksplorasi gadis itu. Bagaimana suara seksi memenuhi pikirannya dan hen tak yang begitu kuat.

Hingga akhirnya selesai, Federico mengatur nafasnya dan menundukkan kepala pada dinding. Ia sedikit merasa bersalah apalagi memikirkan sahabatnya.

"Alan maafkan aku.. Ha.. Aku benar-benar tidak tahan dan sangat menginginkan putrimu."

Selesai mandi, Federico melangkah keluar hanya dengan handuk putih melilit pinggangnya.

Rambutnya yang basah meneteskan air, membasahi dada dan perutnya yang berotot. Ia mengusap wajah dengan handuk kecil, pikirannya masih belum sepenuhnya tenang walau keinginannya sudah diurus.

Namun saat ia mengangkat kepalanya, langkahnya terhenti.

Di depan pintu, berdiri seorang wanita. Seorang pembantu di rumah itu, yang dulu sempat berciuman padanya. Wanita yang tak gentar mendekati Federico untuk tidur dengannya.

Namanya Liana. Usianya tak jauh dari Federico, tapi sorot matanya selalu mengundang, selalu tajam dan penuh niat tersembunyi.

“Tuan…” ucap Liana sambil menyipitkan mata, suaranya lembut tapi licin. “Anda terlihat… tidak baik. Lelah, mungkin? Terlalu banyak menahan sesuatu, ya?”

Federico menegang. "Minggirlah," ucapnya datar, dingin, tak ada nada basa-basi dalam ucapannya.

Namun Liana tak bergerak, justru perlahan mendekat. Matanya turun naik mengamati tubuh Federico yang terbuka sebagian.

Wanita itu menjulurkan tangan, ujung jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan—seolah menantang. “Saya bisa membantu, tuan… Jika nona muda itu terus menolak Anda, saya bisa menjadi penggantinya dengan senang hati.”

Tangan itu bergerak turun, seolah mencoba menelusuri kulitnya. Nafas Liana hangat dan terlalu dekat. Tapi yang lebih panas adalah kemarahan yang muncul di dalam dada Federico.

Dengan cepat, Federico menangkap pergelangan tangan wanita itu dengan kasar.

“Saya tidak butuh bantuanmu,” ucapnya tajam. Mata pria itu menusuk, dingin dan penuh penolakan.

Liana tersentak, namun mencoba tersenyum menggoda. Tapi senyum itu tak bertahan lama.

Karna Federico melemparkan tangan wanita itu ke samping, dan tubuh Liana sedikit terhuyung, menghantam meja kecil di dekatnya.

“Pergi,” ucapnya lagi, kali ini lebih rendah dan mengandung ancaman. “Sekarang.”

Liana menunduk, mungkin malu, mungkin marah—tapi akhirnya berbalik dan melangkah pergi.

Saat pintu tertutup, Federico menghela nafas panjang. Di balik dinginnya wajah, dadanya bergejolak. Kepalanya menunduk, dan tanpa sadar, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Pikirannya… tetap pada Gissele.

Gadis itu. Satu-satunya yang berani menamparnya dengan kata-kata. Satu-satunya yang membuatnya kehilangan kendali.

Dan satu-satunya yang… ingin ia miliki sepenuhnya.

...****************...

Pagi itu rumah mulai beraktivitas seperti biasa. Aroma kopi dan roti panggang menguar dari dapur, dan sinar matahari menyusup lembut lewat tirai-tirai jendela.

Federico, sudah lebih rapi meski masih dengan t-shirt longgar dan celana santai, mengangkat sekeranjang cucian bersih menuju lantai atas.

Langkahnya terhenti di depan kamar Gissele. Ia menggedor pelan.

"Nona? Susah bangun?" Suaranya terdengar lembut, agak menggoda.

Dari balik pintu, terdengar gumaman samar. "Hmm… masuk aja," jawab Gissele dengan suara serak khas orang baru bangun.

Federico pun mendorong pintu perlahan. Kamar itu masih setengah gelap, tirai belum terbuka, dan di atas ranjang, Gissele masih terbungkus selimut tebal, duduk setengah malas dengan rambut berantakan. Wajahnya mengantuk, tapi tetap manis di mata Federico.

"Saya bawakan cucian bersih."

Gissele mengerjap, "Kok Om yang bawain? Kan ada pembantu."

"Mereka tidak kuat Nona, cuciannya sangat berat bagi mereka."

"Oh gitu.."

Federico bantu membuka tirai jendela, mempersilahkan cahaya matahari untuk masuk.

Gissele merenggangkan tubuhnya—dan tak sadar bahwa pakaian tidurnya cukup berbahaya.

Kaos tidurnya tipis dan sedikit melorot di bahu, memperlihatkan tali bra merah menyala. Kaos itu juga menerawang dan karna sinar matahari masuk, terlihat jelas lekuk pinggang Gissele dengan bra merah itu.

Celananya pendek dan pa hanya terlihat jelas. Rambut yang masih berantakan Gissele urus dan gadis itu segera mengikat rambutnya, menampilkan pose seksi dipagi hari.

Serangan apalagi ini.. 

Federico mendadak terpaku karna pemandangan menggoda itu. Tapi, ia tidak ingin kena masalah. Ia Iangsung memalingkan wajah dan mengendalikan dirinya.

Gissele merasa aneh dengan Federico yang menyembunyikan wajahnya. Gissele mengernyit. “Om kenapa lagi?”

"I-itu baju Nona.."

Gissele baru sadar, "AAK ANJIR KENAPA BARU BILANG SIH!" Gadis itu segera menutupi dirinya dengan selimut seperti kepompong. Malu sekali rasanya, wajah gadis itu membali memerah dan ingin terus menyembunyikan diri.

Federico juga jadi oleng, "Nona-"

BRUK! 

Ember cucian terjatuh karna tidak sengaja tertendang Federico. Pria itu menepuk jidatnya sembari menghela nafas, "Akan saya bereskan."

Satu-persatu pakaian mulai dimasukan kembali hingga akhirnya Federico salah fokus. Ia memegang sebuah bra hitam, lalu tangannya menyentuh bagian cup—dan baru sadar… label disana bertuliskan D.

"Cup D?"

“Heh! Apaan tuh barusan?!” Gissele

menunjukkan wajahnya dengan tatapan sinis. Federico masing dengan santai memegang bra itu dan mere masnya sedikit, seolah ingin membayangkan ukurannya.

“Taruh Om! Om ngapain pegang-pegang daleman gue!!”

Federico membalikkan badan, menutup mukanya dengan tangan. Gila lumayan juga ukurannya pas di tangan.. Federico benar-benar tidak sadar karna Gissele selalu memakai kemeja, kaus oversize, blus dan pakaian yang tidak ketat.

Bahkan saat olahraga Gissele selalu memakai bra sport yang menekan dadanya. Untuk dress kemarin juga, Federico tak bisa melihat jelas karna bagian depannya tertutup dengan baik.

“OM KELUAR SEKARANG!” Gissele berteriak keras. Jelas ia sangat malu aset berharga lainnya diketahui Federico. Ia selalu menyembunyikan ukuran fantastisnya kaena tidak ingin dile cehkan pria tapi sekarang..

Pria yang paling berbahaya mengetahui segalanya. "KELUAR OM! GUE BILANG KELUAR!!" Wajah Gissele sampai memerah karna berteriak terlalu keras.

"Iya Nona maaf-" Federico langsung keluar tapi Gissele makin naik pitam.

"IH BALIKIN DALEMAN GUE OM! KENAPA DIPEGANG TERUS SIH!"

"Oh iya," Federico baru sadar dan hampir membawanya keluar.

Setelah Federico keluar kamar, Gissele masih bersembunyi dalam selimutnya. Gissele terus menenggelamkan wajahnya.

"Hwa.. malu banget.."

...****************...

Pagi itu terasa sejuk dengan kabut tipis masih menggantung di udara. Gissele mengenakan atasan olahraga hitam dan celana legging abu-abu.

Rambutnya terikat rapi ke belakang, keringat tipis menghiasi pelipisnya saat ia melangkah pelan di taman belakang rumah.

Seperti biasa, ini waktunya jogging. Biasanya baik-baik saja tapi yang jadi masalah..

Federico berada di sampingnya, mengenakan kaus olahraga polos dan celana training.

Sejak beberapa hari yang lalu dan khususnya hari ini, Gissele enggan menatap Federico. Gadis itu sangat malu, kejadian yang beberapa kali terjadi sangat memalukan.

Gissele menepuk wajahnya lagi dan segera berlari pelan seperti biasa. Federico pun mengikutinya dari belakang memperhatikan bagaimana gadis itu berlari.

Depan mantap, belakang mantap..  Pikir Federico.

Beberapa menit berlaku, mereka berhenti sejenak di dekat pohon besar untuk istirahat.

Gissele sudah mulai tenang tapi tiba-tiba, momen itu  pecah saat sebuah suara terdengar dari arah pagar depan.

“Hei, Icel.”

Tubuh Gissele menegang seketika. Ia menoleh dan matanya membulat. Sosok yang tidak ia sangka akan muncul, kini berdiri di sana dengan santai.

Lagi-lagi Dion. Lelaki itu memang tidak punya malu untuk muncul.

Gissele berdecak kesal, "Lo ngapain lagi kesini? Gue bilang kan jangan ganggu gue lagi, Dion."

Mendengar nama itu, Federico menegang. Jadi ini yang namanya Dion.. 

Federico segera melangkah pelan ke depan, berdiri melindungi Gissele dengan tubuhnya.

“Apa maksud kedatanganmu ke sini?” Tanya Federico datar, matanya tajam.

Dion memasukkan tangannya ke saku. “Siapa lo Om tua? Gue kan yang lebih kenal Icel, gue cuman mau ngobrol doang kok. Kan kebetulan kita ketemu disini."

“Nona nggak mau ngobrol sama kamu sekarang,” jawab Federico tanpa ragu. “Kalau nggak ada urusan mendesak, pergilah.”

Gissele menggigit bibirnya. Ia tidak tau harus berkata apa. Di hadapannya, dua pria berdiri saling menatap dengan sinis. Rasanya seperti ada persaingan disini, Keduanya seperti memperebutkan Gissele.

Dion tersenyum tipis, sinis. “Om cuman pengawalnya kan? Nggak usah blagu deh..”

Federico menggeram, “Pengawal ya..”

Seketika itu, atmosfer membeku. Federico mengepal tangan sesaat lalu menarik pinggang Gissele dan..

Cup! 

Tanpa aba-aba, Federico mengecup pelan pipi gadis itu. Gissele jelas terkejut dan ia menatap Federico dengan penuh tanda tanya.

Sedangkan Federico menatap Dion dengan sombong. "Ya, sorang pengawal seperti saya juga bisa mencium Nona... kapan pun saya mau."

Nih Om-om seenaknya aja dah.. Batin Gissele dan melihat ekspresi Dion, Gissele sedikit puas.

Dion seperti orang yang kebakaran jenggot.

1
Elmi Varida
wkwkwkkkk...🤣🤣salah sasaran si Federico🤣🤣
Dyah Rahmawati
lanjuut😘
Dyah Rahmawati
giseel ...ooh giseel 😘😘😀
..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!