Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Gio terdiam, terperangah dengan semua ucapan Deva. Dia bisa merasakan emosi yang mendidih di antara mereka, namun Gio seolah belum puas dengan pertengkaran mereka. Dia terus memojokkan Deva, berharap gadis itu kembali tunduk dan mengakui perbuatannya.
"Deva, lo tahu kan bahwa iri itu bukan cuma soal fisik?" Gio mencoba mencari kesalahan adiknya, meski nada suaranya terdengar ragu.
"Tahu, terus apa masalahnya?" tantang Deva
"Sera punya sesuatu yang lo nggak punya. Dia punya banyak teman, dia bisa bikin orang lain merasa nyaman. Sedangkan lo..." Gio menatap Deva dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Lo cuma bisa menjatuhkan orang lain, lo bangga setelah berhasil menginjak harga diri orang lain. Lo antagonis, Deva."
Deva melepaskan kerah baju Gio dan mundur selangkah, napasnya terengah-engah. Dia merasa muak, namun tidak mungkin membiarkan Gio merasa menang begitu saja.
"Ya, lo benar. Karena itulah peran gue, bajingan!" jawab Deva refleks.
Gio mengernyit. "Apa maksud lo?"
"Maksud gue, lo mau bilang kalau gue jahat? Lo pikir gue nggak punya teman? Atau gue harus jadi seperti Sera supaya orang-orang suka sama gue?"
Gio menggeleng. "Gue cuma bilang, ada cara lain untuk mendapatkan perhatian orang lain, Deva. Nggak perlu dengan cara jahat dan rendahan seperti itu."
Deva tertawa sinis. "Perhatian? Apa lo pikir ini semua cuma tentang perhatian? Gue nggak mau mengakui perbuatan yang nggak pernah gue lakuin. Apa itu juga salah di mata lo, Gi?"
"Jadi lo mau terus mengelak, heh?" Gio bertanya lebih tegas. "Apa itu yang lo inginkan? Membuat hidupnya menderita hanya karena dia punya sesuatu yang lo inginkan?"
"Dia bukan siapa-siapa di mata gue! Kalau lo terus kekeh nuduh gue, jangan salahin gue kalau ucapan lo jadi nyata, Gio!" teriak Deva, wajahnya memerah akibat menahan emosi sejak tadi.
Gio merasakan getaran dalam suara Deva, seolah gadis itu sedang berusaha menahan amarahnya yang siap meledak.
"Deva, kenapa lo nggak gunain akal lo untuk berbuat baik, bukan malah menjatuhkan orang lain?"
Muak. Satu kata yang menggambarkan perasaan Deva saat ini. Dia tidak tahu mengapa mata Gio mendadak buta. Mau dia berbicara jujur hingga bibirnya robek pun, Gio tak mungkin mau menerima jawabannya.
Karena di otaknya sudah tertanam kebencian yang begitu dalam untuknya. Bahkan fakta di depan mata pun tak akan terlihat, jika hati dan pikirannya sudah disortir untuk membencinya.
Deva menatap Gio dengan penuh rasa sakit. Perasaan asli pemilik tubuh dan perasaan Deva sekarang bercampur menjadi satu, Deva tidak tahu bagaimana cara mengendalikan perasaannya sendiri.
"Lo nggak ngerti, Gio," ucapnya pelan, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. "Gue udah berusaha, tapi lo selalu melihat gue dari sudut pandang yang salah. Gue nggak pernah benar di mata lo maupun Gallen. Semua tindakan gue selalu lo anggap masalah, bahkan kelahiran gue pun lo anggap petaka."
Gio menggelengkan kepalanya, ekspresinya tak berubah. "Lo pantas mendapatkan semua itu, karena lo harusnya nggak pernah lahir! Karena kemunculan lo bukan menyelesaikan masalah, tapi menambah masalah! Kenapa lo nggak bisa sadar akan hal itu, hah?"
Deva merasakan hatinya teriris. Dia ingin berteriak, ingin menjelaskan semua yang dia rasakan bahkan dia ingin mengatakan bahwa dia juga tidak mau menjadi tokoh antagonis, namun suara hatinya seolah ditenggelamkan oleh kebencian Gio yang membara.
"Lo pikir semuanya kemauan gue? Lo pikir jadi gue gampang?" Deva menyeka air matanya yang jatuh, lalu kembali berbicara.
"Setiap kali lo nyerang gue, rasanya kayak ditusuk bola besi! lo bahkan nggak tahu kalo gue nggak menginginkan kehidupan ini, brengsek!" Deva meninggikan suara, tak lagi mampu menahan emosinya. "Gue butuh dukungan dari lo, bukan tuduhan dan hinaan yang sering lo kasih ke gue, Gi."
Gio terdiam, matanya melebar. Mungkin, untuk sesaat, dia merasakan kepedihan yang Deva rasakan.
Namun cepat-cepat dia menepisnya. "Jangan berlagak jadi korban, Deva! Lo itu pelaku."
Deva terkekeh miris. Dia tahu Gio tak mungkin memiliki rasa iba padanya, tapi hatinya tak mau menerima kenyataan itu. Bukan dirinya, tapi tubuh aslinya yang tidak bisa di ajak kompromi.
"Gue bukan pelaku, Gio. Sampai kapan lo mau nuduh gue, hah?" katanya dengan suara serak.
Gio tidak menjawab. Hening menyelimuti mereka. Para mahasiswa yang menonton pertengkaran itu hanya bisa menelan ludah, melihat wajah Deva yang tampak begitu terluka dan kecewa.
Deva menatap langit-langit gedung kampusnya, berharap bisa menemukan jawaban di antara cat yang mulai berubah warna.
Apakah semua ini hanya sebuah kesalahpahaman yang bisa diperbaiki? Atau memang jalan yang harus dia lalui seberat ini? Jika tahu peran Deva sangat melelahkan, dia tidak akan mau membeli novel sialan itu.
Gio menghela napas panjang, mengusap rambutnya dengan kasar. "Oke, gue malas berdebat sama lo. Mending sekarang lo minta maaf sama Sera!"
"Ogah! Gue nggak bakal minta maaf atas kesalahan yang nggak pernah gue buat!" sahut Deva lantang.
Kedua tangan Gio mengepal erat. "Minta maaf, Deva! Sebelum gue bertindak lebih."
"Nggak mau! Lo budek, hah? Gue bilang ogah ya ogah, siala—"
Plaak!
Wajah Deva menoleh ke samping kiri, begitu tamparan dari Gio mengenai pipinya.
Deva terdiam sejenak, terkejut dengan tindakan Gio yang tiba-tiba. Panas dari tamparan itu menjalar di pipinya, meninggalkan perih yang membuat dia tersadar kembali dari amarahnya.
Jantungnya berdegup kencang, napasnya naik-turun, dan ada rasa terhina yang menekan dadanya hingga sulit bernapas. Di kehidupan pertamanya, dia sama sekali belum pernah mendapat tamparan.
"Lo gila ya, Gio?!" teriaknya, matanya menyala penuh amarah yang nyaris membakar.
Gio mengatur napas, berusaha menahan diri meski tangannya masih bergetar. "Gue bukan gila, Deva. Tapi lo udah kelewatan. Sera itu saudara kita, dan lo tahu betapa pentingnya dia buat gue."
Kata-kata itu menusuk telinga Deva seperti pisau yang diseret pelan-pelan. Dia menggertakkan giginya, menahan sakit bukan hanya di pipi, tapi juga di hatinya.
"Dan lo pikir dengan tamparan itu gue bakal berubah pikiran?"Deva mendengus. Dia mencoba menyembunyikan rasa sakit yang belum juga reda, meski jelas terlihat dari wajahnya yang memerah.
"Cuma lo dan Gallen yang nganggep dia saudara. Gue nggak mau ngakuin dia! Mau Sera penting buat lo atau nggak, itu bukan urusan gue! Tapi kalau lo mainnya pakai kekerasan, jangan harap gue bakal diam aja."
Suara tawa Gio pecah, terdengar kasar dan menjengkelkan, seperti suara cangkang telur busuk yang diinjak. Nada tawanya membuat darah Deva semakin mendidih.
"Saat ini gue nggak peduli tentang cara. Seharusnya lo sadar kalau tindakan lo itu salah. Sera nggak pantas diperlakukan kayak gitu," jawab Gio tegas, matanya menatap tajam, seolah menembus jantung Deva.
Deva merasakan hatinya mencelos. Namun alih-alih melemah, perasaan itu berubah jadi bara. "Terus, maksud lo gue pantas ditampar kaya gini, hah?!"
Tanpa ragu, Gio mengangguk. "Pantas. Karena lo nggak bisa intropeksi di—"
Plaak!
Suara tamparan itu menggema keras, membuat beberapa mahasiswa yang menyaksikan pertengkaran mereka menahan napas. Wajah Gio menoleh ke samping. Dia terdiam sesaat, merasakan panas menjalar di pipinya.
Tangannya refleks terangkat, memegang pipi kirinya yang baru saja ditampar keras oleh Deva, meninggalkan jejak lima jari yang merah membara.
"Makan tuh cap lima jari dari gue! Lo kira ditampar nggak sakit? Gimana rasanya? Enak nggak? Atau lo mau tambah, hah?" ejek Deva, kedua sudut bibirnya terangkat dalam senyum miring penuh kebencian.
Matanya berkilat tajam, namun di dalam hatinya rasa sakit dan luka batin berteriak minta diakui. Deva tidak percaya, jika peran villainess sangat berat dan memuakan.
Jadi gini rasanya jadi villainess, ngenes banget nasib gue. Pikir Deva miris.
Gio menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Tamparan itu begitu keras, bahkan lebih mirip pukulan petarung ketimbang sekadar tamparan seorang gadis labil. Ada perasaan terhina yang merayap, bercampur dengan amarah yang membuncah.
"Di mana sopan santun lo, Deva? Apa ini yang lo dapet dari sekolah?" sindir Gio, suaranya getir, seolah berusaha menutupi rasa sakitnya dengan sinisme.
Deva terkekeh pelan, tawanya getir. "Buat ngadepin orang modelan lo, gue nggak butuh sopan santun. Lagi pula, gue belajar dari lo! Bukannya selama ini lo selalu memperlakukan gue kayak samsak, Gi?"