Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dukungan
"Ada yang mencari ku? Siapa Nggak? ", tanya Mahesa Sura segera.
Bukannya langsung menjawab, Tunggak malah celingukan kesana kemari. Begitu melihat kendi yang berisi air segar, ia langsung menyambar nya dan cepat-cepat menenggak nya hingga hampir separuh amblas masuk ke dalam perut buncit Tunggak.
"Wahhh segarnya.... ", ujar Tunggak mengungkapkan rasa lega nya.
" Eh kodok sawah, ditanya baik-baik malah cuma sibuk minum air. Katakan cepat, siapa yang mencari Si Iblis Wulung hah?! ", bentak Sempani yang kesal dengan sikap Tunggak yang seenaknya.
" Aku haus, makanya mesti minum dulu. Kalau tidak nanti tidak jelas ngomong nya", sergah Tunggak tak mau kalah.
"Dasar kodok sawah, pintar sekali alasannya", gerutu Sempani yang memang sejak awal kurang suka dengan Tunggak yang menurutnya tidak paham tata krama.
" Sudah sudah, jangan pada ribut sendiri...
Nggak, lekas katakan siapa yang mencari Kakang Mahesa? Kawan atau lawan? ", potong Cempakawangi yang sudah tidak tahan dengan perdebatan keduanya.
" Itu orang kampung sebelah di ujung tapal batas desa. Ada sekitar seratusan orang. Mereka mencari Sura, katanya ada yang mau disampaikan.. ", jawab Tunggak segera.
Mahesa Sura segera menoleh ke arah Rakai Pamutuh yang menjadi penasehat nya dalam rencana besar ini. Seolah paham apa yang sedang dipikirkan oleh Mahesa Sura, Rakai Pamutuh segera mengangguk pelan.
" Kita temui mereka Raden, biar tahu apa yang mereka inginkan.. ", ucap Rakai Pamutuh yang membuat Mahesa Sura mengangguk mengerti.
Keduanya bergegas menuju ke arah yang ditunjukkan oleh Tunggak. Bersama dengan Cempakawangi, mereka berempat menuju tapal batas wilayah timur Kampung Widas.
Sesampainya di tapal batas wilayah, apa yang dikatakan oleh Tunggak ada benarnya. Dua orang warga Kampung Widas nampak sedang bersiaga dengan senjata terhunus sebagai peringatan untuk semua orang bahwa Kampung Widas tertutup untuk orang asing.
Seorang lelaki paruh baya berbadan gempal dengan kumis tebal dan janggut panjang mondar-mandir seolah sedang cemas di depan dua penjaga desa itu. Melihat dari dandanannya, ia adalah pimpinan kampung menilik dari bajunya yang sedikit mewah dibanding orang-orang yang sedang duduk bersimpuh di tanah.
"Ki Pandu Seto, mau apa kau kemari? "
Suara berat Rakai Pamutuh itu sontak membuat orang tua itu segera menoleh. Begitu melihat sosok Rakai Pamutuh, dia bergegas mendekat dengan antusias.
"Salam hormat ku Ki Rakai Pamutuh...
Ki Rakai, aku dengar dari mulut salah satu warga ku katanya kau mendukung seorang pria yang sebenarnya adalah pewaris tahta Kertabhumi. Apa itu benar? ", tanya Ki Pandu Seto segera.
" Lantas kenapa kau menanyakan soal itu, Ki Pandu? Apa kau ingin melaporkan kami pada pemerintah Kertabhumi sekarang? ", Rakai Pamutuh balik bertanya dengan sedikit nada tidak suka.
" Ki Rakai jangan salah sangka dulu. Tujuan kami kesini adalah kami ingin bergabung dengan kelompok kalian. Lihat, aku sudah membawa seluruh warga kampung ku. Sebenarnya kami adalah pelarian dari kota Anjuk Ladang yang telah lama menderita karena sifat kejam Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati yang sewenang-wenang pada rakyat kecil seperti kami.
Kami meninggalkan kota Anjuk Ladang dengan harapan agar mendapatkan kehidupan baru yang lebih baik di kampung yang baru kami bangun. Tetapi pejabat Pakuwon Wilangan justru membuat resah dengan menarik pajak seenaknya. Semua kerja keras kami diambil dengan dalih kenaikan pajak yang baru ditetapkan oleh pemerintah Kertabhumi. Sisa panen kami bahkan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan kami karena hal itu.
Karena itu, ketika salah satu warga bercerita tentang adanya orang-orang baru yang datang ke Widas karena kau mendukung putra Dyah Pitaloka untuk merebut kembali hak atas tahta Kertabhumi, maka aku dan seluruh warga kampung ku ingin juga ikut serta agar anak cucu kami tidak mengalami penderitaan seperti yang kami alami sekarang. Mohon Ki Rakai Pamutuh bersedia untuk mempertemukan kami dengan Raden Mahisa Danurwenda agar kami bisa bersumpah setia pada beliau ", Ki Pandu Seto membungkukkan badannya pada Rakai Pamutuh penuh permohonan.
" Apa kalian tidak takut jika nanti akan dicap sebagai seorang pemberontak karena mengikuti Raden Mahisa Danurwenda? ", pelan suara Mahesa Sura tetapi itu membuat Ki Pandu Seto segera tegap berdiri.
" Jangankan cuma dicap sebagai seorang pemberontak, mati pun kami rela asal tetap berpijak pada kebenaran ", jawab Ki Pandu Seto mantap.
Mahesa Sura manggut-manggut setuju dengan omongan Ki Pandu Seto. Sedangkan Rakai Pamutuh nampak menghela nafas lega sebelum tersenyum.
" Apa sekarang kami bisa berjumpa dengan Raden Mahisa Danurwenda, Ki Rakai? ", lanjut Ki Pandu Seto kemudian.
" Bicara apa kau ini Pak Tua? Yang berdiri di depan mu inilah Raden Mahisa Danurwenda.. ", sahut Tunggak yang sontak membuat Ki Pandu Seto berjongkok dan menyembah pada Mahesa Sura.
" Maafkan kelancangan sikap hamba baru saja, Raden. Hamba orang bodoh yang tidak mampu mengenali sosok agung seperti Raden ", ucap Ki Pandu Seto dengan penuh hormat. Para pengikutnya pun segera bersikap sama seperti dia.
Kontan saja Mahesa Sura melotot kesal ke arah Tunggak yang asal nyeplos bicaranya.
"Apa tak ada yang memberitahu mu Nggak kalau diam itu emas?"
"Maksudnya apa Sura? Kalau aku diam nanti dapat emas? Bilang dong dari tadi, aku pasti akan diam", jawab Tunggak yang membuat Mahesa Sura hampir saja menampar nya.
" Aku urus kau nanti...
Ki Pandu Seto, bangunlah. Jangan bersikap sedemikian hormat pada ku, aku hanyalah seorang putra bangsawan yang tidak punya kedudukan apapun disini", ucap Mahesa Sura kemudian.
"Tapi bagi hamba dan semua pengikut hamba disini, Raden Mahisa Danurwenda adalah penguasa sebenarnya dari Kertabhumi. Mohon terima kami sebagai pengikut Raden. Kalau Raden tidak mau menerima kami maka kami tidak akan beranjak dari tempat ini meskipun sampai mati sekalipun..", tukas Ki Pandu Seto tanpa berdiri dari tempat menyembah nya.
" Ini... "
Mahesa Sura menoleh ke arah Rakai Pamutuh seolah-olah kembali meminta pertimbangan. Pemimpin Kampung Widas itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti.
"Baiklah, aku terima dukungan kalian. Bangunlah semuanya.. ", perintah Mahesa Sura segera.
" Terimakasih atas persetujuan nya, Raden Mahisa Danurwenda.. ", kompak seluruh pengikut Ki Pandu Seto bersuara.
Hari demi hari, dukungan rakyat pada rencana pemberontakan ini semakin menguat. Kekuatan pendukung Mahesa Sura terus bertambah yang membuat kepercayaan diri mereka akan mampu untuk menaklukkan kotaraja Anjuk Ladang pun semakin besar.
*****
Prraaaaannnkkkkk..!!!
Cangkir keramik berwarna putih dengan hiasan gambar biru yang indah yang dapat ditemui pada keluarga saudagar kaya dari Negeri Tiongkok, hancur berkeping-keping begitu menghantam lantai berubin batu kediaman Werdhamantri Gajah Mungkur. Ini adalah bentuk kekecewaan sang penasehat utama Bhre Kertabhumi Dyah Sindupati itu.
"Kalian benar-benar sampah!!
Sudah hampir satu setengah purnama setelah penyerbuan ke Bukit Rawit terjadi, kenapa kalian belum juga menemukan jejak keberadaan Si Iblis Wulung dan Nyai Landhep? Apa kalian semua hanya makan gaji buta hah?!! ", geram Werdhamantri Gajah Mungkur penuh murka.
Dua orang kepercayaan baru Werdhamantri Gajah Mungkur, Jenarpaksi dan Banyak Suwignya menggigil ketakutan kala melihat amarah sang majikan. Selepas kematian Ki Sawung Pethak dan Jalu Pekik tempo hari di tangan orang-orang Padepokan Bukit Rawit, mereka berdua lah yang menjadi andalan Werdhamantri Gajah Mungkur untuk melakukan berbagai pekerjaan kotor sang penasehat utama Mandala Kertabhumi ini.
"Mo-mohon ampun Gusti Werdhamantri, kami sudah mengerahkan mata-mata ke Daha hingga Wengker tetapi tak satupun yang memberikan laporan tentang keberadaan mereka. Bahkan sampai Pajang dan Keling, tak ada yang melaporkan bahwa mereka ditemukan.
Apa perlu kami melacak keberadaan mereka hingga ke Kotaraja Wilwatikta? ", ucap Jenarpaksi sembari ketakutan.
" Harus! Bahkan jika perlu cari ke seluruh wilayah Majapahit pun, mereka harus ditemukan. Mereka adalah duri dalam daging yang harus segera dimusnahkan dengan segala cara. Aku tidak mau mereka nanti muncul dan membuat masalah di kemudian hari.. ", tegas Werdhamantri Gajah Mungkur.
" Kami mengerti Gusti Werdhamantri. Kalau begitu, ijinkan kami untuk berangkat ke Jagaraga. Siapa tahu mereka bersembunyi disana", ujar Banyak Suwignya sembari menghormat.
Tanpa berbalik badan, Werdhamantri Gajah Mungkur mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat persetujuan dari nya. Sedikit keras lelaki tua itu berkata,
"Berangkatlah sekarang juga. Semakin cepat semakin baik. Dan ingatlah bahwa kalian harus menemukan keberadaan Si Iblis Wulung dan Nyai Landhep,
Hidup atau mati... "
dibikin series kolosal pasti bagus