Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 Membeli produk kecantikan
Pria gemuk itu terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. “Kalau emas ini lengkap dengan dokumen resmi, harganya bisa mencapai 120.000 dollar. Tapi karena tidak ada surat-surat, dan risikonya jatuh ke tanganku…” Ia mencondongkan tubuh, suaranya merendah. “Aku hanya berani membeli dengan harga 100.000 dollar. Bagaimana?”
Arzhel menatap batang emas itu, lalu pada wajah si penjual. Dalam hatinya ia sudah tahu, 100.000 untuk barang seharga 50 koin ilahi adalah jackpot besar.
Namun ia tetap pura-pura berpikir, mengetuk meja dengan jarinya. Akhirnya, ia mengangkat wajah dengan senyum tipis. “Baik, aku terima.”
....
Arzhel melangkah keluar dari toko emas dengan santai, di ranselnya sudah penuh dengan banyak uang tunai.
Pemilik toko yang gemuk itu melambaikan tangan sambil berseru, “Kalau kau punya barang berharga lagi, jangan lupa datang ke sini!”
Arzhel tak menoleh sedikit pun. Ia sudah puas dengan hasilnya. Dengan cepat ia memesan taksi, dan beberapa menit kemudian kendaraan itu meluncur membawanya menuju tujuan berikutnya—Super Beauty, toko kecantikan yang sempat disebutkan Lily.
Begitu taksi berhenti, Arzhel menarik napas panjang, dadanya terasa sesak seperti hendak masuk ke medan perang.
'Oke, ini hanya toko kecantikan. Tidak ada yang perlu ditakuti,' batin Arzhel mencoba menenangkan diri.
Namun saat pintu kaca otomatis terbuka, hidungnya langsung disambut aroma manis parfum khas remaja putri, membuatnya semakin gugup.
Interior toko itu tampak mewah, didominasi warna pink pastel dengan hiasan bunga-bunga segar di setiap sudut. Musik pop yang lembut mengalun, menciptakan suasana feminin yang kontras dengan sosok Arzhel yang canggung.
Dengan langkah hati-hati ia menghampiri meja kasir. Di balik meja berdiri seorang karyawan wanita—berkulit putih, rambut panjang bergelombang, dan pakaian seragam yang cukup minim untuk menonjolkan lekuk tubuhnya.
Matanya langsung menangkap kegugupan Arzhel.
“Selamat datang~,” sapa si kasir dengan senyum menggoda. “Mencari sesuatu untuk… pacarmu, mungkin?”
Arzhel tersentak, wajahnya memerah.
“Eh… tidak… maksudku iya,” jawabnya terbata-bata.
Wanita itu menahan tawa kecil, senyumnya makin manis. “Biar aku rekomendasikan produk yang lagi populer di kalangan gadis-gadis, ya?”
Arzhel hanya mengangguk, seolah boneka kayu yang kehilangan kata-kata. Wanita itu memperkenalkan dirinya dengan nama Justine, lalu mulai memamerkan berbagai produk di rak display.
Tangannya lincah, suaranya penuh semangat seperti seorang sales profesional.
“Produk ini menggunakan ekstrak mawar hitam, sangat bagus untuk melembabkan kulit sekaligus memberi efek glowing natural. Nah, kalau yang ini kaya akan kolagen, bisa mengencangkan kulit wajah. Dan yang ini—”
Arzhel mengangguk-angguk cepat, meski jelas wajahnya kosong tak mengerti. “Aku beli!” potongnya tiba-tiba.
Justine terbelalak. “Eh? Kau langsung beli?”
Belum sempat ia menanggapi, Justine sudah beralih ke produk berikutnya. Dengan penjelasan yang penuh istilah asing, ia menyelesaikan promosi singkatnya.
“Aku beli!” sahut Arzhel lagi tanpa ragu.
Begitu terus berulang. Setiap kali Justine selesai bicara, Arzhel hanya menimpali dengan kalimat sama: “Aku beli!”
Akhirnya Justine menatapnya dengan ekspresi bingung, lalu tertawa kecil. “Sepertinya… kau membeli apapun yang kujelaskan, ya?”
Arzhel tersentak. Pipinya sedikit memanas. Dengan jujur ia menggaruk kepalanya.
“Sebenarnya… aku tidak terlalu tahu soal produk kecantikan. Jadi kupikir… apa pun yang kau jelaskan pasti bagus, jadi aku ambil saja.”
Justine menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis—kali ini lebih lembut, tidak sekadar senyum seorang sales.
Arzhel kemudian menyodorkan keranjangnya yang sudah setengah terisi sambil berkata. “Bisa tolong pilihkan apa saja yang menurutmu bagus? Banyak juga tidak masalah.”
Justine terkekeh, matanya berkilat penasaran. 'Pelanggan aneh, tapi menarik…' pikirnya, sebelum mulai memasukkan produk-produk terbaik ke dalam keranjang belanjaan Arzhel
Tangannya lincah, setiap barang ia pilih dengan hati-hati—krim wajah yang sedang hits, parfum edisi terbatas, lipstik dengan kemasan mewah, hingga masker emas cair yang baru tiba pagi ini.
Beberapa menit kemudian, keranjang itu sudah penuh sesak. Ia menyerahkannya pada Arzhel dengan senyum puas.
“Ini pilihan terbaik yang bisa kudapatkan untukmu,” katanya dengan bangga.
Arzhel menunduk, memperhatikan isi keranjang itu. Ada kilau kecil di matanya, lalu ia menggumam sejenak. “Mungkin… satu keranjang lagi.”
Justine terpaku. “Hah?”
Tapi melihat wajah Arzhel yang serius, ia akhirnya terkekeh tak percaya.
“Baiklah, Tuan Dermawan.”
Ia pun mengambil keranjang kedua, kembali mengisi dengan barang-barang yang sama berharganya. Tak lama kemudian, ia mendatangi Arzhel lagi dengan nafas sedikit terengah.
“Kalau sebanyak ini, pacarmu pasti sangat dimanjakan. Kau pasti pacar yang luar biasa pengertian.”
Arzhel hanya mengangguk kecil, tanpa menjawab panjang. Ia lalu menyerahkan uang tunai tebal hasil menjual emas barusan. Kasir di meja belakang sempat melongo, belum pernah ada transaksi sebesar itu sekaligus.
Usai membayar, Arzhel membawa dua kantong belanja besar, siap melangkah pergi. Namun tiba-tiba ia berhenti, lalu menoleh pada Justine dan bertanya. “Apakah toko ini bisa melakukan pengiriman?”
Justine mengangguk. “Tentu saja.”
“Kalau begitu, boleh aku minta nomor telepon toko? Mungkin nanti aku akan membeli banyak barang lagi.”
Justine tersenyum, kali ini lebih lembut, berbeda dari profesionalisme sebelumnya. Ia mengeluarkan kartu kecil dan menyodorkannya kepada Arzhel.
“Ini, gunakan nomor ini.”
Arzhel menerimanya dan menunduk sedikit. “Terima kasih.”
Ia berbalik, melangkah ke pintu keluar dengan kedua tangannya penuh belanjaan. Namun baru saja ia menyentuh gagang pintu, suara Justine terdengar lantang.
“Itu bukan nomor toko… itu nomor pribadiku!”
Arzhel berhenti, menoleh dengan wajah kaget. Justine melanjutkan, kali ini suaranya lebih pelan tapi jelas, “Kau bisa menghubungiku… meski tidak ada pesanan.”
Arzhel hanya bisa tersenyum kaku, menunduk sedikit sebagai balasan, lalu keluar dengan langkah agak terburu-buru.
Dari balik kaca, Justine menatap punggungnya yang menjauh. Senyumnya tipis, matanya berkilat seakan menemukan sesuatu yang menarik.
“Pria yang menarik…” gumamnya, sambil menyentuh bibirnya yang tersenyum.
...
Begitu Arzhel melangkah masuk ke rumah, ia disambut oleh aroma masakan yang masih mengepul samar dari dapur. Novita, yang baru saja selesai membereskan ruang tamu, menoleh cepat.
“Oh—Tuan Arzhel…” katanya gugup, tapi sebelum sempat merapikan dirinya, Arzhel tersenyum hangat dan berkata dengan suara rendah:
“Aku pulang, Novita.”
Nada suaranya bukan seperti majikan yang baru pulang kerumah, melainkan lebih seperti seorang suami yang baru saja pulang kerja dan menyapa istrinya.
Novita langsung memalingkan wajahnya, pipinya merona samar. Namun rasa canggung itu segera buyar ketika matanya tertuju pada dua kantong besar di tangan Arzhel.
“Itu… apa, Tuan?” tanyanya, bingung.
Arzhel mengangkat kantong itu sedikit. “Produk kecantikan. Yang tadi kubicarakan dengan Lily.”
“Sebanyak itu?” Novita melangkah mendekat, matanya membesar karena tak percaya.
Suara langkah menuruni tangga terdengar. Lily muncul dengan rambut yang masih setengah basah habis mandi, lalu tersenyum tipis.
“Itu wajar. Kakakku memang begitu. Orang aneh. Setiap kali pulang selalu membawa barang-barang tidak penting. Aku sudah terbiasa dengan itu. Kau juga harus terbiasa.”
Novita terdiam, menoleh lagi pada Arzhel dengan tatapan bingung.
Arzhel hanya terkekeh kecil. “Hei, aku bukan orang aneh. Ini hanya hobiku saja.”
“Hobi aneh tetap saja aneh.” Lily menjawab santai sambil melanjutkan turun.
Arzhel mengangkat tangannya seolah menyerah. “Berdebat denganmu tak akan ada habisnya.” Ia lalu menoleh kepada Novita dan tersenyum singkat. “Aku ke kamar dulu.”
Sesampainya di kamar, Arzhel langsung menumpahkan isi kedua kantong belanjaan itu ke atas tempat tidur.
Puluhan botol, kotak, dan kemasan cantik berjatuhan hingga memenuhi kasur. Aromanya bercampur, antara wangi bunga, buah, dan parfum mewah.
Arzhel menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia membuka Aplikasi Market Ilahi, masuk ke grup khusus yang berisi para dewi.
🗨️ [Ruang Obrolan: Grup Dewi Dewi Cantik✨]
Jarinya mengetik cepat:
Arzhel, Dewa Modern✈️: “Aku sudah punya barangnya. Jadi bagaimana caranya menjual pada kalian?”
Beberapa detik kemudian, notifikasi berdentang. Balasan bermunculan satu per satu.
Bidadari Surga🌌: “Akhirnya! Aku sudah menunggu! Kirim fotonya sekarang juga, Arzhel!”
Dewi Api Senja🔥: “Jangan kirim di chat, dasar bodoh. Masukkan ke etalase dulu, baru nanti kami bisa berebut beli. Aku mau duluan!”
Dewi Bunga🌸: “Kyaa! Skincare mortal! Aku ingin mencoba semuanya, cepat unggah! Jangan lupa kasih deskripsi lengkap ya ♥.”
Dewi Api Senja🔥: “Kalau ada lipstik merah menyala, sisakan untukku. Aku tak peduli harganya berapa, aku beli!”
Dewi Laut🌊: “Hm, kalau ada body mist dengan aroma segar, aku mau. Jangan lupakan aku, Arzhel.”
Arzhel menghela nafas panjang. "Pesanku... Diabaikan begitu saja," gumamnya.
Seperti penyelamat, Dewi Bulan akhirnya muncul.
Dewi Bulan🌙:“Arzhel, jangan bingung. Lihat pojok kanan atas aplikasi, ada ikon titik tiga. Tekan itu, lalu pilih Etalase Grup. Setelah itu tinggal scan produkmu, masukkan deskripsi, lalu tetapkan harga seperti biasa. Sederhana, bukan?”
Arzhel membaca semua balasan itu, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kepala ranjang.
Senyum kecil terukir di wajahnya.
“Baiklah, ayo kita coba,” gumamnya, jari-jarinya mulai menekan layar, siap memajang belanjaannya di etalase dewi-dewi.