Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan dalam Bayangan
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang basah. Udara dingin menusuk, dan suasana begitu muram seakan menjadi pertanda buruk bagi keluarga King.
Aruna duduk di kursi belakang, tatapannya kosong menembus jendela. Sejak ledakan di gudang beberapa hari lalu, pikirannya terus dihantui perasaan was-was. Seakan ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar perang wilayah.
Di sampingnya, Leonardo tampak sibuk menatap layar ponselnya. Jemarinya cepat mengetik perintah untuk anak buah yang tersebar di seluruh kota. Wajahnya dingin, penuh tekanan, tetapi matanya menyala dengan intensitas yang tak pernah pudar.
“Leo…” suara Aruna lirih, memecah hening.
“Hm?” lelaki itu menoleh sekilas, masih dengan ekspresi tegang.
“Apa kau benar-benar yakin ini bukan jebakan? Pertemuan mendadak di dermaga, di malam seperti ini… Rasanya terlalu… mudah.”
Leonardo tersenyum tipis, getir. “Tidak ada yang mudah di dunia mafia, sayang. Kalau mereka berani memanggilku, berarti mereka siap mati. Aku hanya ingin memastikan siapa yang bermain di belakang Vittorio.”
Aruna menggigit bibir. Ia tahu percuma menasihati Leonardo agar berhenti. Obsesi pria itu bukan hanya tentang mempertahankan kekuasaan, tetapi juga tentang melindungi dirinya dengan cara apa pun.
---
Dermaga Gelap
Mobil berhenti di area dermaga yang remang. Bau asin laut bercampur aroma oli dan karat. Puluhan anak buah King sudah berjaga, bersenjata lengkap, mengelilingi area. Lampu sorot diarahkan ke titik pertemuan.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam lain muncul. Perlahan berhenti. Dari sana turun tiga orang pria bersetelan gelap, wajah mereka tertutup bayangan.
Leonardo turun lebih dulu. Tubuh tegapnya berdiri angkuh, jas hitamnya berkilat basah terkena hujan. Aruna ikut turun, meski jantungnya berdegup kencang. Marco berjalan di belakang mereka, waspada penuh.
“Leonardo King,” salah satu pria menyapa, suaranya berat. “Kami datang bukan untuk perang. Kami ingin bicara.”
Leonardo menyipitkan mata. “Kalian siapa?”
Pria itu tersenyum samar. “Kami bukan Vittorio. Kami juga bukan sekutu Mancini. Kami… bayangan yang sudah lama mengintai.”
Kalimat itu membuat suasana makin tegang. Anak buah King otomatis mengokang senjata, tetapi Leonardo mengangkat tangannya memberi isyarat untuk menahan.
“Kalau kalian bayangan, seharusnya tetap bersembunyi. Jangan coba bermain di wilayahku.”
Pria itu melangkah maju. Dari balik jasnya, ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di atas peti kayu yang basah.
“Di dalamnya ada bukti. Seseorang di lingkaranmu mengkhianatimu. Seseorang yang selama ini kau percaya.”
---
Benih Pengkhianatan
Leonardo tidak langsung menyentuh amplop itu. Tatapannya menusuk pria misterius tersebut, penuh ancaman.
“Aku tidak percaya pada informasi gratis.”
“Anggap saja hadiah perkenalan. Cepat atau lambat kau akan tahu siapa musuh sejatimu. Kami hanya memberimu jalan pintas.”
Setelah berkata begitu, pria itu mundur. Tanpa menunggu jawaban, ia dan kedua rekannya kembali ke mobil, lalu pergi begitu saja, meninggalkan misteri yang menyesakkan.
Hening panjang menyelimuti dermaga. Hanya suara hujan yang terdengar jatuh menghantam atap besi kontainer.
Leonardo akhirnya meraih amplop itu. Tangannya dingin, tapi genggamannya kuat. Ia membuka dan mengeluarkan beberapa foto di dalamnya.
Aruna yang berdiri di sampingnya ikut menatap, dan darahnya langsung berdesir dingin.
Foto-foto itu menampilkan seseorang yang sangat mereka kenal—salah satu anak buah kepercayaan Leonardo, terlihat sedang bertemu diam-diam dengan orang dari kubu Mancini.
“Tidak mungkin…” Aruna berbisik.
Leonardo mengepalkan tangan, matanya berkilat marah. “Pengkhianat…”
---
Luka dalam Lingkaran
Malam itu, kembali ke mansion, suasana jadi lebih mencekam. Leonardo mengunci diri di ruang kerjanya bersama Marco dan beberapa kepala tim. Aruna ikut duduk, meski atmosfer ruangan begitu berat.
“Jika foto ini benar,” Leonardo berkata dingin, “maka kita punya tikus di dalam rumah. Dan tikus itu harus mati.”
Marco mengangguk, wajahnya muram. “Tapi, Don… kita harus hati-hati. Bisa saja ini rekayasa. Mereka ingin kita saling mencurigai dan hancur dari dalam.”
Aruna menambahkan pelan, “Leo, jangan terburu-buru. Kita butuh bukti lebih kuat sebelum menuduh siapa pun.”
Leonardo menatapnya. Matanya tajam, tapi dalam tatapan itu ada sesuatu yang berbeda—keraguan kecil yang jarang sekali muncul. Aruna adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya menahan diri.
Ia akhirnya berkata, “Kita awasi dulu. Jika benar, aku sendiri yang akan menghabisinya.”
---
Malam Gelisah
Aruna tak bisa tidur malam itu. Ia berjalan mondar-mandir di balkon kamar, hujan masih turun deras di luar. Pikirannya kacau.
Di satu sisi, ia ingin Leonardo berhenti hidup dalam lingkaran darah. Tapi di sisi lain, ia tahu tanpa kekuasaan itu, mereka berdua akan jadi sasaran empuk musuh.
Leonardo muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja hitam setengah terbuka. Wajahnya letih, tapi matanya tetap menyala.
“Kau tidak tidur?” tanyanya sambil mendekat.
“Aku tidak bisa.” Aruna menatapnya dengan cemas. “Leo, aku takut. Kalau benar ada pengkhianat… itu berarti kita dikelilingi bahaya, bahkan di dalam rumah sendiri.”
Leonardo memeluknya erat dari belakang. “Jangan takut. Siapa pun yang berani mengkhianati aku, akan aku patahkan. Kau aman bersamaku, Aruna. Selalu.”
Aruna menggenggam tangannya. Ia merasakan detak jantung Leonardo yang keras, tanda pria itu menahan amarah sekaligus obsesi.
---
Pagi yang Membawa Rahasia
Keesokan paginya, kabar buruk datang. Salah satu anak buah ditemukan tewas di jalan, tubuhnya penuh luka tembak. Anehnya, orang itu adalah pria yang sama dalam foto pengkhianatan.
Marco datang melapor dengan wajah serius. “Don, dia mati sebelum kita sempat menginterogasinya. Ini terlalu rapi. Seolah seseorang sengaja membungkamnya sebelum kita mendapat jawaban.”
Leonardo menatap kosong ke depan, rahangnya mengeras. “Berarti benar ada bayangan lain yang bermain. Mereka ingin kita sibuk saling mencurigai.”
Aruna ikut mendengarkan dengan perasaan makin resah. Ia tahu permainan ini akan makin berbahaya. Seseorang berusaha menghancurkan Leonardo bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam.
Dan ia tak bisa mengusir pikiran buruk: bagaimana jika bayangan itu lebih dekat dari yang mereka kira?