Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Dibalik Cinta
Malam itu, keheningan mansion De Santis hanya dipecah oleh detik jam antik di dinding. Leonardo masih di balkon, asap rokoknya menari bersama angin laut. Tatapannya kosong menembus kegelapan, seolah menantang dunia. Di dalam kamar, Aruna duduk di tepi ranjang, bahunya gemetar meski ia berusaha keras menyembunyikan rasa takut. Ia merasa seperti burung cantik yang dipelihara di sangkar emas—indah, tapi tanpa kebebasan.
Marco berdiri tidak jauh, tubuhnya kaku seperti patung. Ia menunggu perintah apa pun dari bosnya, meski dalam hati ada kegelisahan. Marco tahu, jika Leonardo benar-benar memerintahkan pembunuhan agen Interpol, maka perang akan pecah lebih cepat dari yang ia bayangkan.
Leonardo mematikan rokok, lalu menoleh. “Marco,” suaranya berat. “Kau tahu apa yang harus dilakukan. Cari tahu siapa wanita itu.”
“Wanita?” Marco mengangkat alis.
“Ya.” Leonardo menatap kosong ke laut. “Aku yakin yang mereka kirim bukan sembarangan. Naluru ku mengatakan… dia perempuan.”
Marco tidak berani membantah. “Baik, Bos. Aku akan kerahkan orang.”
Aruna mendengar percakapan itu, hatinya tercekat. Ia tidak tahu siapa wanita yang dimaksud Leonardo, tapi firasatnya kuat: itu pasti orang yang pernah mengawasinya di butik. Seseorang dari luar yang mungkin bisa membuka pintu kebebasan yang selama ini hanya jadi mimpi.
Namun, di saat yang sama, ia takut. Jika Leonardo tahu kebenarannya, maka orang itu bisa mati di tangannya.
---
Di apartemennya, Elena duduk di depan cermin kecil. Ia merias wajah dengan sederhana, lalu mengambil kacamata bundar. Sekilas, ia tampak seperti dosen universitas biasa, bukan agen Interpol yang sedang menyusun strategi untuk menjatuhkan salah satu mafia paling berbahaya di Eropa.
Di meja, laptop terbuka menampilkan foto Aruna di butik. Senyum tipis mengembang di bibir Elena.
“Dia berbeda…” gumamnya.
“Bukan hanya sekadar wanita mafia. Matanya… masih punya cahaya.”
Seorang agen pria masuk, membawa map. “Elena, pusat sudah memberikan instruksi. Mereka ingin operasi ini cepat. Kalau perlu, gunakan Aruna sebagai pancingan.”
Elena menatapnya tajam. “Kau tidak mengerti. Jika kita jadikan dia pion, Leonardo akan tahu. Dan Aruna akan mati sebelum kita sempat menyentuh De Santis.”
“Tapi—”
“Tidak ada tapi,” potong Elena dingin. “Aku akan lakukan dengan caraku. Aku akan mendekati Aruna, bukan dengan senjata, tapi dengan hati. Dia bukan sekadar pintu, dia kuncinya.”
Agen itu terdiam, lalu keluar. Elena kembali menatap foto Aruna, jemarinya menyentuh layar. “Aku akan membuatmu sadar, Aruna. Dan saat itu terjadi, seluruh kerajaan De Santis akan runtuh dari dalam.”
---
Keesokan paginya, Aruna berdiri di depan cermin besar kamar. Gaun satin putih membalut tubuhnya, tapi ia merasa seperti mengenakan pakaian perang. Setiap kali menatap dirinya sendiri, ia melihat dua sosok: seorang wanita yang dulu bebas bercita-cita sederhana, dan seorang tawanan yang kini menjadi pusat obsesi seorang mafia.
Leonardo masuk tanpa mengetuk. Matanya langsung jatuh pada Aruna. “Kau cantik.”
Aruna tersenyum tipis. “Cantik bukan berarti bahagia, Leo.”
Kalimat itu membuat pria itu berhenti sejenak. Ia melangkah mendekat, lalu mengangkat dagu Aruna agar menatapnya. “Aku tahu kau tidak bahagia. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kau satu-satunya alasan aku bertahan di neraka ini.”
Aruna menahan napas. Tatapan mata Leonardo begitu dalam, tapi juga menakutkan. “Apa kau sadar, Leo? Kau bilang aku alasanmu bertahan, tapi sebenarnya… kau membuatku tenggelam.”
Sejenak, Leonardo terdiam. Lalu ia mengecup keningnya, seolah tak mendengar. “Suatu hari kau akan mengerti. Semua ini untuk melindungi mu.”
Aruna menutup mata, air mata hampir jatuh. Dalam hati, ia berbisik: Jika ada jalan keluar, aku akan mengambilnya. Apa pun risikonya.
---
Di luar mansion, Marco dan anak buahnya mulai bergerak. Mereka menelusuri rekaman CCTV dari butik, mencari wajah asing yang bisa dicurigai.
“Bos benar,” kata salah satu anak buah sambil menunjuk layar. “Ada seorang wanita. Dia tidak berbelanja, hanya berdiri lama di dekat rak.”
Marco menatap tajam. “Perbesar.”
Wajah Elena muncul, samar tertutup kacamata. Marco menyipitkan mata. “Kirim semua data ke aku. Aku akan urus ini sendiri.”
Dalam hati, Marco ragu. Wanita itu tampak bukan orang sembarangan. Dan firasatnya berkata, jika ia menyentuhnya, badai besar akan pecah. Tapi ia tidak berani menentang Leonardo.
---
Dua hari kemudian, Aruna diizinkan pergi ke galeri seni kecil di pusat kota. Leonardo tidak bisa ikut karena ada urusan bisnis, tapi Marco dan beberapa bodyguard mendampinginya.
Aruna melangkah di antara lukisan-lukisan, matanya kosong. Namun tiba-tiba, ia merasakan sesuatu—tatapan. Saat menoleh, ia melihat seorang wanita berambut cokelat, berkacamata bundar, berdiri di sudut. Wanita itu tersenyum tipis, lalu berbalik seolah tak terjadi apa-apa.
Jantung Aruna berdetak cepat. Ia tahu itu bukan kebetulan. Itu pasti orang yang mengawasinya di butik.
Saat keluar dari galeri, wanita itu tiba-tiba mendekat, menyodorkan kartu kecil ke tangan Aruna sambil berbisik cepat:
“Jika kau ingin bebas, hubungi aku. Jangan takut. Aku di pihakmu.”
Aruna tertegun. Marco hampir menyadari, tapi wanita itu sudah menghilang di keramaian.
Di mobil, Aruna menggenggam kartu itu erat-erat di pangkuannya. Tertulis nama: Elena Varga.
---
Malamnya, Leonardo kembali ke mansion. Aruna masih menyembunyikan kartu itu di bawah bantal. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak, tapi hatinya menjerit ingin mencoba.
Leonardo masuk ke kamar dengan wajah letih. “Aruna…” ia duduk di ranjang. “Besok aku akan pergi ke Napoli. Ada urusan penting. Kau akan tetap di sini. Jangan keluar.”
Aruna menatapnya. “Leo, apa kau tidak lelah? Selalu perang, selalu curiga. Apa kau tidak ingin… hidup normal?”
Leonardo tertawa kecil, pahit. “Normal? Itu bukan untuk orang sepertiku. Dan bukan untukmu juga, setelah kau bersamaku.”
Aruna menggigit bibir. “Kalau begitu, sampai kapan kita akan terus begini?”
Leonardo menatapnya lama, lalu menjawab lirih. “Sampai dunia berhenti melawan kita.”
Aruna memalingkan wajah. Itu berarti… tidak akan pernah, batinnya.
---
Jaring Semakin Rapat
Marco mendapat laporan dari anak buahnya tentang Elena. Ia membawa informasi itu ke Leonardo.
“Bos, wanita ini bernama Elena Varga. Ia bergerak rapi. Kemungkinan besar agen.”
Leonardo mengambil berkas itu, menatap foto Elena. Matanya menyala dingin. “Dia berani mendekati Aruna?”
Marco ragu. “Belum ada bukti langsung, Bos. Tapi… kemungkinan besar iya.”
Leonardo meremas berkas itu. “Kalau begitu, buat dia menyesal.”
Marco menunduk. “Mengerti.”
Namun dalam hati, Marco gelisah. Ia merasa langkah ini hanya akan membawa Aruna semakin dalam ke pusaran bahaya.
---
Aruna duduk sendirian di kamar, menatap kartu Elena. Jemarinya gemetar. Ia tahu ini kesempatan—mungkin satu-satunya. Tapi jika Leonardo tahu, nyawanya bisa melayang.
Akhirnya ia beranikan diri, mengambil ponsel kecil yang ia sembunyikan dari Leonardo. Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan singkat:
> “Aku Aruna. Apa benar kau bisa membantuku?”
Tidak lama kemudian, balasan masuk:
> “Ya. Tapi kau harus percaya padaku. Aku bisa keluarkan mu dari sana. Jangan bilang siapa pun.”
Air mata Aruna mengalir. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan.
Namun di luar kamar, Marco berdiri diam. Ia melihat cahaya ponsel dari celah pintu. Matanya menyipit, tapi ia tidak masuk. Ia tahu Aruna sedang melakukan sesuatu yang disembunyikan.
Apa aku harus melapor pada Leonardo? pikirnya. Tapi entah mengapa, hatinya berat. Marco, yang selama ini hanya hidup dalam bayang-bayang mafia, tiba-tiba merasa kasihan pada wanita itu.
---
Beberapa hari kemudian, Elena berhasil mengatur pertemuan rahasia. Ia menyamar sebagai staf galeri, lalu mendekati Aruna saat bodyguard lengah.
“Aruna,” bisiknya cepat, “aku tidak ingin kau terluka. Aku tahu siapa Leonardo sebenarnya. Dia bukan pelindungmu. Dia hanya membuatmu tawanan. Aku bisa bawa kau keluar dari ini.”
Aruna menahan napas. Matanya berkaca-kaca. “Tapi… kalau aku pergi, dia akan hancur. Dia hanya punya aku.”
Elena menggenggam tangannya erat. “Tidak. Dia punya darah dan senjata. Kau yang tidak punya apa-apa. Kau yang akan hancur jika terus bersamanya.”
Aruna gemetar. “Aku… aku butuh waktu.”
Elena mengangguk. “Aku akan menunggu. Tapi jangan terlalu lama. Waktu kita tidak banyak.”
---
Malam itu, Leonardo kembali lebih cepat dari biasanya. Ia membawa seikat bunga mawar putih, meletakkannya di pangkuan Aruna.
“Untukmu.”
Aruna menatap bunga itu, hatinya campur aduk. “Leo… kenapa kau melakukan semua ini?”
Leonardo tersenyum samar. “Karena aku mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Ingat itu.”
Aruna menggigil. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar janji, tapi ancaman.
---
Marco semakin bimbang. Ia tahu Aruna mulai menjalin kontak dengan seseorang, tapi ia tidak melapor. Sebaliknya, ia justru melindungi rahasia itu diam-diam.
Dalam hatinya, ia berkata: Mungkin ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya.
Namun, langkah itu justru menjadi awal retakan besar dalam benteng De Santis.
---
Suatu malam, Aruna duduk di kamar, memandang keluar jendela. Ia memikirkan Elena, memikirkan Leonardo, memikirkan dirinya sendiri.
Ponselnya berbunyi. Pesan dari Elena:
> “Besok malam. Aku bisa bawa kau keluar. Pilihannya ada padamu. Jika kau datang, kebebasan menantimu. Jika tidak… mungkin kau tak akan pernah punya kesempatan lagi.”
Aruna terdiam lama, air mata jatuh di pipinya. Ia tahu besok malam akan menentukan segalanya.
Di ruang lain, Leonardo berdiri di depan peta besar, merencanakan langkah berikutnya melawan Interpol. Marco ada di belakangnya, tapi pikirannya melayang pada wajah Aruna.
Dan di apartemen sederhana, Elena menatap jam dinding. “Besok malam. Semua akan dimulai.”
---
Malam itu tiba.
Aruna berdiri di depan cermin, mengenakan mantel hitam sederhana. Di tangannya, kartu kecil Elena masih ia genggam. Jantungnya berdegup kencang.
Di luar, Marco mengetuk pintu. “Nyonya, sudah waktunya makan malam.”
Aruna menelan ludah. Ia tahu, jika malam ini ia melangkah keluar dengan niat lain, maka jalan pulang mungkin tidak akan ada.
Sementara di balkon mansion, Leonardo menatap ke arah jalanan gelap, merasakan firasat aneh yang mengusik.
“Aruna…” gumamnya pelan, seolah bisa mendengar isi hati wanita itu.
Dan di suatu sudut kota Roma, Elena menunggu di dalam mobil, mesin menyala, matanya terus menatap jam.