NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 7

Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. Seorang pelayan wanita melangkah masuk dengan kepala tertunduk, tangannya membawa tas kecil berisi alat rias. Ia membungkuk singkat sebagai tanda hormat, lalu berkata pelan,

“Nona, mohon segera bersihkan diri. Tamu akan datang sebentar lagi.”

Dewi yang duduk di pojok ranjang hanya memandangi wanita itu dengan tatapan bingung dan curiga.

“Tamu? Siapa?”

Tidak ada jawaban. Pelayan itu hanya melangkah ke lemari, mengambil sehelai kebaya putih bersih berbordir halus, lalu menatap Dewi dengan tatapan kosong.

“Kau akan mengenakan ini,” ucapnya singkat.

“Aku tidak mau,” tolak Dewi pelan, tubuhnya menegang.

Namun pelayan itu tidak menunjukkan emosi. Ia mendekat perlahan, lalu dengan suara rendah, nyaris tanpa nyawa, berkata,

“Tolong jangan lawan. Aku hanya pelayan di rumah ini… Kalau kau menolak, aku yang akan dihukum.”

Dewi terdiam. Hatinya bergejolak. Ia tidak ingin ikut dalam permainan siapa pun, tetapi ia tahu bagaimana sistem di rumah ini berjalan: perintah Rafael bukan untuk dibantah.

Akhirnya, ia mengangguk pelan. Pelayan itu segera membantu membersihkan wajah dan rambutnya, lalu mengenakan kebaya putih pada tubuh Dewi yang masih penuh luka samar. Beberapa sapuan rias sederhana diberikan, membuat wajah Dewi tampak lebih segar, meski sorot matanya tetap mati.

“Kenapa aku harus memakai ini?” tanya Dewi lirih, sekali lagi.

Pelayan itu terdiam. Jawabannya hanya ketukan halus dari kuas di pipi Dewi.

Tak lama setelah itu, suara langkah berat mendekat. Pintu terbuka, kali ini disertai aroma parfum maskulin yang tajam. Rafael masuk dengan setelan jas hitam elegan, rambutnya disisir rapi, penampilannya sempurna. nyaris seperti pengantin pria dalam mimpi buruk.

Matanya menyapu tubuh Dewi, lalu mendekat cepat dan mencengkeram lengannya kuat. Tatapan dinginnya membuat darah Dewi membeku.

“Menurut lah,” bisik Rafael di telinga Dewi, “atau dua orang itu. Matteo dan Clara.

akan jadi korban akibat keras kepalamu.”

Dewi menahan napas, hatinya berkecamuk. Ia ingin melawan, ingin menjerit, tetapi ancaman itu terlalu nyata. Ia hanya bisa menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang.

Dengan satu helaan napas, Rafael menggiringnya keluar kamar, menuruni lorong panjang menuju ruang tamu.

Di sana, duduk seorang pria tua dengan jas cokelat tua dan peci hitam di kepala. Wajahnya penuh keriput namun tegas, di hadapannya berkas-berkas telah disusun rapi. seperti sedang bersiap untuk suatu prosesi resmi. Di sampingnya, dua pria berpakaian hitam berdiri mengawal diam-diam.

Pria tua itu mengangguk pelan saat Rafael dan Dewi tiba.

“Sudah siap?” tanyanya tenang, membuka map dan memperlihatkan selembar dokumen yang sudah disiapkan.

Rafael mengangguk. “Sudah.”

Dewi menatap bingung ke arah meja. Tangannya menggigil saat ia menyadari. dokumen itu adalah surat nikah.

Dewi menatap kosong ke arah meja tamu, di mana berkas-berkas pernikahan telah disiapkan. Di hadapannya, pria tua yang mengenakan jas rapi dan peci duduk dengan tenang. Di sisi lain ruangan, Rafael berdiri gagah dengan setelan formal berwarna hitam pekat. Wajahnya tak menunjukkan keraguan sedikit pun. dingin, tenang, dan mengintimidasi.

Pelayan wanita yang tadi membantunya berdandan berdiri di sampingnya, diam dan kaku. Tangannya menyentuh lembut punggung Dewi, seolah mendorongnya untuk tetap tenang. Tapi dada Dewi bergemuruh. Hatinya berteriak. Ia ingin melarikan diri.

Rafael duduk di hadapan pria tua itu dan mulai menjabat tangannya.

“Bismillahirrahmanirrahim,” suara pria tua itu menggema di ruangan.

“Saudara Rafael Benitez bin Darian Benitez , saya nikahkan engkau dengan Dewi Larasati binti Santosa, dengan mas kawin berupa logam mulia seberat lima gram, tunai.”

Semua terasa lambat bagi Dewi, seolah waktu berhenti.

Rafael menjawab dengan suara mantap dan jelas, “Saya terima nikahnya Dewi Larasati binti Santosa dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Terdengar desahan kecil dari pelayan wanita, lalu hening kembali. Pria tua itu menatap Rafael dan Dewi, mengangguk dengan wajah serius.

“Ijab kabul telah sah. Saksinya mendengar dan menyatakan sah.”

Dewi tak bisa berkata apa-apa. Suasana mencekam, tak ada sorakan bahagia, tak ada ucapan selamat. Hanya suara hati Dewi yang semakin menjerit dalam diam.

“Sekarang, silakan tandatangani surat pernikahannya,” kata pria tua itu, mendorong map ke arah Rafael terlebih dulu.

Dengan tangan kokoh dan tanpa ragu, Rafael menorehkan tanda tangan. Lalu, map itu disodorkan ke Dewi. Tangannya gemetar saat memegang pulpen. Air matanya jatuh, menodai surat pernikahan itu. Namun tetap saja, ia menandatanganinya. Ia tahu, nyawa dua orang yang disebut Rafael bergantung pada tindakannya hari ini.

Begitu tanda tangan terakhir selesai, pria tua itu berdiri. “Dengan ini, pernikahan kalian sah secara hukum dan agama.”

Rafael melangkah mendekati Dewi, kemudian melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu. Tubuh Dewi menegang, napasnya tertahan. Rafael menunduk pelan, membisikkan kata-kata di telinganya.

“Kau milikku sekarang. Tak ada jalan kembali.”

Dewi menutup matanya. Gaun kebaya putih yang ia kenakan bukan simbol kebahagiaan. Ia adalah pakaian penjara. Dan pernikahan ini. adalah awal dari neraka yang baru saja dibuka.

...

Malam menjelang dengan langit kelabu. Cahaya bulan tertutup awan gelap, seolah langit pun enggan menjadi saksi atas kebersatuan dua jiwa yang dipaksa.

Dewi duduk di ujung ranjang besar yang asing, di kamar mewah yang kini secara resmi menjadi “kamarnya bersama Rafael.” Namun tak ada yang terasa milik sendiri. Semuanya terlalu sunyi. Terlalu dingin.

Pintu terbuka. Rafael masuk, melepas jasnya perlahan, menggantungkannya di belakang pintu tanpa mengucap sepatah kata pun. Suara gesekan gantungan itu membuat bahu Dewi menegang.

Ia menatap lantai, tak sanggup menoleh.

Rafael mendekat, langkahnya berat namun mantap. Lalu duduk di tepi ranjang, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Sesaat kemudian, tangannya terulur menyentuh dagu Dewi, memaksanya menatap.

“Kau menangis di hari pernikahanmu. Lucu,” katanya pelan, suaranya tenang tapi mengandung ancaman yang tersembunyi.

Dewi menarik wajahnya menjauh. “Karena ini bukan pernikahan. Ini penyanderaan.”

Rafael tertawa pelan. “Pernikahan atau tidak, dunia luar akan melihatmu sebagai istriku.”

“Dan di dalam rumah ini?” Dewi menatapnya dengan sorot penuh luka. “Apa aku istri atau sekadar... boneka milikmu?”

Tatapan Rafael menggelap. Ia berdiri, menatap keluar jendela sebentar, lalu berbalik. “Terserah kau menamainya apa. Yang jelas, mulai malam ini... kau tak punya tempat untuk kembali. Hanya aku yang bisa membuatmu tetap hidup, Dewi.”

Dewi meremas gaun kebayanya. Hatinya tak berhenti memberontak, tapi ia tahu: lawannya adalah iblis dalam jas manusia.

Di luar kamar, suara langkah pelayan terdengar menjauh. Di koridor gelap, Matteo dan Clara dikurung dalam ruang bawah tanah, tubuh mereka lemah, nyaris tak sadarkan diri. Itu hukuman karena mencoba melindungi Dewi.

Dan Dewi tahu, semakin ia melawan... semakin dalam luka akan tercipta, bukan hanya padanya, tapi juga pada mereka yang ia sayangi.

Ia hanya bisa berdoa, dalam diam, semoga kekuatan untuk bertahan tidak padam esok pagi. Karena malam ini, neraka telah resmi bermukim dalam kehidupannya.

Malam itu berlalu dalam sunyi dan ketegangan. Rafael duduk di kursi dekat jendela, menyesap anggur merah sambil memandangi kegelapan di luar. Sementara Dewi tetap di sudut ranjang, memeluk lututnya sendiri. Kebaya putih itu sudah kusut, dan wajahnya basah oleh air mata yang belum sempat kering.

Ia tahu ini saat yang tepat. Rafael sedang tenang. Setenang badai sebelum amukan.

Dengan langkah perlahan, Dewi bangkit. Kakinya masih gemetar, tapi tekadnya sudah bulat. Ia menapaki lantai dingin, mendekati Rafael dengan hati-hati.

“Rafael…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Rafael tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat sedikit wajahnya, menatap sekilas ke arah Dewi.

“Aku... aku ingin meminta sesuatu.”

“Apa?” tanyanya tanpa emosi, matanya kembali menatap gelas anggur di tangan.

Dewi menggenggam tangannya erat-erat, menahan takut. “Matteo dan Clara. Bebaskan mereka.”

Tatapan Rafael membeku. Ia meletakkan gelasnya di meja kecil di samping, lalu berdiri perlahan. Tubuhnya yang tinggi tegap mendekat, membuat Dewi kembali terpaksa menunduk.

“Setelah semua yang kulakukan untuk mengikatmu,” katanya pelan,

“kau masih memikirkan mereka?”

Dewi mengangkat wajahnya dengan lirih.

“ aku telah melakukan apa yang kau mau. jadi, aku mohon lepaskan mereka.”

Rafael menatapnya lama. Terlalu lama, hingga Dewi nyaris merasa menyesal membuka mulut. Tapi kemudian pria itu menghela napas panjang.

“Orang-orang sepertimu,” katanya dingin, “selalu mencoba menyentuh bagian manusia dalam diriku yang sudah lama mati.”

“Karena kau belum sepenuhnya mati,” ucap Dewi perlahan.

Kata-kata itu menghentikan langkah Rafael. Punggungnya membeku di hadapan Dewi. Keheningan menggantung di antara mereka.

Akhirnya, dengan suara rendah, Rafael menjawab,

“Kalau kau benar-benar ingin mereka bebas, kau harus membuktikan bahwa kau layak dipercaya.”

“Bagaimana caranya?” bisik Dewi.

“Mulai malam ini, kau akan menemaniku ke mana pun aku pergi. Tak ada pengawal. Tak ada pelarian. Hanya kau dan aku.” Ia menoleh, menatap dalam.

“Dan jika sekali saja aku merasa kau mencoba melawan atau kabur... nyawa mereka berakhir.”

Dewi menelan ludah. Itu bukan pembebasan. Itu pengalihan penyanderaan.

Namun demi keselamatan Matteo dan Clara, ia mengangguk.

“Baik,” bisiknya.

“Aku akan menuruti semua yang kau inginkan.”

Rafael tersenyum miring.

“Kau belajar dengan cepat, Nyonya Benitez.”

Dan malam itu, penjaga di ruang bawah tanah menerima perintah: beri makanan dan perawatan untuk Matteo dan Clara. Mereka belum bebas… tapi hidup mereka diperpanjang.

Untuk saat ini.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!