Pangeran Dari kerajaan Vazkal tiba-tiba mendapatkan sistem auto pilot saat kerajaannya diserang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tindakan mengubah perasaan
Hari demi hari telah berlalu, Ratu Eliana senantiasa mengajukan beragam tantangan kepada Pangeran Sekya, namun setiap upaya tersebut selalu berujung pada kekalahan yang menyakitkan. Pangeran Sekya selalu berada selangkah di depan, dengan senyum tipisnya yang secara bertahap mengikis kesombongan sang ratu. Kini, hanya tersisa satu hari dari batas waktu yang telah ditetapkan, dan secercah harapan Ratu Eliana untuk meraih kembali kebebasan serta kerajaannya terasa semakin menipis, menantikan keputusan akhir yang akan menentukan seluruh nasibnya.
"Aku tahu kau tidak mudah menyerah," Ratu Eliana memulai, suaranya melunak, bibirnya tersenyum tipis, sebuah senyuman yang belum pernah Pangeran Sekya lihat sebelumnya. "Dan aku juga tahu kau menginginkanku, Pangeran Sekya, jadi bagaimana jika kita akhiri semua ini dengan satu tantangan terakhir yang takkan bisa kau tolak? Biarkan aku memberimu apa yang kau inginkan, dan sebagai gantinya, kau bebaskan aku, bagaimana?"
Pangeran Sekya menatapnya datar, tidak ada sedikit pun perubahan ekspresi di wajahnya yang tampan, lalu ia berkata dengan nada dingin yang menusuk, "Kau telah menang, Ratu Eliana, dan kau bebas."
Wajah Ratu Eliana mendadak berubah, kilatan kemarahan yang membara terpancar dari matanya yang tajam. "Apa katamu?" desisnya, suaranya kini terdengar sangat rendah dan penuh ancaman. "Kau bilang aku menang? Kau bilang aku bebas? Setelah semua ini? Setelah aku menawarkan diriku padamu? Kau berani menolakku? Aku adalah Ratu Eliana! Semua orang menginginkanku, bahkan Kaisar dari negeri seberang pun tunduk di hadapanku, tapi kau, seorang pangeran kecil, berani menolakku aku tak berarti apa-apa? Kau pikir aku tidak cukup menarik?"
Pangeran Sekya melangkah mendekat ke arah Ratu Eliana, setiap langkahnya terasa begitu tenang dan penuh perhitungan, hingga ia berdiri tepat di hadapan sang ratu yang kini diliputi amarah. "Tidak," katanya, suaranya mantap dan penuh keyakinan, menembus setiap kemarahan yang terpancar dari mata Ratu Eliana, "tidak sebelum kau mencintaiku dengan tulus."
Ratu Eliana terdiam membeku, matanya yang tajam membelalak lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir Pangeran Sekya, sebuah kalimat yang sama sekali tidak ia duga. Selama ini, ia selalu menjadi objek keinginan dan ketakutan, tidak pernah ada seorang pun yang berani menuntut sesuatu yang begitu mendalam dari dirinya, apalagi cinta yang tulus.
Ia menatap Pangeran Sekya, mencari jejak kebohongan atau ejekan di mata sang pangeran, namun yang ia temukan hanyalah ketegasan dan kesungguhan yang tak tergoyahkan, sebuah kenyataan yang membuatnya bingung dan sedikit terguncang.
"Cinta?" Ratu Eliana akhirnya tertawa hambar, suara tawanya terdengar kering dan penuh kepahitan. "Kau bicara tentang cinta? Kau pikir aku ini siapa? Boneka yang bisa kau permainkan dengan kata-kata manis? Aku tidak tahu apa itu cinta, Pangeran. Yang aku tahu hanyalah kekuasaan dan cara untuk mendapatkannya. Jadi, jangan buang waktuku dengan omong kosong seperti itu."
Pangeran Sekya hanya menatapnya tanpa berkedip, sorot matanya tetap tenang. "Kau akan belajar," jawab Pangeran Sekya, suaranya pelan namun penuh keyakinan, "dan aku akan menjadi orang yang mengajarimu."
Ratu Eliana mendengus, memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan gejolak aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Mengajariku?" ia mengejek, suaranya dipenuhi sarkasme. "Kau pikir kau bisa mengajariku sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam kamus hidupku? Aku tidak butuh pelajaran darimu, Pangeran. Aku hanya ingin kebebasanku."
Pangeran Sekya tidak bergeming, ia hanya menatap Ratu Eliana dengan tatapan yang dalam. "Waktu akan membuktikannya, Ratu Eliana," ucapnya, nadanya tenang namun penuh otoritas, "dan kau akan terkejut dengan apa yang akan kau temukan dalam dirimu sendiri."
"Kau hanya takut kalah!" Ratu Eliana berseru, suaranya meninggi, menuduh dengan tatapan meremehkan. "Kau takut jika aku benar-benar mencintaimu, kau akan kehilangan kendali atas dirimu sendiri, bukan begitu, Pangeran pengecut?"
Sebelum Ratu Eliana sempat melanjutkan cemoohannya, Pangeran Sekya tiba-tiba menariknya mendekat, bibirnya langsung menyentuh bibir sang ratu dalam sebuah ciuman yang mendalam.
(Sistem, maksimalkan ciuman ini. Buat dia merasakan segalanya.)
Ciuman itu begitu merangsang, membakar seluruh tubuh Ratu Eliana, membuatnya merasakan sensasi melayang.
{Ciuman dioptimalkan untuk respons emosional maksimal. Efek samping: Kelemahan fisik sementara.}
Tak lama setelah menerima ciuman itu, Ratu Eliana terjatuh, seluruh badannya terasa lemas dan tak berdaya.
Pangeran Sekya menunduk, menatap Ratu Eliana yang tergeletak lemah di lantai, senyum sinis terukir di bibirnya. "Bagaimana kau akan berhubungan denganku," katanya, suaranya terdengar merendahkan, "jika dengan ciuman saja kau sudah seperti ini, Ratu Eliana? Kau bahkan tidak bisa menahan sentuhan kecil dariku."
Ratu Eliana berusaha mengangkat kepalanya, kilatan kemarahan masih terpancar dari matanya, namun tubuhnya terlalu lemas untuk membantah, ia hanya bisa menatap Pangeran Sekya dengan tatapan penuh kebencian yang mendalam, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Pangeran Sekya menurunkan tubuhnya hingga berjongkok, kemudian ia mengulurkan tangannya secara perlahan dan hati-hati untuk menyentuh bagian pipi Ratu Eliana yang masih terlihat berwarna kemerahan akibat sentuhan ciuman yang baru saja terjadi. "Ayo, Ratu," Pangeran Sekya mengucapkan, dengan suara yang terdengar pelan dan perlahan, namun dalam ucapannya tersebut masih terdapat kekuasaan yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. "Saya akan membawa Anda untuk menyaksikan secara langsung bagaimana para prajurit saya melakukan kegiatan latihan mereka."
Ratu Eliana, dengan sisa tenaganya, akhirnya berhasil berdiri tegak di samping Pangeran Sekya, meskipun tubuhnya masih terasa sedikit gemetar. Ia mengikuti Pangeran Sekya menuju lapangan latihan yang luas, dan saat matanya menangkap pemandangan di hadapannya, ia terpukau. Para prajurit bergerak dengan sangat terorganisir, setiap langkah dan formasi mereka begitu presisi, bahkan dalam pola latihan yang paling rumit sekalipun, barisan mereka tidak pernah berubah sedikit pun, menunjukkan disiplin dan kemampuan yang luar biasa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar mendekat dari kejauhan, dan seorang pengawal istana muncul dengan napas terengah-engah. "Yang Mulia Pangeran! Yang Mulia Raja memanggil Anda dan Ratu Eliana segera ke ruang takhta!" serunya, suaranya penuh urgensi.
Pangeran Sekya menoleh ke arah Ratu Eliana, senyum tipis kembali menghiasi bibirnya. "Sepertinya Ayahanda ingin melihatmu, Ratu," ucapnya, nadanya penuh makna tersembunyi. "Mari kita lihat, apa yang akan kau katakan padanya setelah semua ini."
Di ruang takhta yang megah, Raja Saul duduk di singgasana, menatap Pangeran Sekya dan Ratu Eliana yang kini berdiri di hadapannya. "Eliana," Raja Saul memulai, suaranya terdengar bijaksana namun tegas, "Bagaimana Pangeran Sekya memperlakukanmu selama ini? Saya selalu mengajarkan padanya, tidak hanya bagaimana bersikap di hadapan musuh, tetapi juga bagaimana menjadi seorang pria sejati. Saya tidak pernah menyetujui kekerasan yang tidak perlu, apalagi terhadap seorang wanita, bahkan jika ia adalah musuh kita."
Raja Saul menatap Pangeran Sekya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Ratu Eliana, menunggu jawaban yang akan diberikan oleh sang ratu. Ratu Eliana terdiam, bibirnya terkatup rapat, ia merasa sangat sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebab di satu sisi ia merasa terhina, namun di sisi lain, ia juga merasakan sesuatu yang aneh dan belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Raja Saul menatap Ratu Eliana dengan tatapan penuh harap, menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir sang ratu. "Nah, Eliana, jangan ragu," ucap Raja Saul, suaranya lembut namun penuh penekanan. "Katakan saja apa adanya. Pangeran Sekya harus tahu bahwa saya selalu menjunjung tinggi kehormatan dan perlakuan yang adil, bahkan terhadap lawan sekalipun. Apakah ada hal yang tidak pantas ia lakukan padamu?"
Ratu Eliana menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalanya, menatap Raja Saul dengan tatapan yang sulit diartikan. "Pangeran Sekya... dia mencium saya, Yang Mulia," katanya, suaranya terdengar pelan, namun cukup jelas untuk didengar di seluruh ruang takhta.
Seketika, raut wajah Raja Saul berubah menjadi sangat marah, tangannya terangkat tinggi, hendak menampar Pangeran Sekya. Pangeran Sekya meneteskan keringat dingin, menahan napasnya, merasakan jantungnya berdebar kencang.
(Sial, ini gawat. Ayah pasti akan marah besar.)
Dia tidak pernah takut pada siapa pun, sekuat apa pun musuhnya di medan perang. Hanya dua manusia yang dia takuti di dunia ini, yakni ayahnya, Raja Saul, dan almarhum ibunya, Ratu Vanika.
{Deteksi tingkat stres pengguna meningkat. Sarankan strategi penenangan diri.}
Namun, sebelum tangan Raja Saul mendarat di pipi putranya, Ratu Eliana dengan cepat melanjutkan ucapannya, "Tapi saya yang menyuruhnya, Yang Mulia. Jangan khawatir, Anda memiliki anak yang luar biasa."
Setelah insiden yang baru saja terjadi di ruang takhta, sebuah momen yang penuh ketegangan dan kejutan, Pangeran Sekya mengangguk tipis pada ayahnya, Raja Saul, sebuah isyarat singkat yang penuh makna. Ia lalu berbalik, mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Ratu Eliana, yang masih berdiri kaku di sampingnya. Tubuh sang ratu tampak sedikit gemetar, seolah ia masih memproses setiap kejadian yang baru saja ia alami, sebuah pengalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Mari, Ratu," ucap Pangeran Sekya, suaranya terdengar lembut namun penuh perintah yang tidak bisa dibantah, "saya akan mengantar Anda kembali ke kamar."
Ratu Eliana tidak membantah sedikit pun. Ia hanya menuruti langkah Pangeran Sekya, berjalan di sampingnya menyusuri koridor istana yang panjang dan sepi. Hanya suara langkah kaki mereka yang bergema perlahan di lantai marmer yang dingin, mengisi kesunyian yang tegang dan mencekam. Sepanjang jalan yang sunyi itu, tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya, namun Ratu Eliana sesekali melirik Pangeran Sekya. Ia mencoba membaca ekspresi di wajah pria itu, mencari petunjuk atau arti di balik ketenangan yang terpancar dari Pangeran Sekya. Sementara di dalam benaknya, ia masih memikirkan sensasi aneh dari ciuman tadi, sebuah getaran tak terduga yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya, mengusik setiap sudut pikirannya dan meninggalkan jejak yang dalam.
Setibanya di kamar Ratu Eliana, Pangeran Sekya dengan hati-hati membaringkan Ratu Eliana di ranjang yang empuk. Gerakannya sangat lembut, seolah ia sedang memperlakukan sesuatu yang sangat rapuh dan berharga. Pangeran Sekya kemudian berbalik, berniat melangkah keluar dari ruangan itu, tetapi sebelum ia sempat mencapai pintu, sebuah tangan yang lembut namun tegas meraih pergelangan tangannya. Ratu Eliana menahannya, jemarinya terasa hangat di kulit Pangeran Sekya, menghentikan langkahnya dengan pasti dan tak terbantahkan.
Pangeran Sekya menoleh, menatap mata Ratu Eliana yang tajam. Sang Ratu tidak berkata sepatah kata pun, bibirnya terkatup rapat dalam garis lurus, namun tatapan matanya berbicara seribu bahasa, sebuah permohonan yang tak terucap, sebuah keinginan yang jelas terpancar dari sorot matanya. Pangeran Sekya mengerti, ia tahu persis apa yang diinginkan Ratu Eliana tanpa perlu ada kata terucap, sebuah pemahaman yang melampaui ucapan, sebuah koneksi yang baru saja terbentuk di antara mereka.
"Baiklah, aku akan menemanimu malam ini," kata Pangeran Sekya, suaranya pelan dan penuh pengertian, sebuah janji yang menenangkan. Ia tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada menggoda, sebuah senyuman yang menyiratkan banyak hal, "Tapi jangan nakal ya, Ratu."
Ratu Eliana hanya tersenyum, pipinya memerah merona, sebuah rona yang menyebar hingga ke lehernya, mencerminkan rasa malu bercampur senang. "Iyaa," jawabnya singkat, suaranya nyaris berbisik, namun ada nada kepuasan yang samar di dalamnya, sebuah penerimaan yang tulus.
Semalaman Pangeran Sekya menemani Ratu Eliana yang tertidur pulas. Ia duduk di samping ranjang, mengamati wajah damai sang ratu yang kini tampak begitu tenang, sementara di luar jendela, bulan bersinar terang, menyinari kamar dengan cahaya perak yang lembut. Pangeran Sekya sesekali menyesuaikan selimut Ratu Eliana, memastikan ia tetap nyaman dan hangat. Ada perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar kemenangan atau ambisi, sebuah emosi baru yang mulai bersemi di hatinya.