Ketika Liora terjebak dalam malam penuh kesialan, ia tak pernah menyangka hidupnya akan berubah selamanya setelah bertemu Felix Dawson, Sang CEO yang dingin sekaligus memikat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourhendr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Wanita yang Menarik
Kelopak mata Liora bergetar pelan ketika cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih kabur. Namun rasa nyeri menusuk di bagian bawah tubuhnya membuat wajahnya spontan meringis. Nafasnya tersengal, seakan seluruh ototnya memberontak.
Tangannya refleks memijat bahu, berharap rasa sakit itu berkurang. Tapi semakin ia bergerak, perih itu justru menjalar hingga pinggang. “Sial…” gumamnya lirih. Mata indahnya menyapu sekeliling ruangan. Warna putih mendominasi—tirai, seprai, bahkan dindingnya. Bukan kamarnya, bukan pula rumahnya.
“Di mana aku?” bisiknya panik.
Detik berikutnya pandangannya jatuh pada gaunnya yang berserakan di lantai. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Perlahan ia mengalihkan pandangan ke tubuhnya sendiri, hanya terbungkus selimut tebal. Nafasnya tercekat. Wajahnya memucat.
“Ya Tuhan…” tangan Liora gemetar. Tubuhnya dipenuhi bercak merah samar, tanda yang tak mungkin ia dusta i. Realita menghantamnya telak—ini bukan mimpi buruk. Ini nyata.
“Kenapa… kenapa aku bisa di sini?” suara Liora bergetar. Ia menekan pelipisnya, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Bayangan samar muncul: dirinya duduk di bar, gelas demi gelas ia tenggak, lalu senyum seorang pria asing, ajakan berdansa, dan…
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Astaga, jangan bilang aku benar-benar—” ucapannya terputus. Kepalanya bergemuruh.
Tangannya tergerak meremas rambut sendiri. “Bodoh, Liora. Kenapa kau bisa sebodoh ini?”
Malam yang seharusnya ia habiskan beristirahat dari kesedihan, justru berakhir di ranjang bersama lelaki asing. Harusnya sekarang ia terbangun di samping Kevin—calon suami yang sudah ia percaya. Tapi semua mimpi itu hancur ketika Kevin memilih wanita kaya raya, meninggalkan Liora tanpa ampun.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Harusnya aku tidak pergi ke bar itu… harusnya aku tidak menenggak alkohol.” Penyesalan menghantamnya bertubi-tubi, membuat dadanya semakin sesak.
Suara gemericik air dari kamar mandi membuat tubuh Liora menegang. Ia menoleh, menyadari pria asing itu masih ada di kamar ini. Rasa malu bercampur panik membuat darahnya berdesir.
“Aku harus pergi sebelum dia keluar.” Liora menarik selimut erat ke tubuhnya, lalu perlahan turun dari ranjang. Ia menunduk, berusaha memungut pakaiannya yang tercecer. Namun begitu ia jongkok, nyeri di bagian bawah tubuh kembali menyerang.
Brukkk!
Tubuhnya ambruk ke lantai. “Awww!” pekiknya. Punggungnya terasa perih, bokongnya membentur keras. Liora mendengus frustasi, menggigit bibir menahan rasa sakit.
Saat itulah pintu kamar mandi terbuka. Asap tipis mengepul, lalu sosok tinggi gagah melangkah keluar dengan hanya selembar handuk melilit pinggangnya. Tetes air masih mengalir dari rambutnya, membasahi dada bidang dan otot perut yang terbentuk sempurna.
Sepasang mata cokelatnya menatap lurus ke arah Liora yang tersungkur di lantai. “Apa yang kau lakukan?” suara berat itu menusuk telinga Liora, membuatnya semakin gelagapan.
Liora membeku, wajahnya merah padam. Ia buru-buru menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. “K-Kau…!” suaranya nyaris tercekik.
Lelaki itu—Felix—mengangkat alis, bibirnya melengkung samar. “Kau sudah bangun rupanya.” Ia melangkah mendekat, postur tinggi tegapnya membuat Liora otomatis mundur ke belakang.
Hatinya berdegup kencang. Sosok pria itu benar-benar tampak seperti dewa yang turun dari langit—rahang tegas, hidung mancung, tubuh berotot dengan tato hitam yang melingkari lengan kekarnya. Liora semakin kalut.
“Aku…” kata-katanya buyar. Ia tak sanggup menatap lebih lama. Dengan terburu-buru, ia bangkit—masih dengan selimut menutupi tubuh—dan lari kecil menuju kamar mandi. Pintu ditutup rapat, punggungnya menempel pada daun pintu sambil mengatur napas.
Felix hanya berdiri, menatap arah pintu yang baru saja tertutup. Senyum tipis terlukis di wajahnya. Ada sesuatu dalam kepanikan wanita itu yang justru membuatnya menarik. Bukan rasa jijik, melainkan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Tak lama, Liora keluar dengan pakaian lengkap. Wajahnya masih merah, langkahnya pelan sambil sesekali meringis menahan sakit. Tangannya meraih tas dan ponsel di meja.
“A-Aku harus pergi,” ucapnya terburu-buru, suaranya jelas gemetar. “Terima kasih untuk… untuk tadi malam. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi.”
Ia melangkah cepat menuju pintu. Namun sebelum ia sempat meraih gagang, suara bariton Felix menggema.
“Kenapa kau begitu terburu-buru? Bagaimana aku bisa melupakan malam seindah itu?”
Liora membeku. Nafasnya tercekat ketika merasakan kehadiran Felix tepat di belakangnya. Embusan napas hangat pria itu menyentuh tengkuknya, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kau tahu?” bisik Felix rendah. “Tadi malam kau membuatku melihat fantasi baru. Kenapa harus pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa?”
Liora menelan ludah keras. Tubuhnya gemetar hebat, wajahnya memucat. Ingatan tentang desahannya semalam, tentang sentuhan pria ini, kembali menyeruak. Dan rasa malu menusuk hingga tulang.
“A-Aku tidak punya waktu. Aku harus bekerja,” sahut Liora terbata, matanya menatap lantai. “Apa yang terjadi semalam… anggap saja kesalahan. Kita sama-sama mabuk.”
Felix terkekeh rendah, nada suaranya terdengar sinis sekaligus menggoda. “Sama-sama mabuk? Kau salah. Aku tidak mabuk, Liora. Alkohol tidak pernah membuatku kehilangan kendali.”
Kata-katanya membuat Liora kian panik. Ia memejamkan mata rapat, menahan rasa bersalah. “Kalau begitu, aku yang salah. Aku mabuk. Aku lepas kendali. Jadi… tolong lupakan saja.”
Felix hanya menatapnya, seakan membaca setiap gerak tubuhnya. Senyum misterius terlukis di wajahnya. “Lupakan? Itu mustahil.”
Tanpa menunggu, Liora langsung meraih gagang pintu. “Terima kasih, tapi aku harus pergi,” ucapnya tergesa, lalu melarikan diri keluar kamar.
Felix tak bergerak, hanya mengikuti dengan tatapan penuh arti. Senyumnya melebar, bukan kecewa, melainkan tertarik. Ada sesuatu pada wanita itu yang membuatnya berbeda dari semua wanita yang pernah ia temui.
Langkah Liora berderap cepat di lorong hotel. Nafasnya terengah, matanya panas. “Kenapa aku sebodoh ini?!” desisnya, hampir menangis. Ia tak berani menoleh ke belakang, takut pria itu masih mengejarnya.
Di dalam kamar, Felix masih berdiri tenang. Tatapannya jatuh pada ranjang yang berantakan. Pandangannya tertumbuk pada bercak merah samar di seprai putih. Seketika matanya menyipit.
“Oh…” gumamnya, bibirnya melengkung. Ia tidak menyangka wanita yang begitu berani tadi malam ternyata baru pertama kali menyerahkan diri.
Ia teringat bagaimana Liora berkali-kali menyebut nama pria lain di tengah pergulatan panas mereka. Bukan namanya. Bukan ‘Felix’, melainkan ‘Kevin’. Ada luka besar di balik sikap nekat wanita itu.
Felix mengangkat bahunya, lalu tersenyum kecil. Alih-alih merasa terganggu, hal itu justru membuatnya semakin penasaran. “Menarik,” ucapnya lirih.
Felix menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, menyalakan sebatang rokok. Asap putih mengepul, menari di udara. Matanya masih menatap ke arah pintu yang tadi dilewati Liora.
“Dia berbeda,” gumamnya. Banyak wanita mendekatinya hanya demi uang, status, atau sekadar fantasi satu malam. Tapi Liora… jelas lain. Ia tidak meminta apa-apa. Bahkan ia pergi sebelum Felix sempat menawarinya sesuatu.
Felix mengingat tatapan mata abu-abu itu. Tatapan yang penuh luka, namun juga penuh keberanian. “Wanita yang bodoh… tapi justru membuatku semakin tertarik.”
Ia mengisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Senyuman miring muncul di wajahnya. Ada sesuatu dalam pertemuan singkat itu yang membuatnya yakin, Liora tidak akan mudah hilang begitu saja dari pikirannya.
Felix mengacak rambutnya, lalu menatap kembali bercak merah di seprai. Senyumnya semakin lebar. “Dia menyimpan banyak rahasia. Aku harus tahu semuanya.”
Di luar hotel, Liora berada di dalam mobilnya dengan wajah kusut. Jantungnya masih berdegup tak karuan. Tubuhnya lemah, kepalanya pusing. “Semoga aku tidak pernah bertemu dia lagi…” gumamnya lirih, lebih seperti doa.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu itu mustahil. Pria itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya, cara bicaranya, semua meninggalkan bekas yang sulit ia hapus.
Sementara itu, di kamar hotel, Felix mematikan rokoknya. Ia merebahkan tubuh ke ranjang dengan ekspresi puas. “She’s the most attractive woman I have ever seen,” ucapnya dalam bahasa asing, senyum misterius menghiasi wajah tampannya.
Untuk pertama kalinya, seorang wanita membuatnya ingin tahu lebih banyak, bukan sekadar menambah daftar singkat petualangannya. Dan Felix tahu, cepat atau lambat, jalan mereka pasti akan berpotongan lagi.
Karena di matanya, Liora bukan sekadar wanita patah hati. Dia adalah teka-teki yang layak untuk dikejar.
mampir karna nama PM sama kayak nama di cs aku Felix & Leora (Saudara kandung)/Sob//Sob/
lah disini malah nikah