seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Rynz menggenggam tangan kirinya yang masih diliputi nyala api hitam itu. Meski tubuhnya nyaris remuk, tapi tangan itu terasa ringan, kuat… seolah bukan miliknya. Bukan tangan manusia biasa.
Monster babi itu kembali meraung dan mencoba menerjang, namun kali ini, Rynz tidak lagi mundur.
"Aku juga bisa menyerang."
Dengan satu tarikan napas, ia mengayunkan tinju kirinya lurus ke perut monster itu—gerakannya sederhana, tanpa teknik, tanpa keahlian bela diri apa pun. Tapi…
"DOOOM!!"
Tinju itu menghantam langsung ke perut monster babi, menembus kulit keras dan otot tebal seperti menusuk kertas basah.
Api hitam menyebar dari titik hantaman, membakar dari dalam—bukan dari luar. Daging dan organ makhluk itu mulai menghitam, melepuh, lalu menguap.
Perutnya berlubang, meleleh dari dalam, sementara api itu terus menyebar ke bagian lain tubuhnya seperti racun yang hidup.
Monster itu tak sempat mengeluarkan suara.
Mata merahnya membesar…
lalu tubuhnya roboh, terduduk lemas…
dan akhirnya tergeletak dengan lubang menganga di tengah tubuhnya.
Rynz berdiri di depan bangkai itu, napasnya masih terputus-putus.
Kepalanya menunduk… lalu…
“Hahahaha… gila…
Tinju api. Tinju api, bro—eh, bukan, bukan bro. Gak pakai bro-bro-an sekarang.”
Ia tertawa kecil meski tubuhnya sakit semua.
Satu kakinya hampir tak sanggup menopang, tapi ia tetap tertawa seperti anak bodoh yang baru menemukan mainan baru.
"Kalau begini terus…
Aku bisa jadi Ace. Si Tinju Api."
Dia mengangkat tangannya, melihat api hitam itu yang perlahan mengecil.
Lalu menggumam…
"Tapi ini bukan api merah.
Bukan api biru.
Apalagi emas."
Matanya menyipit.
"Hitam... jadi aku Black…bear? Atau Blackfist? Ah, sial, siapa nama-nama itu."
Ia tertawa sendiri. Namun di balik kekonyolan pikirannya, ada satu kesadaran baru yang tertanam:
Api itu... adalah miliknya.
Dan ia baru saja menggunakannya untuk membunuh.
Rynz menatap tangan kirinya yang perlahan mulai tenang.
Nyala api hitam itu akhirnya padam, tidak meledak atau menghilang dengan suara keras, hanya menghilang perlahan seperti bara yang kehabisan udara. Namun bekasnya tertinggal.
Seluruh tangan kirinya—dari ujung jari hingga ke bahu—kini berwarna hitam kelam.
Bukan hangus karena luka bakar, tapi berubah—teksturnya sedikit kasar, kulitnya lebih padat, dan terasa berisi kekuatan, walau tidak menyakitkan.
Rynz menggenggam perlahan. Tak ada rasa nyeri, tapi juga tak ada api.
Ia mencoba fokus. Mengingat rasa marah, rasa takut, rasa panas tadi. Tapi tak terjadi apa-apa.
Tangannya hanya menggenggam, dan tetap hitam.
Api itu tidak muncul lagi.
Ia duduk lemas di atas batu, tubuhnya masih berat dan ototnya gemetar setelah pertarungan singkat tadi. Tapi pikirannya justru mengembara ke arah yang sangat tidak penting…
"Hmm… kalau tangan ini hitam, lalu muncul kekuatan gelap yang misterius...
Eh... apa aku jadi Asta? Black Clover?"
Ia mendecak pelan.
"Sial, itu anak pendek."
"Tapi dia kuat sih..."
Lalu mendadak ekspresinya berubah serius.
"Tapi tunggu. Tangan ini bukan sihir anti sihir. Ini api. Api hitam...
Sial, ini lebih mirip… kutukan dari neraka."
Ia mengangkat tangan kirinya, menatapnya di bawah cahaya remang hutan yang menembus dari celah pepohonan. Tangan itu masih berdenyut halus, seperti menyimpan sesuatu yang belum dibangunkan sepenuhnya.
"Aku tidak tahu apa ini...
Tapi kalau kekuatan ini bisa muncul saat aku hampir mati... berarti...
harus kupelajari sebelum aku benar-benar mati."
Ia berdiri perlahan, memungut pisau usangnya yang terlempar ke semak, dan kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah goyah tapi mantap.
Di belakangnya, tubuh monster babi itu masih tergeletak… hangus, diam…
dan aroma daging terbakar masih menggantung samar di udara.
Langkah kaki Rynz menyusuri hutan kembali terdengar, perlahan namun pasti. Tubuhnya masih terasa berat, namun pikirannya mulai jernih. Ia tahu satu hal dengan sangat jelas:
Ia tidak boleh gagal kali ini.
Dengan sepotong kain yang ia robek dari jubahnya sendiri, Rynz mulai membalut lengan kirinya. Ia membungkusnya rapat—dari bahu sampai ke pergelangan—menutupi sepenuhnya warna hitam yang kini menjadi bagian dari tubuhnya.
"Kalau mereka lihat ini...
mereka akan menolakku tanpa pikir panjang."
Ia tak tahu apa sebenarnya tangan itu sekarang. Apakah kutukan? Warisan? Atau hanya reaksi dari pecahan Inti Void? Tapi satu yang pasti—di dunia yang memuja kesempurnaan tubuh dan darah murni, cacat atau kelainan dianggap aib.
Dan dia sudah merasakannya di kota.
Sekali cukup.
Setelah memastikan balutannya kencang, ia menarik lengan jubahnya kembali menutupi seluruh perban, lalu melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara. Angin lembut mulai berhembus di antara pohon-pohon. Burung-burung mulai terdengar lagi, menandakan hutan ini tidak sepenuhnya liar.
Setelah berjalan satu hari penuh tanpa kejadian besar, dari kejauhan akhirnya terlihat sesuatu—
bukan tembok tinggi seperti kota, bukan pula gerbang megah seperti milik sekte besar.
Melainkan tebing batu menjulang dengan celah lembah yang terbuka seperti mulut naga.
Di antara dua sisi tebing itu, terdapat sebuah bangunan sederhana dari kayu dan batu, dengan beberapa bendera putih tua yang berkibar pelan. Ada satu jalan setapak menuju ke atas, dikelilingi bunga liar dan padang rumput tinggi.
Itulah Sekte Lembah Angin.
Rynz berdiri sejenak di bawah tanjakan itu. Matanya menatap ke atas, napasnya mulai terasa berat. Tapi kali ini… bukan karena kelelahan,
melainkan karena rasa cemas.
"Jika mereka tahu siapa aku sebenarnya...
mungkin mereka akan membuangku lagi."
Namun langkahnya tidak berhenti.
Sebab meskipun hati ragu, tubuhnya sudah terikat pada satu hal:
keinginan untuk bertahan.
Dan tanpa menoleh ke belakang, ia melangkah naik…
menuju pintu gerbang kecil yang akan mengubah arah takdirnya.
Langkah Rynz terhenti tepat di depan gerbang kayu sederhana bertuliskan huruf tua, sedikit pudar oleh waktu dan cuaca.
“Lembah Angin.”
Tulisan itu tidak diukir megah, hanya diukir kasar pada lempeng batu yang tergantung di atas pintu masuk.
Tak ada penjaga bersenjata.
Tak ada formasi pelindung yang memancarkan aura.
Yang ada hanyalah seorang pria paruh baya, duduk di balik meja kayu kecil, ditemani secangkir teh hangat dan tumpukan gulungan bambu.
Janggutnya abu-abu tipis, wajahnya tenang dan datar, namun sorot matanya menyapu setiap calon murid dengan perhatian tajam—bukan seperti penguji, lebih seperti petani yang sedang memilih bibit.
Di hadapannya, empat orang murid muda berdiri tegak. Pakaian mereka berbeda-beda, menandakan bahwa mereka bukan dari satu daerah. Ada yang berpakaian rapi seperti anak pedagang, ada yang lusuh seperti petani gunung, satu bahkan tampak seperti bekas penjaga kota.
Ketika Rynz tiba, keempat murid itu sedang diperiksa secara bergantian.
Orang tua itu memegang batu kristal kecil di telapak tangannya. Setiap murid diminta menempelkan tangan ke batu tersebut.
"Tingkat energi dasar rendah. Tapi ada ketekunan."
"Tidak berbakat dalam roh api. Tapi cocok untuk aliran angin."
Ia mencatat singkat di gulungan, lalu memberi masing-masing selembar lambang kayu kecil bertuliskan nama. Tak ada pertanyaan. Tak ada omelan. Hanya pengamatan yang singkat dan dingin.
Setelah murid keempat selesai, pandangan si pria itu perlahan beralih…
kepada Rynz.
Mata tua itu menatapnya cukup lama. Tidak berkata sepatah kata pun. Seolah menimbang sesuatu hanya dari tatapan dan postur tubuhnya.
Rynz berdiri diam. Jubahnya masih basah oleh keringat dan embun dari perjalanan. Lengan kirinya tertutup rapat dengan kain lusuh dan terlihat sedikit kaku. Namun ekspresinya… tenang.
"Kau juga ingin mendaftar?"
Suara si pria paruh baya akhirnya terdengar. Suaranya pelan, rendah, namun langsung memaksa diam dari semua yang hadir.
Rynz mengangguk sekali.
"Ya. Jika tempat ini masih menerima orang sepertiku."
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Rynz mendekat dan meletakkan tangan di atas kristal yang sama seperti murid sebelumnya.
Rynz menarik napas. Lalu perlahan mengulurkan tangan kanan—satu-satunya yang bisa ia izinkan untuk diperiksa.
Sementara tangan kirinya tetap tersembunyi di balik jubah.
Kristal itu awalnya tak bereaksi apa pun saat disentuh oleh tangan kanan Rynz. Tak ada cahaya, tak ada getaran, bahkan sedikit pun tidak terasa hangat.
Orang tua paruh baya itu mengerutkan dahi, lalu menarik napas pelan.
"Akar spiritual tingkat rendah… bahkan tidak mencapai jalur kultivator dasar.
Tubuh ini… setara dengan petani biasa."
Keempat murid yang sudah lebih dulu diterima saling melirik, ada yang tertawa kecil, ada pula yang menatap Rynz dengan iba. Namun pria tua itu tidak ikut tertawa. Ia hanya menunduk, menatap kristal itu cukup lama, lalu mendongak menatap Rynz sekali lagi.
"Tangan kananmu jujur.
Tapi tubuhmu… tidak."
Sebelum Rynz bisa bereaksi, tangan si pria tua itu langsung menyambar lengan kiri Rynz.
"Tunggu, jangan—!" Rynz berusaha menarik diri, tapi cengkeraman pria itu begitu kuat—tidak seperti tubuhnya yang kurus, tangannya sekeras batu.
Dalam satu tarikan tegas, lengan kiri Rynz yang terbalut perban lusuh itu terangkat dan ditekan langsung ke atas permukaan bola kristal.
Dan saat itulah…
"KRAKKKK!!"
Bola kristal itu bergetar hebat.
Bukan hanya menyala… tapi menjadi gelap.
Warnanya yang awalnya bening kini berubah seperti kaca hitam berputar, lalu perlahan muncul sebuah wajah dari dalamnya—wajah besar, retak-retak, dengan mata merah dan mulut terbuka lebar menampakkan taring-taring tajam.
Sebuah wajah iblis…
Yang sedang tertawa.
"Hhhhhh… ha… ha… HAHAHAHAHA!!!"
Suara tawa itu tidak terdengar dari luar. Tapi bergema langsung di dalam kepala semua orang di sana.
Seketika, keempat murid mundur dengan wajah pucat. Salah satu dari mereka bahkan terjatuh, tangan gemetar hebat. Udara di sekeliling meja berubah berat, menekan, dan membuat napas sulit.
Namun pria tua itu masih tetap tenang.
Ia menarik tangannya perlahan dari lengan Rynz, lalu berkata dengan suara rendah:
"Kau menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini."
Tatapannya tajam, menyipit… namun bukan penuh amarah, melainkan penuh pengetahuan.